Ketika pemerintah terus berupaya menambah jumlah SMK di sejumlah daerah, ternyata pada saat yang sama lebih dari 1 juta lulusan SMK dilaporkan malah menganggur.
Artinya, sebagai lembaga pendidikan yang digadang-gadang menjadi jalan keluar untuk menyiasati kebutuhan pasar kerja dengan lulusan yang siap pakai, justru data yang ada memperlihatkan indikasi SMK jadi lembaga pencetak pengangguran tertinggi dibandingkan jenjang pendidikan lainnya (Kompas, 17/10).
Ketika kualitas tenaga kerja yang ada rendah dan dunia pendidikan umumnya hanya melahirkan para pencari kerja-bukan lulusan yang sesuai kebutuhan pasar kerja, tak pula mampu menciptakan pekerjaan dan usaha mandiri secara kreatif-maka harus dilakukan evaluasi dan koreksi terhadap penyelenggaraan pendidikan dan arah perkembangan kesempatan kerja yang tumbuh di Tanah Air. Di mana sesungguhnya kekeliruan yang terjadi?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kualitas lulusan SMK
Sebagai negara yang diprediksi akan jadi negara ketujuh dengan ekonomi terbesar pada 2030, tak adanya dukungan kualitas tenaga kerja yang memadai tentu akan membuat Indonesia harus menghadapi situasi serba dilematis. Dibandingkan tahun 2015-2016, saat ini Daya Saing Global (GCI) Indonesia turun empat peringkat menjadi peringkat ke-41 (dari 138 negara). Ketika ekonomi dunia mulai membaik, bukan tidak mungkin Indonesia justru akan berisiko terpuruk karena tidak dibangun dengan fondasi yang kuat di bidang ketenagakerjaan. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, di Indonesia selama ini sesungguhnya ada dua isu utama di bidang ketenagakerjaan yang perlu perhatian serius.
Pertama, terjadinya mismatch antara profil pencari kerja dengan kebutuhan dan perkembangan pasar tenaga kerja sektor manufaktur ataupun industri jasa. Meski tiap hari selalu ditawarkan lowongan kerja, umumnya selalu mensyaratkan kualifikasi dan kemampuan plus yang acapkali tak dimiliki pencari kerja berusia muda. Sebutlah seperti kemampuan berbahasa Inggris dan mengoperasikan komputer yang tidak selalu dikuasai pencari kerja baru.
Bagi pencari kerja lulusan SMA/SMK, tentu sulit diharapkan mereka dapat terserap di sektor perekonomian firma yang acap kali menetapkan persyaratan kualifikasi keahlian dan ijazah sarjana untuk tenaga kerja yang hendak masuk ke sektor ini. Di sejumlah daerah yang tengah dihela industrialisasi raksasa, seperti Tuban dengan industri semen, Bojonegoro dengan industri migas, atau Mojokerto dengan pendirian pabrik bir dan sejumlah pabrik besar lain, tentu tidak akan banyak menawarkan kesempatan kerja bagi pencari kerja yang hanya lulusan SMK karena sifatnya yang padat modal.
Studi yang dilakukan Lembaga Penelitian dan Inovasi (LPI) Universitas Airlangga (2016), misalnya, menemukan, anak-anak muda lulusan SMP dan SMA/SMK biasanya hanya mampu memilih di antara sederetan pekerjaan yang tak terlalu menjanjikan. Misalnya menjadi pekerja rumah tangga, petani, buruh pabrik, kuli bangunan, atau pekerjaan lain yang tidak terlalu dapat diandalkan sebagai tempat bersandar dan tidak pula berjenjang karier.
Kedua, munculnya kelompok pengangguran lulusan SMK yang makin hari makin panjang berpotensi jadi bom waktu. Akibat situasi dan lesunya kondisi perekonomian nasional, tak menutup kemungkinan muncul apa yang disebut discourage unemployment (pengangguran putus asa), yakni pengangguran dari lulusan SMK sudah bertahun-tahun mencari kerja tanpa hasil karena faktor demand for labor dan supply for labor yang makin tidak seimbang. Di kalangan lulusan SMK, kategori pengangguran putus asa ini diprediksi akan makin besar. Sebab, mereka adalah pencari kerja yang merasa sudah siap pakai, tetapi ternyata pasar tenaga kerja yang ada tampaknya cenderung tidak ramah.
Di kalangan masyarakat ada indikasi kini terjadi krisis kepercayaan pada arti penting sekolah, termasuk SMK. Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika lulusan SMK-bahkan lulusan perguruan tinggi yang sudah bersusah payah kuliah dan menghabiskan simpanan tabungan orangtuanya untuk biaya pendidikan-ternyata setelah lulus hanya menambah panjang daftar para pencari kerja di Tanah Air. Di sejumlah daerah, bukan rahasia lagi banyak orangtua yang sudah menghabiskan simpanan dan uang banyak untuk menyekolahkan anaknya-dan ternyata setelah anaknya lulus SMK tetap kesulitan mencari kerja-mulai bersikap kritis terhadap arti dan peran SMK.
Kualitas tenaga kerja
Untuk memastikan agar jumlah pengangguran dari lulusan SMK tidak terus bertambah bukanlah hal mudah. Upaya penanganan problema pengangguran semata hanya mengandalkan program yang sifatnya instan atau hanya mengandalkan kepada multiplier effect kegiatan investasi swasta, niscaya tidak akan memecahkan akar masalah.
Tanpa didukung kompetensi kerja yang profesional, siap pakai, dan legalisasi kompetensi kerja yang diakui, peluang lulusan SMK untuk dapat terserap dalam pasar kerja di sektor perekonomian firma niscaya tidak akan banyak berubah. Dengan dukungan dana dan fasilitas yang serba terbatas, selama ini tidak banyak SMK yang benar-benar mampu mencetak lulusan yang berkualitas seperti yang diharapkan pasar kerja. Di sejumlah SMK, peralatan yang ada umumnya sudah usang, bahkan rusak, dan jumlahnya pun tidak sesuai jumlah siswa. Akibatnya, berbagai praktikum yang dilakukan tidak berjalan maksimal.
Lebih dari sekadar program pelatihan untuk meningkatkan kualitas dan kadar keberdayaan pencari kerja lulusan SMK. Ke depan, agar deretan pengangguran lulusan SMK tidak makin meningkat, adalah bagaimana pemerintah merestrukturisasi kebijakan dan pendekatan pembangunan yang lebih berempati pada kondisi dan karakteristik pencari kerja. Menghela pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang hanya fokus kepentingan menambah devisa, tapi abai peningkatan kualitas pencari kerja, niscaya hasilnya akan kontraproduktif bagi kemajuan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Bagong Suyanto, Dosen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga; Melakukan Penelitian tentang Kualitas Lulusan SMK dan Problema Pengangguran Usia Muda
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul “Ironi Lulusan SMK”.