Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda, akhirnya mencabut penghargaan kepada seorang WNI kandidat doktor (5/10/2017).
Sebagaimana dituangkan dalam SK/029/KEPPRI/IX/2017, KBRI menarik kembali penghargaan intelektual karena terjadi ”dinamika di luar praduga dan itikad baik”. Sebelumnya, anugerah diberikan karena pelaku dianggap memiliki prestasi menakjubkan dalam temuan ilmiah dan teknologi antariksa.
Kasus ini menambah panjang daftar kejahatan di bidang akademis. Dimulai dari karya tulis pesanan, gelar akademik abal-abal, malapraktik pembelajaran, rekayasa teori dan data, demam jurnal internasional, kuliah instan, penjiplakan, dagangan seminar, hingga isu gelar profesor jalan pintas. Apa yang sesungguhnya terjadi dalam dunia akademis kita? Bagaimana penanganan ke depan dalam kerangka pengembangan nilai-nilai ilmiah berkarakter di Indonesia?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Akademisi prosedural
Dalam etika akademis, kesalahan di dunia ilmiah bukan hal tabu. Namun, itu bukan berarti sama dengan kebohongan. Apabila kesalahan itu mengacu pada pernyataan yang tidak sesuai prosedur, kebohongan mengacu pada pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta. Itulah kenapa ”kesalahan karena alasan ilmiah” cukup mengacu pada kesalahan pembuktian dan kesalahan penafsiran. Misalnya bukti tidak cukup sehingga salah menyusun simpulan atau referensi kurang sehingga salah teori.
Sementara itu, berbohong secara ilmiah mengacu pada ”kesalahan yang disengaja” terhadap bukti dan teori. Bukan karena tidak ada bukti dan teori, melainkan memang sengaja ditutupi. Contoh, dalam kegiatan survei publik, institusi penelitian sengaja menghilangkan data tertentu untuk memenuhi simpulan yang terlanjur dibuat. Atau sebaliknya, peneliti tidak menggunakan teori yang tepat sehingga menghasilkan pernyataan hanya untuk memenuhi kepentingan individu atau kelompok.
Sebetulnya rekayasa teori dan data tidak sepenuhnya bohong. Sebab, peneliti membuat pernyataan yang didukung sebagian fakta. Meski begitu, tindakan itu tak hanya salah, tetapi juga merupakan praktik kejahatan dalam dunia ilmiah. Jika direfleksikan terhadap fakta yang berkembang akhir-akhir ini, kejahatan yang serius dalam dunia akademik tidak mendapatkan penanganan yang memadai. Hal itu sekurang-kurang karena empat hal.
Pertama, sanksi atas kejahatan akademik tidak memberikan efek jera. Suka atau tidak, penanganan atas kasus itu cukuplah melalui sanksi administratif. Dalam banyak kasus, seorang profesor yang terbukti menjiplak karya orang lain hanya ”pindah kerja” ke satuan pendidikan lainnya. Sementara gelar tertinggi dalam dunia akademik itu masih tetap disematkan di depan namanya.
Kedua, kaum akademisi cenderung membela institusinya sebagai penyelenggara pendidikan yang memiliki integritas terhadap aktivitas ilmiah. Tanpa ada upaya introspeksi, kaum akademisi cenderung menanggapi dengan membangkitkan semangat sektarian yang diawali dengan kalimat ”aku bangga menjadi alumnus Z”. Sebagai contoh, kasus penangkapan dosen makelar skripsi oleh aparat di sebuah universitas telah ditanggapi oleh birokrat kampus sebagai ”kesalahan prosedur fotokopi”. Untuk menjamin integritas dan citra, mereka berbalik menuntut verifikasi terhadap aparat.
Ketiga, dunia akademik masa kini ditandai dengan prosedur administratif atas nama penjaminan mutu perguruan tinggi. Hasilnya, nilai baik untuk perguruan tinggi ternyata tidak berbanding lurus dengan kualitas lulusan. Gelar akademik jatuh pada persoalan prosedur. Sekurang-kurangnya prosedur itu tampak dalam proses, hasil, dan bukti ilmiah. Dalam proses pembelajaran, misalnya, setiap satuan kerja institusional dituntut menyusun mekanisme pembelajaran yang didasarkan target course learning outcome (CLO).
Dalam profil lulusan, pemerintah telah menetapkan standar lulusan berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang KKNI. Dalam praktik penulisan karya ilmiah, setiap institusi memanfaatkan perangkat pemrograman tertentu untuk mengecek dugaan penjiplakan. Fakta itu membawa iklim akademis pada dunia prosedural. Pendeknya, dunia akademik hanya ditunjukkan oleh nama institusi pendidikan tinggi dengan akreditasi A, pejabat kampus berpangkat profesor, dan setumpuk dokumen yang disebut karya tulis lolos program jiplakan di perpustakaan.
Kebanggaan semu
Keempat, prosedur itu semakin menunjukkan bahwa pemerintah tidak paham hakikat keilmiahan sebagai pilar kebenaran dalam pengembangan nilai-nilai kebudayaan. Pencabutan penghargaan yang telanjur diberikan adalah bukti sikap yang terburuburu terhadap ”pencapaian akademis” seseorang tanpa penelusuran yang memadai.
Padahal, jiak dilihat kronologinya, pelaku mengumumkan ”prestasinya” dalam akun media sosialnya tentang hadiah 15.000 euro (sekitar Rp 238 juta) dari lomba-lomba riset teknologi mt&v-space agency dunia di Jerman pada 2017. Hal itu dibuktikan dengan foto dirinya yang memegang poster berukuran 75 cm x 40 cm.
Dalam poster tertulis namanya dan jumlah hadiah yang diperoleh. Melalui sejumlah wawancara, dia juga mengaku sedang mengerjakan wahana peluncur satelit (satellite launch vehicle/SLV). Selain itu, dia juga sedang mengembangkan teknologi pesawat tempur generasi keenam, yakni Euro Typhoon di Airbus Space and Defence menjadi Euro Typhoon N. Prestasinya ditopang oleh latar pendidikan sarjana di Tokyo dan pendidikan pascasarjana di Belanda. Informasi tersebut sempat disiarkan dalam program Mata Najwa di sebuah televisi swasta.
Belakangan diketahui, pada 7 Oktober 2017 dinyatakan bahwa semua informasi tersebut dinyatakan palsu oleh pelaku. Atas desakan lembaga swadaya masyarakat, dalam surat permohonan maafnya, dia menyatakan telah membuat pernyataan melebih-lebihkan di luar kompetensinya. Dia sendiri lulusan sarjana dari perguruan tinggi swasta di Yogyakarta dan melanjutkan pendidikan ke Belanda atas program pemerintah. Adapun bidang studi yang ditekuni bukan teknologi satelit dan pengembangan roket, melainkan interactive intelligent di Technische Universiteit, Delft, Belanda. Poster hadiah adalah rekayasa gambar tempel dan manipulasi wajah bahagia.
Faktor-faktor di atas menunjukkan adanya kesalahpahaman pemerintah terhadap strategi memajukan kultur akademik di Indonesia. Pemberian penghargaan itu bisa dibaca secara terbalik melalui sikap pemerintah terhadap hukuman. Artinya, sepanjang kejahatan ilmiah hanya melihat sebagai kesalahan prosedur maka sebetulnya pemerintah tidak pernah paham cara menghargai intelektual dengan semestinya.
Saifur Rohman, Pengajar Filsafat di Universitas Negeri Jakarta
Sumber: Kompas, 12 Oktober 2017