Sumber daya manusia Indonesia bidang teknologi informasi, baik secara kualitas dan kuantitas, belum dapat memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Akibatnya, peluang kerja yang diciptakan perkembangan industri teknologi di Indonesia yang pesat pada beberapa tahun terakhir tidak dapat dimanfaatkan.
Perusahaan teknologi informasi Indonesia harus mencari programer ke luar negeri. Kondisi semacam ini yang menyebabkan perusahaan rintisan seperti Eureka harus mencari SDM yang berkompeten di luar negeri.
Chief Product Officer Eureka Alex Raskita Ginting, Kamis (13/9/2018) di Tangerang Selatan, Banten, mengatakan, guna mendapatkan talenta yang berkompeten, pihaknya harus mencari hingga Singapura dan India.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Eureka adalah sebuah perusahaan rintisan yang menawarkan penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence) kepada perusahaan telekomunikasi untuk menganalisis data yang mereka miliki. Selain berkantor di Jakarta, Eureka juga beroperasi di Singapura, dan Seattle, Amerika Serikat.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI–Seratus lebih produk kreasi perusahaan rintisan (start-up) yang berupa piranti lunak maupun piranti keras dipamerkan di dalam konferensi StartHub Connect 2018 di ICE, Serpong, Tangerang Selatan, Banten pada Kamis (13/9/2018). Kurangnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia Indonesia menjadi salah satu persoalan yang ditemui oleh perusahaan teknologi rintisan.
“Developer dan software engineer kami ambil dari India, sedangkan untuk chief atau kepala data scientist kami rekrut orang Singapura,” kata Alex ketika ditemui di sela-sela acara konferensi StartHub Connect di Indonesia Convention Exhibition BSD Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI–Alex Raskita Ginting
Meski demikian, Alex mengatakan, talenta lokal Indonesia pun tetap ia rekrut, walaupun tidak untuk mengisi posisi-posisi strategis. Dengan hadirnya top talent tersebut, diharapkan terjadi transfer ilmu kepada tenaga-tenaga lokal. “Kalau mengambil top talent lokal, belum tentu orang tersebut mau bergabung ke perusahaan startup,” kata Alex.
“Susah sekali cari orang Indonesia dengan kompetensi setingkat VP (wakil direktur), yang notabene butuh pengalaman 10-15 tahun. Umur industri teknologi kita saja tidak sampai segitu,” tambahnya.
Deputi Bidang Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Hari Santosa Sungkari pun menyatakan hal yang senada. Menurut Hari, persedian SDM lokal yang rendah menjadi salah satu permasalahan utama industri perusahaan teknologi Indonesia, khususnya di kalangan perusahaan rintisan.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI–Deputi Bidang Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Hari Santosa Sungkari
Laporan perusahaan konsultan McKinsey and Company menyebutkan, secara rata-rata, kemampuan Indonesia untuk menghasilkan lulusan pada bidang sains, teknologi, engineering atau rekayasa, dan matematika (STEM) dinilai rendah untuk bisa bersaing ketat dengan negara-negara penghasil teknologi. Indonesia hanya menghasilkan rata-rata sebanyak 0,8 lulusan bidang STEM setiap 1.000 orang.
Angka ini jauh tertinggal dibandingkan China dengan 3,4 lulusan atau Rusia dengan 3,9 lulusan per 1.000 orang. Kemampuan India menghasilkan lulusan bidang-bidang tersebut pun dua kali lebih produktif dibandingkan Indonesia, yakni dengan 2 orang setiap 1.000 orang.
Kondisi ini yang menjadi perhatian Audience Evangelism Manager Microsoft Indonesia Irving Hutagalung. Irving mengatakan, kurikulum perguruan tinggi Indonesia kurang fleksibel dalam merespons perkembangan teknologi yang pesat.
Untuk itu, beberapa perusahaan seperti Microsoft melakukan kerja sama dengan beberapa universitas di Indonesia untuk menggunakan software mutakhir di laboratorium-laboratorium kampus tersebut. Irving mengatakan, hal ini dilakukan agar para mahasiswa dapat mencoba menggunakan peralatan mutakhir yang diterapkan oleh industri.
“Jadi ketika mereka lulus, mereka sudah siap untuk kerja, sudah pernah pakai teknologi baru,” kata Irving.–SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Sumber: Kompas, 13 September 2018