Kelelawar berperan penting dalam ekosistem dan lingkungan. Mamalia terbang ini berjasa sebagai pemencar biji dan pengendali populasi serangga sekaligus berpotensi mendatangkan nilai ekonomi.
Di balik kehadirannya yang dikenal sebagai reservoir virus penyebab penyakit mematikan pada manusia, kelelawar berjasa besar terhadap ekosistem dan lingkungan. Berbagai hasil penelitian menunjukkan, kehadiran satu-satunya mamalia terbang ini tidak hanya berjasa sebagai pemencar biji dan pengendali populasi serangga, tetapi juga berpotensi mendatangkan nilai ekonomi.
Semua telah mengetahui bahwa kelelawar diduga kuat menjadi reservoir virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 pada manusia yang saat ini menjadi pandemi di seluruh dunia. Akibat kejadian ini, kelelawar seolah menjadi spesies yang paling disalahkan dan banyak pihak menjadikannya sebagai hama yang harus dimusnahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Indonesia, aturan memusnahkan kelelawar sempat dikeluarkan Bupati Subang, Jawa Barat, melalui surat edaran yang terbit pada 16 Maret 2020. Salah satu butir surat edaran itu meminta agar masyarakat membasmi kelelawar di lingkungan mereka. Tindakan ini menjadi salah satu bukti kekhawatiran masyarakat di awal pandemi yang tak diiringi pemahaman secara menyeluruh.
Sejumlah penelitian memang menunjukkan kelelawar berperan penting sebagai pembawa virus yang menyebabkan penyakit infeksius baru (emerging infectious disease/EID) pada manusia ataupun ternak. Selain wabah sindrom pernapasan akut parah (SARS) dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS), kelelawar diyakini menjadi pemicu penyebaran virus korona, hanta, rabies, henipah, ebola, dan marburg.
Namun, terlepas dari stigma sebagai satwa penyebar penyakit yang telah melekat, kelelawar sebenarnya memiliki kontribusi besar bagi lingkungan. Menurut hasil riset oleh Profesor Emeritus Biologi dari Boston University Thomas H Kunz dan kawan-kawan pada 2011, kelelawar berjasa dalam membantu penyerbukan lebih dari 528 spesies tumbuhan di dunia.
Peneliti kelelawar Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sigit Wiantoro, mengemukakan, hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa kelelawar di Meksiko terbukti membantu penyerbukan agave. Tumbuhan ini sangat penting di Meksiko sebagai bahan baku pembuatan tequila.
”Peran kelelawar terhadap penyerbukan durian sangat besar di Sulawesi. Dalam satu musim panen durian jika dihitung dapat mencapai 117 dollar AS per hektar. Ini saya buktikan dengan meletakkan kamera penjebak dan setiap malam kelelawar selalu datang ke pohon durian yang berbunga,” ujarnya dalam seminar daring, Sabtu (17/4/2021).
Menurut Sigit, kelelawar memiliki sifat unik saat mencari makan di pohon buah. Setelah mengambil buah di pohon tersebut, kelelawar terbang ke tempat lain dan menyebarkan biji buah yang dimakannya. Hal ini membuat kelewar menjadi agen pemencar biji yang sangat penting dalam regenerasi hutan.
Peran kelelawar kecil maupun besar dalam membantu penyebaran biji juga telah dibuktikan melalui hasil penelitian terbaru dari peneliti di Yayasan Rimba Malaysia, Sheema Abdul Aziz dkk. Dari hasil penelitian itu, kelelawar besar memiliki jarak penyebaran biji terjauh, hingga 75 kilometer, dibandingkan hewan lainnya yang diteliti.
——Peran kelelawar sebagai pemencar biji lebih jauh dibandingkan satwa lain.
Selain itu, kelelawar berperan sebagai pengendali populasi serangga. Kelelawar mampu memakan serangga sebanyak seperempat hingga sama dengan berat tubuhnya dalam satu malam. Sebagai gambaran, berat kelelawar ukuran sedang sekitar 12 gram sehingga serangga yang dimakan dapat mencapai 3 gram. Ini belum dikalikan dengan jutaan kelelawar dari setiap koloni.
