Kesalahan pengelolaan ekosistem rawa gambut yang berbuah kebakaran hutan dan tragedi asap berulang diharapkan jadi pengalaman dalam mengelola ekosistem karst. Kesalahan pengelolaan karst berdampak pada kekeringan, konflik sosial budaya, serta kehilangan biodiversitas unik yang belum banyak diteliti.
Pemerintah pusat dan daerah selaku pengambil kebijakan dan pemberi izin diharapkan tak hanya berpikir keuntungan sesaat. “Gambut dieksploitasi, kanal-kanal dikeringkan jadi kebun. Akhirnya, kebakaran membuat kita kelabakan karena kerugian sangat besar. Ini jangan terulang pada karst,” kata Emil Salim, tokoh lingkungan dan Menteri Lingkungan Hidup 1978-1993, Senin (14/12), di Jakarta.
Ia berpidato dalam Lokakarya Nasional Ekosistem Karst yang diselenggarakan Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Narasumber lain berasal dari akademisi, ilmuwan, lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan usaha.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Pengunjung melihat awetan aneka serangga dan kelelawar koleksi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam Lokakarya Nasional Ekosistem Karst di Jakarta, Senin (14/12). Karst memiliki banyak fungsi penting bagi makhluk hidup, termasuk tempat hidup berbagai fauna serta cadangan air bagi manusia dan alam.
Menurut Emil, pemda yang berorientasi uang kerap meloloskan izin tambang karst bagi pabrik semen meski kawasan dinyatakan terlindung oleh pusat.
Dicontohkan, ekosistem karst di Gombong, Jawa Tengah, sejak 1983 berulang kali diincar pabrik semen. Bahkan, meski pada 6 Desember 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gunung Sewu dan Gombong sebagai kawasan ekokarst, pada 2013 terbit izin dari Dinas ESDM Jateng kepada pabrik semen.
“Perintah presiden disingkirkan seenaknya. Di lapangan bicara lain. Kita bicara lingkungan, semua itu kalah dengan kekuasaan dan uang,” kata Emil.
Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Antung Deddy Radiansyah mengatakan, RPJMN 2014-2019 menargetkan pembentukan kawasan ekosistem esensial (KEE) karst Maros Pangkep di Sulsel; Sangkulirang Mangkalihat di Kaltim, Gunung Sewu di Jawa, Cukang Taneuh di Jabar, Jareweh di NTB, dan Buluh Kumbang di Kalsel. KEE karst akan dikelola oleh pemda bersama pemangku kepentingan. (ICH)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Desember 2015, di halaman 14 dengan judul “Jangan Ulangi Kesalahan di Gambut”.
——-
Penyerap Emisi, Ekosistem Karst Harus Dilindungi
Ekosistem karst di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, memiliki kemampuan menyerap 0,41 miliar metrik ton CO2. Di sisi lain, ekosistem yang rentan rusak ini melepaskan 0,35 miliar metrik ton C02 dalam pembentukan karst atau karstifikasi.
KOMPAS/LUSIANA INDRIASARI–Pemandangan alam di Taman Batu (Stone Garden) yang berlokasi di kawasan Karst Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jumat (15/5). Taman Batu merupakan bukti bahwa dataran tinggi Bandung pada masa puluhan juta tahun lalu merupakan dasar laut dangkal.
Karena itu, secara bersih sekitar 0,06 miliar metrik ton CO2 diserap ekosistem karst. Potensi ini membuat karst berperan penting dalam mengendalikan perubahan iklim.
Hal itu mengemuka dalam Lokakarya Nasional “Ekosistem Esensial Karst sebagai Sistem Penyangga Kehidupan: Peran Strategis Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Karat Berkelanjutan”, Senin (14/12) di Jakarta. Lokakarya menghadirkan Emil Salim, Sonny Keraf, dan pembicara lain dari pemerintah pusat dan daerah, akademisi, dunia usaha, dan LSM.
“Perlindungan dan pengelolaan ekosistem karst menjadi sangat penting, apalagi dalam Konferensi Perubahan Iklim Ke-21 di Paris, ditetapkan agar peningkatan suhu ialah sampai 2 derajat celsius, bahkan jangan sampai 1,5 derajat celsius,” kata Arief Yuwono, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Keterkaitan dengan COP Paris, menurut Arief, pada isu sistem penghitungan karbon-yang juga menjadi amanat COP Paris-di karst yang perlu disusun. Apalagi, COP Paris juga mengikat komitmen 100 miliar dollar AS untuk dana iklim.
KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA–Mata air di kaki perbukitan karst, Kampung Merabu, Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, ini menjadi tempat favorit warga, terutama anak-anak dan remaja, untuk berenang atau bersantai, Selasa (13/5/2014). Merabu adalah salah satu kampung percontohan penerapan program pengelolaan hutan lestari melalui skema Program Karbon Hutan Berau (PKHB), yang mendukung penerapan program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+).
Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Antung Deddy Radiansyah mengatakan, ekosistem esensial adalah wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati flora dan fauna tinggi tetapi rentan terhadap perubahan ekosistem. Karena itu, keberadaan ekosistem penting ini perlu dilindungi agar terjadi keseimbangan alam guna kelangsungan hidup umat manusia.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011, ekosistem esensial berupa karst, lahan basah (danau, sungai, rawa, payau, dan wilayah pasang surut tak lebih dari 6 meter), mangrove, dan gambut yang berada di luar kawasan suaka alam dan kawasan perlindungan alam.
Luas kawasan karst di Indonesia sekitar 14,5 juta hektar atau 0,08 persen dari total wilayah daratan yang tersebar di 21 provinsi. Karst berperan menyangga kehidupan makhluk hidup karena kemampuannya menyerap jutaan meter kubik air hujan setiap tahun. Ini belum manfaatnya dari sisi ekonomi lain dan budaya di masyarakat.
Namun, bentang alam ekosistem ini rentan terhadap kerusakan yang dapat mengubah karakteristik lingkungan. Ancaman tertinggi pada penggalian batuan karst dari penggalian masyarakat ataupun skala masif seperti pabrik semen.
ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas Siang | 14 Desember 2015