Energi terbarukan menjadi tumpuan energi masa depan seiring dengan menipisnya bahan bakar fosil dan dampak buruknya terhadap pemanasan global. Indonesia memiliki potensi sumber energi terbarukan yang sangat besar, tetapi selama ini minim implementasi.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, potensi sumber energi terbarukan di Indonesia mencapai 441,7 gigawatt (GW), tetapi yang terpasang baru 9,06 GW atau sekitar 2 persen. Padahal, melalui Kebijakan Energi Nasional, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen memaksimalkan penggunaan energi terbarukan hingga 23 persen pada 2025.
”Dulu ada program Indonesia Terang diinisiasi pemerintah, tetapi tak berlanjut. Kini Hivos menginisiasi proyek Terang dengan beberapa inovasi baru. Ini bisa menjadi pelajaran untuk mengembangkan energi terbarukan di daerah pedalaman yang mengalami banyak soal,” kata Direktur Energi, Telekomunikasi, dan Informatika Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Rachmat Mardiana dalam diskusi di Jakarta, Rabu (24/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2017, ditemukan ada 112 pembangkit terhadap sejumlah proyek pembangkit listrik energi terbarukan dalam kondisi rusak ringan hingga berat. Semua pembangkit itu merupakan proyek tahun anggaran 2011 sampai 2017 dengan nilai sekitar Rp 467 miliar.
–Pengembangan energi terbarukan dari pemerintah selama ini kerap tidak berkelanjutan. Proyek yang melibatkan masyarakat dan swasta bisa memberi harapan baru.
Menurut Rachmat, tingkat elektrifikasi nasional hingga 2017 mencapai 94,91 persen. Namun, ada dua daerah yang tingkat elektrifikasinya amat rendah, yaitu Papua dan Nusa Tenggara Timur, yang masing- masing 60 persen. ”Setidaknya 2.500 desa belum teraliri listrik, sebagian besar di Papua dan NTT,” ujarnya.
Jika hanya mengandalkan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), menurut Rachmat, upaya pemenuhan listrik di daerah-daerah pedalaman sulit diwujudkan. Hal ini karena biaya investasinya sangat mahal.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan, pemerintah dinilai tak serius mengembangkan energi terbarukan. Padahal, penyediaan listrik ramah lingkungan merupakan hak bagi konsumen. ”Inisiasi energi terbarukan harus didukung karena ini bisa menjadi jawaban masalah di masa depan,” ujarnya.
Pasar energi
Berdasarkan data Hivos, lembaga internasional yang berpartisipasi dalam proyek pengembangan energi terbarukan, sejak dijalankan pada 2015, proyek Terang telah memasang generator tenaga surya dengan kapasitas 60,68 kW di NTT, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Listrik dari sumber energi terbarukan mengalir ke 5.079 rumah tangga dan 25 sekolah. Selain tenaga surya, sumber energi yang dikembangkan adalah biogas.
Robert de Groot, Senior Consultant for Green Energy Project Hivos, mengatakan, selain mengaliri listrik ke masyarakat pedalaman, proyek tersebut membentuk pasar energi terbarukan dan energi terapan. Berbeda dengan program yang biasa dijalankan lembaga swadaya masyarakat dengan pendekatan hibah, proyek Terang memakai pendekatan pasar dan menuntut kontribusi nyata warga untuk membeli peralatan listrik.
Salah satu wujudnya adalah pembentukan unit usaha Renewable Energy Service Center Organization (RESCO) yang melibatkan masyarakat lokal sejak awal. Melalui unit ini dikembangkan mekanisme ”kios energi”, layanan pengisian lampu tenaga surya yang dibeli dengan uang muka Rp 50.000.
Setiap kali mengisi listrik, warga dikenai biaya Rp 1.300. Sebagian biaya ini dipakai untuk mengangsur lampu dan biaya perawatan. ”Tujuannya agar masyarakat penerima manfaat memiliki rasa memiliki,” katanya. (AIK)
Sumber: Kompas, 25 Januari 2018