Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi jalan di tempat akibat belum ada konsistensi kebijakan pemerintah dalam jangka panjang. Padahal, kebijakan berbasis iptek jadi kunci kemajuan industri.
Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti di bidang industri karena pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya jalan di tempat. Hal itu terjadi lantaran belum ada konsistensi kebijakan iptek dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikut akibat perbedaan pemahaman tentang pengembangan iptek.
Menurut Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto, Sabtu (12/5/2018), di Jakarta, selama ini penerapan teknologi untuk memberi nilai tambah produk di Industri dianggap penting. Namun, pada praktiknya, Indonesia terus menjual bahan mentah tanpa nilai tambah produk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia mencontohkan ekspor minyak sawit. Padahal, banyak turunan minyak sawit bisa dihasilkan dengan teknologi proses agar ada nilai tambah. Pembuatan turunan kelapa sawit dikuasai peneliti Indonesia.
DEONISIA ARLINTA UNTUK KOMPAS–Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto (kedua dari kiri) melihat produk percontohan inovasi teknologi yang dipamerkan di acara Lab Indonesia 2018 yang diadakan di Jakarta Convention Center, Rabu (4/4/2018).
Namun, tidak semua inovasi yang akan dihasilkan harus melalui riset karena butuh waktu lama. Inovasi basisnya beragam, bisa melalui antara lain riset ilmu kehidupan, desain teknik, dan membeli paten. ”Kalau Indonesia ingin menjadi negara industri, riset saja tak cukup, tetapi harus mengejar inovasi,” kata Unggul.
Kalau Indonesia ingin menjadi negara industri, riset saja tak cukup, tetapi harus mengejar inovasi.
Untuk negara berkembang seperti Indonesia harus menempuh strategi reverse engineering, yakni berawal di akhir dan berakhir di awal. Setelah menguasai teknologi, lalu melaksanakan riset ilmu dasar.
Strategi itu ditempuh China dalam mengembangkan kereta cepat. Kini China bisa membuat sendiri kereta cepat setelah membeli lisensi dari Jepang dan Jerman, lalu memodifikasi dan mengembangkannya. China menyiapkan industri dan mengeluarkan biaya besar untuk itu.
Kompetensi
Menurut Unggul, banyak kebijakan terkait teknologi tidak diputuskan lembaga yang membawahi teknologi, misalnya proyek mobil listrik. Seharusnya pihak yang memutuskan pengembangannya adalah pihak Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, bukan kementerian teknis.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, proyek itu ditangani Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dan kini di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. ”Untuk mengkaji teknologi yang akan dipakai, seharusnya lembaga teknologi diajak bicara lebih dulu dalam memutuskan,” ujarnya.
Dalam pembelian produk berteknologi baru, seharusnya diterapkan kebijakan offset, yakni pembuatan bagian produk melibatkan industri dalam negeri. Jadi, teknologinya dapat dipelajari tenaga kerja lokal.
Menurut anggota Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Sistem Nasional Iptek, Rieke Diah Pitaloka, itu bisa diatasi dengan kebijakan berbasis ilmu pengetahuan dalam UU itu. ”Jika hasil riset tak jadi dasar pembangunan, buat apa? Ada banyak riset, tetapi tak jadi keputusan pembangunan sehingga terjadi kegagalan dalam pembangunan, seperti jembatan roboh, program industri sel surya dan mobil listrik mandek,” ujarnya.
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO–Mobil dan sepeda motor elektrik rancang bangun ITS dipamerkan saat simposium nasional kendaraan bermotor listrik, Minggu (25/3/2018), di Gedung Robotika ITS, Surabaya. Indonesia masih berpotensi untuk secara mandiri dalam hal rancang bangun dan produksi kendaraan bermotor listrik.
Dalam penggunaan teknologi di Indonesia, ujar Eniya Listiani Dewi, Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material BPPT, pengkajian dan penerapan teknologi hendaknya melibatkan BPPT yang memiliki kompetensi untuk audit teknologi. Contohnya, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), teknologinya perlu diaudit.
Selain itu, banyak kebijakan tidak dibuat lembaga berkompeten, antara lain pengembangan pabrik sel surya oleh Kementerian BUMN. Padahal, ada rekomendasi dari BPPT untuk mengembangkan polikristal. Akibatnya, Indonesia tak pernah tuntas mengembangkan teknologi, seperti mobil listrik.–YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 14 Mei 2018