Jatuh Bangun Mahasiswa Salah Jurusan

- Editor

Senin, 29 Januari 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Parulian Situmorang (26) masih tidak menyangka bisa menamatkan kuliahnya akhir 2016. Ia yang mulai kuliah di Program Studi (Prodi) Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta pada 2010 itu menjalani studi dengan terseok-seok. Bukan karena masalah akademik ataupun ekonomi, melainkan salah jurusan.

”Awalnya saya tidak berharap bisa kuliah di prodi pendidikan sejarah, tetapi orangtua menginginkan saya untuk jadi guru,” ujar Parulian di Jakarta, Kamis (25/1). Ia merasa tertekan dengan harapan keluarga besarnya agar ada salah satu anggota keluarga yang menjadi pendidik. Ia sendiri tertarik mempelajari perpajakan dan fotografi.

Berada dalam situasi sulit, Parulian mencoba berdamai dengan dirinya. Perkuliahan semester pertama ia ikuti, tetapi tetap setengah hati. Raga boleh hadir di kelas, tetapi hati tidak. Setiap mata kuliah yang diikuti tak pernah diikuti dengan serius.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Akibatnya, indeks prestasi (IP) semester I jeblok. Ia meraih nilai 2,1 dari 18 sistem kredit semester (SKS). Bahkan, pada akhir semester II, IP Parulian adalah 0 dari 12 SKS yang diambil.

”Ayah saya sangat marah sehingga saya memutuskan pergi dari rumah,” kata Parulian.

Menghadapi situasi demikian, emosinya berkecamuk. Ia lari dari segala tugas kuliah hingga dua semester. Selama itu pula ia memutuskan tinggal bersama pamannya di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung.

Di sana, pamannya menawarkan untuk mendaftar kuliah di kampus yang baru. Tawaran itu juga didukung orangtuanya. Namun, Parulian menolak. Bukan lokasi yang membuatnya bermasalah, melainkan jurusan yang harus diambil.

KURNIA YUNITA RAHAYU–Diskusi buku #antisalahjurusan karya Monic Christian di Jakarta, Kamis (25/1).

Dalam situasi demikian, ia memilih kembali ke Jakarta dan melanjutkan kuliah yang telah ditinggalkan. Namun, keputusan itu sekali lagi bukan perkara mudah. Di samping melawan kehendak pribadi, ia juga harus menghadapi sikap ayah yang tak lagi ramah. Oleh karena itu, ia memilih tinggal di rumah kos.

”Selain hubungan dengan orangtua yang merenggang, saya juga kehilangan uang dan waktu karena berkuliah di jurusan yang tidak dikehendaki,” ujar Parulian.

Hal serupa dialami Junni Febrianti (23). Mahasiswa asal Bali itu mulai kuliah di Jurusan Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah, 2012. Namun, studi teologi itu kandas di tengah jalan.

”Pilihan jurusan itu bukan passion saya, melainkan pilihan ayah,” ucap Junni. Cita-citanya adalah mempelajari pariwisata dan menetap di Bali.

Kuliah yang dilakukan karena terpaksa, kata Junni, membuatnya berperilaku seenaknya. Selama 2012-2016 di Salatiga, hanya 1,5 tahun ia aktif kuliah. Sisanya, ia hanya membayar SKS yang didaftarkan selama sembilan semester. ”Setiap semester, saya hanya masuk kelas sekitar dua minggu setelahnya saya tinggal untuk main,” kata Junni.

Junni mengatakan telah mencoba kembali ke kampung halaman sejak tahun pertama kuliah. Namun, kedua orangtuanya menyakinkan Juni untuk bertahan. ”Ternyata saya tidak bisa melanjutkan kuliah di jurusan yang tidak saya inginkan,” katanya.

Ketika memaksa kembali ke Bali pada Agustus 2016, hubungan dengan ayahnya juga merenggang. ”Lebih dari satu bulan tak diajak bicara ayah,” kata Junni.

Namun, kemarahan di antara keduanya meluntur seiring berjalannya waktu. Kini, ia tengah mendaftar kuliah di kampus yang menyediakan jurusan pariwisata. ”Saya tidak mau salah jurusan lagi, apalagi pada usia saat ini seharusnya sudah lulus,” ucapnya.

Persoalan mahasiswa yang salah dalam memilih jurusan pun tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Berdasarkan survei Pennsylvania State University, Amerika Serikat, 2012, 80 persen dari seluruh mahasiswa baru di sana merasa salah jurusan. Setengah dari mereka memutuskan pindah jurusan lebih dari sekali.

Minim informasi
Sosiolog pendidikan UNJ, Rakhmat Hidayat, mengatakan, fenomena salah jurusan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir disebabkan kesenjangan informasi antara perguruan tinggi dan sekolah. Perguruan tinggi belum memenuhi kebutuhan informasi lulusan sekolah secara optimal.

”Semestinya perguruan tinggi dapat mengoptimalkannya dengan peran hubungan masyarakat (humas), tetapi hal itu terbatas dengan daya jangkau sekolah,” kata Rakhmat.

Ia menambahkan, perguruan tinggi bergerak cepat mengikuti perkembangan zaman dengan membuka prodi-prodi baru, tetapi sebagian besar masyarakat belum bisa merespons perubahan tersebut. Padahal, perguruan tinggi semestinya bisa berjalan beriringan dalam merespons perkembangan zaman.

”Calon mahasiswa dan orangtua dirugikan karena berada dalam lembaga (universitas dan sekolah) yang seharusnya bisa menjembatani kebutuhan informasi pemilihan prodi,” ujar Rakhmat.

Tes bakat belum optimal
Ketua Musyawarah Guru Bimbingan Konseling DKI Jakarta Ester Damanik mengatakan, pembacaan terhadap potensi siswa sejak masih di sekolah belum dilakukan secara optimal. Para siswa semestinya telah dites mengenai minat dan bakatnya sejak kelas III sekolah menengah pertama (SMP) sebab di sekolah menengah atas (SMA), mereka sudah harus memilih jurusan sejak awal.

”Kendalanya, tes bakat itu kan mahal, tidak semua sekolah bisa melakukannya untuk murid,” kata Ester saat menjadi pembicara bedah buku #antisalahjurusan karya Monic Christian.

Selain untuk memetakan bakat, kata Ester, tes itu juga membantu guru, orangtua, dan anak mengambil keputusan. Tidak semua siswa memiliki bakat untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, ada juga mereka yang berbakat untuk langsung bekerja.

Antropolog Universitas Gadjah Mada Paschalis Maria Laksono mengatakan, pilihan melanjutkan studi ke perguruan tinggi harus dipertimbangkan dengan baik. Perguruan tinggi merupakan tempat pengembangan ilmu pengetahuan secara jangka panjang. Bukan sekadar mencari gelar untuk mendapatkan pekerjaan.

Menurut Laksono, perguruan tinggi semestinya juga menyediakan sistem belajar lintas departemen. Sistem itu memungkinkan mahasiswa mengambil mata kuliah di luar jurusan atau prodinya. Dengan demikian, mahasiswa dapat mempelajari subjek studinya secara multidisiplin. Hal itu juga memungkinkan mereka mempelajari mata kuliah yang menjadi minat pribadi. (DD01)

Sumber: Kompas, 26 Januari 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 15 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB