DALAM daftar orang kaya yang awal pekan ini dikeluarkan majalah ”Forbes” ada 26 miliuner pendatang baru. Dua di antaranya adalah pendiri dan CEO WhatsApp, Jan Koum (38), dan rekannya, Brian Acton (42). Menurut ”Forbes”, Koum berada pada urutan ke-202 dengan kekayaan 6,8 miliar dollar AS (sekitar Rp 78 triliun), sedangkan Acton menempati urutan ke-551 dengan 3 miliar dollar AS (sekitar Rp 35 triliun).
Masuknya Koum dalam daftar itu tak terlepas dari akuisisi Facebook Inc terhadap WhatsApp, perusahaan penyedia pengiriman pesan singkat dari berbagai platform telepon seluler (ponsel). Facebook membayar WhatsApp senilai 19 miliar dollar AS (sekitar Rp 220 triliun) berupa saham dan uang tunai.
Rinciannya, 4 miliar dollar AS berupa tunai, 12 miliar dollar AS berupa 8,5 persen saham Facebook, ditambah 3 miliar dollar AS berupa saham terbatas. Koum juga akan menjadi salah satu anggota direksi di Facebook Inc.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Transaksi ini memenuhi kantong kedua pendiri WhatsApp dan Sequoia Capital, satu-satunya perusahaan yang menanamkan sahamnya pada WhatsApp. Sequoia mendapatkan 3,5 miliar dollar AS. Artinya, 60 kali lipat dari investasi awal sebesar 58 juta dollar AS.
Akuisisi tersebut adalah salah satu akuisisi terbesar dalam bidang teknologi setelah HP membeli Compaq seharga 25 miliar dollar AS tahun 2001. Nilai akuisisi 19 miliar dollar AS itu setara dengan empat kali nilai kapitalisasi Blackberry.
Uang sebanyak itu dapat juga untuk membeli dua kapal selam nuklir. Jika biaya proyek mass rapid transit (MRT) tahap pertama yang sudah lama dinantikan warga Jakarta memerlukan biaya sekitar Rp 20 triliun, nilai akuisisi WhatsApp itu dapat membiayai 11 proyek sejenis.
Angka-angka itu luar biasa untuk perusahaan yang baru berdiri empat tahun lalu dengan 56 pegawai dan pendapatan 20 juta dollar AS pada tahun lalu. Dengan pengguna WhatsApp 470 juta orang di dunia, diperkirakan potensi keuntungan operator ponsel sebesar 33 miliar dollar AS lenyap karena pelanggannya lebih banyak menggunakan WhatsApp ketimbang SMS untuk berkirim pesan.
Pengguna aplikasi WhatsApp tak perlu membayar sepeser pun untuk berkirim pesan pada tahun pertama. Setelah itu, mereka dibebani biaya 1 dollar AS (sekitar Rp 12.000) per tahun untuk berkirim pesan sepuasnya ke operator ponsel mana saja.
Masa kecil
Walaupun kini tampil sebagai salah satu orang terkaya di planet ini, masa kecil Koum tak begitu indah. Koum lahir di pinggiran Kiev, Ukrania. Dia anak tunggal dari seorang ibu rumah tangga dan manajer konstruksi yang membangun rumah sakit dan sekolah.
Rumahnya tak memiliki instalasi air panas dan teleponnya sering disadap pemerintah. Bayangan masa kecil ini muncul kembali saat Koum berbicara pada diskusi di World Mobile Congress (WMC), Barcelona, Spanyol, akhir Februari lalu, disaksikan ribuan orang secara langsung baik di hall maupun lewat layar-layar lebar di sekitar area pameran.
”Rumah kami ada telepon. Teman dan tetangga saya sering meminjam telepon ke rumah. Saya ingat itu,” ujar Koum yang tampil santai dengan kaus coklat tua, jas hitam tanpa dikancingkan, dan celana jins.
”Ibu membawa saya pindah ke AS. Waktu itu belum ada internet, belum ada e-mail, sulit sekali berhubungan dengan orang lain,” kata dia.
Koum pindah ke Mountain View, AS, bersama ibunya pada usia 16 tahun. Ayahnya tak pernah menyusul mereka ke tanah harapan itu. Mereka tinggal di apartemen dengan dua kamar berkat bantuan pemerintah. Demi menghemat biaya sekolah, ibu Koum memenuhi koper mereka dengan pulpen dan buku tulis dari Uni Soviet (Rusia).
Ibunya bekerja sebagai penjaga anak, sementara Koum mengepel lantai toko kelontong untuk memenuhi biaya hidup mereka. Ketika sang ibu didiagnosis mengidap kanker, mereka menggantungkan hidup pada tunjangan pemerintah.
Koum tak suka cara bergaul di sekolahnya. Dia menjadi anak badung di sekolah. Pada usia 18 tahun, dia belajar manual jaringan komputer dari buku bekas. Dia juga bergabung dengan jaringan peretas.
Pemuda berbadan tinggi besar itu masuk San Jose State University dan bekerja di Ernst & Young sebagai pengetes keamanan. Pekerjaan dari Ernst & Young membawanya berkenalan dengan Acton yang saat itu bekerja di Yahoo.
Koum bertambah akrab dengan Acton saat keduanya bekerja di Yahoo. Acton seperti keluarga ketika ibu Koum meninggal karena kanker tahun 2000. Sementara ayahnya meninggal lebih dulu, tahun 1997.
Mudah dan murah
Pengalaman masa kecil yang sulit mengandalkan alat komunikasi untuk menghubungkan dirinya dengan keluarga membuat Koum menyimpan keinginan membuat komunikasi menjadi lebih mudah, sederhana, dan murah. Awalnya, Koum hanya membuat status di ponsel, seperti ”Saya sedang menelepon”, ”Baterai habis”, atau ”Saya sedang di gym”.
Aplikasi itu belum dapat mengirimkan pesan tertulis, hanya menampilkan status yang sudah ditentukan. Dia sempat putus asa dan hendak melupakan proyeknya, lalu mencari kerja. Untung, waktu itu Acton melarangnya.
Koum berhasil mengembangkan aplikasi yang memungkinkan status di ponsel dikirim ke semua kontak. Status satu berbalas dengan status lain. Aplikasi ini semakin berkembang dengan memungkinkan pengiriman pesan. Mereka yang pertama menggunakan aplikasi ini adalah teman-temannya asal Rusia yang tinggal di AS.
”Dapat menjangkau seseorang yang jauh secara cepat di peranti elektronik yang selalu bersama Anda merupakan kekuatan besar,” ujar Koum.
Impian membuat semakin banyak orang dapat terhubung juga merupakan impian pendiri Facebook, Mark Zuckerberg. Kesamaan visi ini membuat Koum tidak menampik tawaran Zuckerberg untuk membeli WhatsApp.
”WhatsApp tetap akan independen seperti Instagram, juga tetap tidak ada iklan,” ujar dia di WMC, Barcelona.
”Saya sangat ingin agar lebih banyak lagi orang dapat berkomunikasi, lebih banyak lagi orang bisa terhubung dengan orang lain. WhatsApp masih merupakan perusahaan yang kecil dengan 56 orang, tak akan ada terlalu banyak orang. Kami ingin tetap mengoperasikan WhatsApp seperti perusahaan pemula,” kata dia seolah menjawab pertanyaan setelah akuisisi berlangsung.
Dalam ajang pameran teknologi dan ponsel tersebut, Koum juga mengungkapkan bahwa layanan WhatsApp akan ditambah dengan suara pada kuartal kedua tahun ini.
Zuckerberg pun berjanji tidak akan menekan para pendiri WhatsApp menjadi mesin penghasil uang. Dia ingin agar dengan WhatsApp ada 4 juta-5 juta orang terkoneksi dalam lima tahun. Ada sekitar 70 persen populasi di planet ini yang masih belum memperoleh akses internet. (Forbes)
—————————————————————————
Jan Koum
? Lahir: Kiev, Ukraina, 24 Februari 1976
? Pendidikan: Jurusan Matematika dan Komputer San Jose State University, AS, tidak tamat
Oleh: JOICE TAURIS SANTI
Sumber: Kompas, 10 Maret 2014