Risiko Penyakit Berpotensi Pandemi Tak Hanya dari Kelelawar

- Editor

Kamis, 16 April 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kelelawar dan tikus tidak eksklusif terkait kecenderungan mereka jadi inang virus yang menginfeksi manusia. Sejumlah besar virus dari kelelawar dan tikus yang menyerang manusia ada pada sejumlah spesies di kelompok ini.

Kelelawar dan tikus dianggap berisiko tinggi menjadi sumber virus penyebab penyakit yang bisa menyerang manusia dan membuat wabah hingga pandemi. Beberapa ilmuwan berpendapat hewan-hewan itu memiliki beberapa sifat yang dapat meningkatkan kemungkinan kejadian penularan dari hewan ke manusia, dan akhirnya mereka seharusnya diawasi lebih dekat.

Namun, analisis statistik terbaru menunjukkan kelelawar dan tikus tidak eksklusif terkait kecenderungan mereka jadi inang virus yang menginfeksi manusia. Ketika melihat sekumpulan data terkait virus dan inang pada sejumlah tingkatan ordo mamalia dan burung, para peneliti dari Skotlandia menemukan sejumlah besar virus dari kelelawar dan tikus yang menginfeksi manusia secara proporsional ada pada sejumlah spesies pada kelompok itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

”Ada penjelasan numerik yang rasional pada pola yang mencolok,” kata Daniel Streicker, ahli ekologi penyakit pada University of Glasgow, Inggris. Ia membantu menganalisis kajian dalam jurnal PNAS, 13 April 2020, yang dipublikasikan esoknya pada Nature.

Hal itu berarti upaya pengawasan di masa depan untuk mengidentifikasi ancaman penyakit dari sumber hewan harus melihat di luar kelompok hewan tertentu dan fokus pada daerah dengan keanekaragaman hayati tinggi.

Namun, saran ini dinilai tak praktis karena keterbatasan sumber daya. Apalagi, hingga kini, kelelawar yang pernah dibuktikan menyebabkan penyakit parah pada manusia, termasuk rabies, ebola, dan virus korona terkait sindrom pernapasan akut (SARS-CoV).

Karena itu, masuk akal bahwa kelelawar dan tikus menjadi fokus dari sebagian besar deteksi dan pengawasan virus. Kelelawar juga merupakan tersangka utama sebagai sumber SARS-CoV-2, virus yang bertanggung jawab atas pandemi saat ini.

Permainan angka
Riset yang meneliti spesies individu telah menemukan kelelawar memiliki virus lebih proporsional daripada mamalia-mamalia lain. Namun, Streiker dan Nardus Mollentze, juga di Universitas Glasgow, memutuskan untuk melihat apakah pola ini ada di berbagai kelompok mamalia dan burung berbeda.

Streiker memaparkan, pengamatan pada tingkatan ordo hewan menghilangkan beberapa ketidakpastian pada spesies mana yang merupakan inang dari virus baru. Akan tetapi, para peneliti cukup yakin mengenai kelompok hewan mana yang terlibat berdasarkan perbandingan genetika antara virus yang menginfeksi manusia dan yang beredar di inang hewan.

Mereka membandingkan virus yang menginfeksi manusia pada 11 ordo, termasuk chiroptera (kelelawar), rodentia (tikus), dan passeriformes (burung berkicau). Berdasarkan kumpulan data dari mereka sendiri dan lainnya, para peneliti itu mengumpulkan data pada 415 virus DNA dan RNA dari hewan yang telah menyebar ke manusia.

Analisis statistik memperkirakan kelompok hewan dengan lebih banyak spesies cenderung memiliki lebih banyak virus. Akibatnya, sejumlah besar dan jenis virus juga dapat melompat ke manusia. Misalnya, tikus adalah kelompok mamalia yang paling kaya spesies dalam riset ini dan hewan pengerat ini juga memiliki jumlah virus terbesar yang berpindah ke manusia.

Faktor virus
Dalam analisis statistik lain, pasangan ini mempertimbangkan pentingnya biologi inang dibandingkan dengan faktor virus. Model menemukan bahwa aspek biologi virus, seperti bagaimana virus bereplikasi atau apakah itu ditularkan oleh serangga, lebih merupakan faktor limpahan atau ikutan daripada sifat fisiologis ataupun ekologi.

Sebagai contoh, meski kelelawar dianggap menampung banyak virus berbeda karena sistem kekebalannya, Streicker mengatakan fitur unik ini tidak meningkatkan risiko virus-virus itu keluar (spillover). ”Tidak ada kelompok tunggal inang hewan yang konsisten meningkatkan risiko virus terhadap manusia,” katanya.

”Jika kita ingin dapat memprediksi virus mana yang paling mungkin menginfeksi manusia, sifat-sifat virus itu mungkin lebih informatif daripada sifat si inangnya,” ujarnya menambahkan.

Streicker menyarankan agar riset di masa depan harus fokus pada sifat-sifat virus yang mungkin meningkatkan kecenderungan mereka untuk beralih ke manusia. Ia pun menekankan pentingnya melihat faktor-faktor lain, seperti perdagangan satwa liar dan perubahan lingkungan, telah mendorong hewan untuk berhubungan dengan lebih banyak orang dan memengaruhi kemunculan virus.

Dari inang ke manusia
Temuan bahwa keanekaragaman spesies sesuai kekayaan virus, Kevin Olival, Wakil Presiden EcoHealth Alliance, juga setuju hal itu menjadi alasan kuat untuk memperluas pengawasan di luar kelompok mamalia tertentu. Namun, Olival tidak berpikir riset itu akan mengakhiri perdebatan tentang apakah ada hewan yang menjadi sumber utama virus secara khusus.

Dalam studi itu, virus diperiksa berdasarkan ordo inang hewan, bukan spesies atau menghilangkan informasi spesies inang secara spesifik, seperti ukuran populasi, kepadatan, kelimpahan spesies, dan jumlah kontak dengan manusia. Semua faktor ini bisa memengaruhi keragaman dan penularan virus.

Namun, ia juga setuju bahwa saat ini masih logis untuk melanjutkan beberapa upaya pengawasan terarah pada kelelawar dan hewan pengerat dengan segudang catatan ”prestasi” mereka.

Ahli virologi Jemma Geoghegan di University of Otago, Selandia Baru, mengatakan, sebelum para peneliti dapat memakai ciri-ciri virus untuk memprediksi peristiwa tumpahan virus dari hewan berikutnya, banyak lagi virus yang perlu disampel dan dikarakterisasi. Langkah ini penting guna mengungkapkan keragaman virus yang sebenarnya di alam.

Sampai saat itu, dia berpikir upaya pengawasan lebih baik diarahkan ke pengawasan genom di daerah tempat orang dan hewan berinteraksi, seperti pasar hewan hidup. ”Dengan begitu, kita dapat dengan cepat mengenali virus yang tumpah,” katanya.

Oleh ICHWAN SUSANTO

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 15 April 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB