Tahun ini, datangnya tahun baru Islam, 1 Muharram 439 Hijriah, berbeda dengan datangnya tahun baru Jawa, 1 Sura Tahun Dal 1951 Jawa. Kondisi serupa juga terjadi tahun lalu. Meski sama-sama kalender berbasis pergerakan Bulan, kalender Islam dan kalender Jawa memiliki sistem dan aturan berbeda.
Dalam kalender masehi yang dipakai sehari-hari, 1 Muharram 1439 Hijriah jatuh mulai Rabu (20/9) selepas maghrib hingga Kamis (21/9) sebelum maghrib. Rabu malam dan Kamis siang, pawai merayakan datangnya tahun baru Islam dirayakan di sejumlah daerah.
Sementara sesuai penghitungan kalender Jawa, 1 Sura tahun Dal 1951 Jawa atau biasa ditulis 1951 (Dal) bertepatan dengan Kamis (21/9) setelah Matahari terbenam hingga Jumat (22/9) sebelum Matahari terbenam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagian masyarakat sudah merayakan tahun baru Jawa sejak Rabu malam. Namun, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat baru merayakan kirab menyambut 1 Sura pada Kamis malam atau malam Jumat.
Banyak warga Jawa menganggap kalender Islam dan kalender Jawa sama. Terlebih, kedua kalender itu memiliki banyak kemiripan. Namun, dua kalender itu sejatinya tak sama.
“Sebuah kalender harus dimanfaatkan. Jika tidak, hilang,” kata ahli kalender pada Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, Kamis (21/9).
Kalender Bulan
Kalender Islam dan kalender Jawa adalah kalender Bulan. Keduanya memakai pergantian fase Bulan (moon) sebagai dasar penghitungannya. Satu bulan (month) ditandai dengan dimulainya fase Bulan baru hingga datangnya Bulan mati. Keduanya memiliki aturan berbeda.
Saat ini, kalender Islam ialah kalender astronomis. Artinya, datangnya Bulan baru didasarkan terlihatnya sabit tipis Bulan, khususnya untuk tiga bulan terkait ibadah wajib, yaitu Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah. Di luar tiga bulan itu, penentuan awal bulan didasarkan kemungkinan terlihatnya sabit Bulan.
Sifat itu membuat jumlah hari dalam satu bulan kalender Islam tak menentu, bisa 29 hari atau 30 hari. Itu berbeda dengan kalender Masehi yang jumlah hari dalam satu bulan sudah dipatok, misalnya Januari selalu 31 hari dan Februari 28 hari bagi tahun basit (pendek) atau 29 hari untuk tahun kabisat (panjang).
Selain amat bergantung pada fenomena astronomi, kriteria yang dipakai untuk menentukan awal bulan dalam kalender Hijriah belum ada kesepakatan, baik skala nasional maupun global. Jadi awal bulan dalam kalender Hijriah bisa berbeda, baik antarkelompok agama atau negara.
Sementara kalender Jawa adalah kalender matematis, mirip dengan kalender Masehi. Jumlah hari dalam setiap bulannya sudah ditentukan, bulan ganjil seperti Sura atau bulan ke-1, Mulud (ke-3), dan Pasa (ke-9) selalu 30 hari, sedang bulan genap seperti Sapar (ke-2) dan Sawal (ke-10) selalu 29 hari.
Khusus untuk bulan ke-12 atau Besar, jumlah harinya 29 hari bagi tahun basit dan 30 hari untuk tahun kabisat. Setiap satu windu atau putaran delapan tahun dalam kalender Jawa, ada dua atau tiga tahun kabisat, yakni tahun Ehe (urutan ke-2 dalam satu windu), Dal (ke-5) dan Jimakir (ke-8).
“Sifat matematisnya membuat kalender Jawa tak mengalami sengketa, seperti pada penentuan awal bulan kalender Hijriah,” kata Hendro Setyanto, Ketua Penelitian dan Pengembangan Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang juga pengelola lembaga astronomi Imah Noong, Lembang, Jawa Barat.
Berkembang
Namun, sebagai produk budaya, kalender akan berkembang. Perkembangan itu amat ditentukan sifat fungsional atau aspek pemanfaatan kalender itu.
Kalender Islam bermula dari kalender Arab yang dipakai sejak masa pra-Islam. Kebutuhan untuk memiliki penanggalan yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan administrasi sipil dan pemerintahan membuat Umar bin Khattab menjadikannya sebagai kalender Islam. Titik awal tahunnya ditentukan berdasar peristiwa hijrah atau berpindahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah.
“1 Muharam 1 Hijriah bertepatan dengan 16 Juli 622 Masehi,” kata Moedji. Jumlah hari dalam kalender Islam 354 hari atau 355 hari, lebih pendek dibandingkan dengan kalender Masehi yang memiliki 365 hari atau 366 hari.
Perkembangan Islam yang meluas membuat kalender itu menghadapi tantangan untuk menyatukan berbagai sistem kalender, khususnya kriteria penentuan awal bulan beragam di dunia. Di Indonesia, kriteria awal bulan Hijriah berbeda antarorganisasi keagamaan.
Sementara kalender Jawa adalah perpaduan kalender Saka yang dipakai masyarakat Hindu Jawa dan Kejawen pada masa lalu dengan kalender Islam yang digunakan kaum santri. Menurut H Djanudji dalam Penanggalan Jawa 120 tahun Kurup Asapon (2006), Raja Mataram Sultan Agung Anyakrakusuma menyatukan kedua kalender itu menjadi kalender Jawa dan dimulai bertepatan dengan 1 Muharram 1043 Hijriah atau 8 Juli 1633 Masehi.
Dalam kalender Jawa, nama hari, bulan, dan jumlah hari dalam satu tahun diambil dari kalender Hijriah yang disesuaikan dengan budaya masyarakat Jawa saat itu, tak diserap mentah-mentah. Sementara tahun kalender Jawa memakai tahun dari kalender Saka.
Alhasil, awal penanggalan Jawa adalah 1 Sura 1555 Jawa, bukan 1 Sura 1 Jawa. Karena kalender Jawa adalah kalender Bulan, lebih pendek tahunnya dibanding kalender Saka yang merupakan kalender Matahari, jumlah tahun dalam kalender Jawa lebih maju dibanding tahun kalender Saka yang dipakai masyarakat Hindu Bali saat ini.
Pemanfaatan
Belum adanya kesepakatan soal kriteria awal bulan kalender Islam membuat kalender ini sulit digunakan untuk keperluan sipil dan pemerintahan. Sejak 1 Oktober 2016, Arab Saudi meninggalkan kalender Islam dan menggantinya dengan kalender Masehi untuk keperluan administrasi publik. Adapun kalender Islam tetap digunakan untuk kepentingan ibadah.
Kondisi itu membuat sejumlah ulama dan ilmuwan global berusaha menyatukan kalender Islam dan memperbaiki sistemnya hingga mampu menjawab tantangan dunia global. “Kalender Islam harus dikembalikan sebagai kalender muamalah (publik), sama seperti masa awal Umar bin Khattab,” kata Hendro.
Meski kalender Jawa kurang dipahami masyarakat saat ini, nasib kalender Jawa lebih baik dibanding kalender etnik yang ada di Indonesia, seperti kalender Sunda atau Batak. Kalender Jawa memiliki penjaga, yaitu keraton dan sejumlah cendekiawan yang memahami, menjaga dan mengembangkannya. “Kalender harus fungsional, jadi akan berkembang,” kata Moedji.–M ZAID WAHYUDI
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 September 2017, di halaman 14 dengan judul “Serupa, tapi Tak Sama”.