Nilai ekonomi
Hasil penelitian valuasi ekonomi di Gua Cikenceng, kawasan karst Cibinong, keberadaan kelelawar mampu menghemat biaya dalam pengendalian hama sebesar lebih dari Rp 227 juta per tahun. Sementara hasil riset di Thailand, kelelawar spesies Chaerephon plicatus yang memakan hama mampu mencegah kerusakan padi 2.900 ton per tahun atau menyelamatkan 1,2 juta dollar AS.
Kotoran kelelawar juga dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi pupuk guano. Penelitian valuasi ekonomi pupuk guano dari 5.000 kelelawar di tiga goa di kawasan Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, menghitung nilainya dapat mencapai Rp 2,5 juta per hari. Sementara kotoran kelelawar di Goa Lalay, Lebak, Banten, mampu menghasikan 2 ton pupuk guano per dua bulan.
”Ketika kita akan mengambil manfaat guano dari kelelawar, ini tentu tidak bisa sembarangan. Kebetulan IUCN (Badan Konservasi Dunia) telah menerbitkan panduan bagaimana mengambil guano dari goa dengan benar sehingga tidak mengganggu ekosistem yang ada,” kata Sigit.
Kelelawar juga dapat dijadikan obyek ekowisata seperti yang telah diterapkan di Taman Nasional Gunung Mulu, Malaysia. Di kawasan tersebut, setiap sore menjelang malam, masyarakat selalu melihat 2-3 juta spesies kelelawar yang keluar dari habitatnya dan terbang melintasi langit.
Beberapa kawasan di Indonesia juga berpotensi dijadikan sebagai ekowisata seperti goa di kawasan karst di Jawa, Sumatera, atau Sulawesi dengan populasi kelelawar yang masih amat tinggi. Terdapat pula koloni kalong di daerah Kolaka (Sultra), Seram (Maluku), Parigi Moutong (Sulteng), dan Panjalu Ciamis (Jabar).
Obyek riset
Sigit menegaskan, mengetahui jenis kelelawar dan habitatnya akan sangat membantu dalam proses observasi satwa yang berpotensi menularkan penyakit. Sebab, pada dasarnya kelelawar tidak sakit meski mereka merupakan reservoir dari berbagai jenis patogen karena memiliki sistem imun sangat kuat. Fakta ini dianggap sangat potensial sebagai obyek riset terkait kesehatan.
Berdasarkan basis data keanekaragaman mamalia, saat ini ada 1.439 jenis spesies kelelawar di dunia, terdiri dari 21 famili dan 233 genus. Sementara hasil penelitian LIPI pada 2019 menyebutkan, Indonesia memiliki 17 persen jenis kelelawar di dunia yang terdiri dari 10 famili, 55 genus, dan 239 spesies. Ratusan spesies kelelawar di Indonesia tersebut masih terbuka peluang yang sangat lebar untuk diteliti lebih lanjut.
Menurut Sigit, data menunjukkan pada 1800 hingga 1900-an, terdapat puluhan jenis spesies kelelawar baru yang diidentifikasi di Indonesia. Hal ini disebabkan banyak ekspedisi dilakukan peneliti Eropa maupun Amerika. Namun, setelah 1910 sampai kini, sedikit sekali spesies kelelawar baru yang ditemukan karena kurangnya penelitian.
Mengingat banyaknya jasa kelelawar bagi lingkungan dan potensi yang ada, peneliti Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program, Shera Sheherazade, menilai, penting untuk menghentikan kegiatan antropogenik atau aktivitas yang tidak memperhatikan alam.
Shera menambahkan, faktor antropogenik merupakan hal yang sangat krusial dalam meningkatkan risiko munculnya penyakit zoonosis. Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko tersebut dan mencegah munculnya penyakit zoonosis yang sama parahnya dengan Covid-19, perlu memahami jalur dan memutus transmisinya seperti perdagangan satwa liar.
”Solusi lainnya dapat dengan mengurangi laju deforestasi, menghentikan perdagangan komersial terutama untuk keperluan konsumsi di tingkat urban, hingga melakukan disease surveillance (pengawasan penyakit). Jadi, kita membutuhkan tranformasi dalam memperlakukan alam dari eksploitatif menjadi berkelanjutan,” ucapnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 19 April 2021