Keanekaragaman Hayati; Endang Sukara Wakili Asia Pasifik di Forum Pakar

- Editor

Jumat, 11 Juli 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Peneliti senior ilmu hayati di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof (riset) Endang Sukara, menjadi perwakilan kawasan Asia Pasifik untuk kelompok pakar pada Konvensi Keanekaragaman Hayati. Hal itu bisa dimanfaatkan untuk memasukkan isu-isu strategis perlindungan dan pengelolaan biodiversitas Indonesia yang sangat kaya.

”Sebelum ini kita hanya sebagai delegasi. Kini dengan Indonesia masuk SBSTTA (Subsidiary Body on Scientific, Technical, and Technological Advice), kita bisa punya jalur cepat menginformasikan berbagai permasalahan keanekaragaman hayati di Indonesia atau Asia Pasifik,” kata Arief Yuwono, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kamis (10/7), di Jakarta.

SBSTTA merupakan wadah para pakar lintas negara yang diamanatkan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Tugas badan ini memberikan masukan serta mengarahkan perkembangan dan isu mencapai konvensi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sementara Pertemuan Para Pihak CBD XII tahun ini akan berlangsung di Pyongyang, Korea Utara, Oktober-November 2014. Di sana akan berlangsung pertemuan para pihak Protokol Cartagena, Konferensi Keanekaragaman Hayati, dan pertemuan Protokol Nagoya.

Menurut Arief, dunia internasional mengenal biodiversitas Indonesia yang sangat tinggi. Namun, potensi itu juga memiliki keterancaman tinggi sebagai dampak perubahan iklim, serangan spesies asing invasif, biopiracy, deforestasi, serta kebakaran hutan dan lahan.

”Otak CBD itu di SBSTTA. Para pakar dari banyak negara akan membahas apa saja yang akan dibahas di COP,” papar dia.

Dihubungi kemarin, Endang Sukara mengatakan, Indonesia menghadapi tantangan pengelolaan keanekaragaman hayati yang pelik. ”Di sisi lain, kita meratifikasi Protokol Nagoya. Kita tak bisa mengelak meski minim dalam kesiapan,” kata dia.

Kondisi belum siap, kata dia, salah satunya ditunjukkan belum masuknya biodiversitas dalam rencana pembangunan ekonomi di Indonesia. Padahal, berbagai jenis biodiversitas yang tampaknya tak berharga akan sangat bernilai ketika penelitian memunculkan manfaat produk.

Endang Sukara mencontohkan umbi dahlia yang diketahui bermanfaat bagi pengobatan. Itu karena kandungan inulin berserat tinggi dan tersusun atas polimer fruktosa. Zat itu tak dapat dicerna enzim pencernaan, tetapi dapat difermentasi mikroflora usus besar.

Dengan kata lain, inulin berfungsi sebagai prebiotik mengatasi osteoporosis. Potensi itu dilirik Universitas Hokkaido, Jepang, yang mendaftarkan paten dan membagi keuntungan royalti 50 persen bagi Indonesia. (ICH)

Sumber: Kompas, 11 Juli 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB