Setelah tiga tahun bergulat melawan kanker serviks, artis Julia Perez meninggal pekan lalu. Perjuangannya menginspirasi banyak orang untuk tegar mengatasi kanker sampai titik terakhir sekaligus membuka mata untuk mengenali dan mencegah kanker sejak dini.
Sebenarnya, Julia Perez yang populer dipanggil Jupe tidak sendiri. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 1 juta perempuan di seluruh dunia saat ini hidup dengan kanker serviks atau kanker mulut rahim. Di Indonesia, tidak kurang dari 15.000 kasus kanker serviks terjadi setiap tahun.
Data Global Action Cancer (GloboCan) 2012 menyebutkan, setiap satu jam, satu perempuan di Indonesia meninggal akibat kanker serviks. WHO menyebut kanker serviks sebagai pembunuh wanita nomor satu di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kanker serviks terjadi akibat paparan infeksi human papilloma virus (HPV) yang berlangsung dalam jangka panjang. HPV adalah kelompok virus yang menginfeksi sel epitel kulit dan membran mukosa pada manusia. Lapisan membran, seperti lubang hidung, mulut, telinga, dan area genital, mengandung kelenjar yang mengeluarkan lendir atau mukus. Fungsinya untuk melembabkan, membantu penyerapan nutrisi, dan pelindung dari paparan lingkungan luar.
Tipe HPV sangat banyak, lebih kurang ada 100 tipe yang berhasil diidentifikasi. Dari jumlah itu, yang paling sering memicu keganasan di mulut rahim adalah HPV 16 dan HPV 18, dengan penularan terutama melalui kontak seksual.
Menurut Ketua Yayasan Kanker Indonesia, Prof Dr dr Aru Wisaksono Sudoyo SpPD-KHOM FACP, untuk menghindari kanker ditemukan dalam stadium lanjut, upayakan pencegahan pada kanker secara umum dengan menjalani hidup sehat. Mulai dari menu makanan sehat, tidak merokok, hingga olahraga teratur. Khusus pada kanker serviks, pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi HPV.
WHO merekomendasikan vaksin HPV untuk anak perempuan usia 9-26 tahun karena vaksin akan semakin efektif bila diberikan kepada perempuan yang belum aktif secara seksual. Di Amerika Serikat, vaksinasi HPV direkomendasikan untuk usia 11-12 tahun, Inggris usia 12-13 tahun, dan Eropa Barat rata-rata 12 tahun. Kesadaran vaksinasi negara-negara Barat ini membuat angka kematian akibat kanker serviks bisa ditekan menjadi amat rendah. Di AS, contohnya, kasus kanker serviks turun 75 persen setelah 10 tahun vaksinasi HPV.
Sebaliknya, di negara-negara berkembang, aplikasi vaksin HPV masih sangat rendah. Bahkan, uji coba vaksin ini di Jakarta bekerja sama dengan Global Vaccine Alliance (Gavi), beberapa waktu lalu, sempat disalahpahami. Akibatnya, angka kematian di negara miskin dan berkembang masih amat tinggi.
Padahal, vaksinasi HPV bisa berhasil 100 persen. Syaratnya, vaksin diberikan dua kali-biasanya dengan selang enam bulan- pada anak perempuan usia 9-13 tahun yang belum mengalami kontak seksual. Sementara untuk perempuan yang sudah menikah atau aktif secara seksual, deteksi dini bisa dilakukan dengan metode inspeksi visual asam asetat (IVA) ataupun pap smear.
Menurut Aru, apabila sampai terkena, metode pengobatan bergantung pada stadium kankernya. Agar bisa bertahan, para penderita kanker serviks sebaiknya menjalani pengobatan yang direkomendasikan dokter dengan baik.
Sampai saat ini, terobosan baru untuk pengobatan kanker serviks belum ada. “Oleh karena itu, amat penting gejala kanker bisa dideteksi sedini mungkin,” kata Aru.
Maka, di balik perasaan dukacita, kematiannya menjadi berkah untuk waspada dan menjalani berbagai upaya preventif secara teratur dan berkelanjutan. Terima kasih Jupe.–AGNES ARISTIARINI
————————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Juni 2017, di halaman 14 dengan judul “Kanker Serviks”.