Ide Adanya Banyak Alam Semesta Makin Kukuh

- Editor

Jumat, 4 Mei 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sepuluh hari sebelum kematiannya pada 14 Maret 2018, Stephen Hawking mengirimkan hasil risetnya terakhirnya tentang multisemesta (multiverse) ke Journal of High-Energy Physic (JHEP).

Hasil studi itu menunjukkan alam semesta kita, kemungkinan hanya salah satu dari alam semesta yang lain. Itu berarti, ada alam semesta lain, baik yang kondisinya mirip atau berbeda dengan alam semesta kita.

Teori multisemesta atau banyak alam semesta itu membantu memecahkan paradoks kosmik yang dibuat oleh para fisikawan beberapa dekade terakhir. Ide ini sekaligus membuka dan menunjukkan jalan bagi para ilmuwan untuk membuktikan keberadaan alam semesta pararel tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pada 1980-an, Hawking dan fisikawan Amerika Serikat James Hartle mengembangkan ide baru tentang awal alam semesta. Teori yang disebut keadaan Hartle-Hawking (Hartle-Hawking state) itu memecahkan kesulitan dalam teori Albert Einstein yang menjelaskan bahwa alam semesta terbentuk sekitar 14 miliar tahun lalu, namun tidak menjelaskan apapun bagaimana semesta itu terbentuk.

STANFORD.EDU–Konsep Multisemesta

Ide Hartle-Hawking itu menggunakan teori yang berbeda dari teori Einstein untuk menjelaskan bagaimana alam semesta muncul dari ketiadaan, yaitu dengan teori mekanika kuantum. Idenya berasal dari pemikiran tentang ada saling keterkaitan, saat sesuatu berakhir maka akan membentuk sesuatu yang lain hingga dalam jumlah yang tak terbatas.

Hipotesis ini melahirkan implikasi lain bahwa Dentuman Besar (Big Bang) tidak hanya menciptakan satu alam semesta, tapi terus menghasilkan alam semesta baru tanpa akhir.

Beberapa alam semesta itu akan mirip dengan alam semesta yang kita tahu saat ini, yaitu memiliki planet mirip Bumi, punya kehidupan, bahkan individu yang mirip dengan yang ada di Bumi. Sebagian semesta lain memiliki sedikit kemiripan seperti memiliki planet mirip Bumi tetapi masih ada dinosaurus.

Namun, sebagian semesta lain benar-benar berbeda dengan semesta kita, bahkan tanpa galaksi, bintang atau planet serta dengan hukum fisika yang berbeda.

Ide itu sepertinya tidak masuk akal. Namun persamaan dalam teori ini membuat skenario multisemesta itu secara teoretis memungkinkan.

Meski demikian, muncul pertanyaan baru, jika ada jenis-jenis alam semesta yang tak terbatas dengan variasi yang tak terbatas pula dalam hukum fisika, maka teori itu tidak bisa memprediksi bagaimana keadaan alam semesta dengan kita ada di dalamnya.

Hawking kemudian bergabung dengan penelitian fisikawan Universitas Katolik Leuven Belgia Thomas Hertog untuk menyelesaikan paradoks tersebut. Studi itu menyarankan multisemesta muncul secara acak.

“Baik Stephen (Hawking) dan saya tidak senang dengan skenario itu. Namun kami tidak bisa mengatakan lebih dari itu,” kata Hertog seperti dikutip BBC, Rabu (2/4/2018). Riset yang dilakukan Hartle dan Hawking itu didanai oleh Dewan Riset Eropa.

Teknik matematika baru
Jurnal terakhir yang dibuat Hawking bersama Hertog itu terbit di Journal of High Energy Physics (JHEP) edisi April 2018 yang terbit pada 27 April 2018. Jurnal itu merupakan hasil kerja dua ilmuwan itu selama 20 tahun.

Studi itu memecahkan teka-teki tentang multisemesta dengan menggunakan teknik matematika baru untuk mempelajari cabang fisika esoterik yang dinamai teori string. Selain itu, salah satu implikasi dari studi ini adalah membantu para peneliti mendeteksi keberadaan semesta lain menggunakan radiasi gelombang mikro yang tersisa setelah terjadi Dentuman Besar.

Dugaan itu menunjukkan alam semesta kita bersifat unik sehingga pengamatan yang dilakukan dari sudut pandang kita akan memberi makna dalam pengembangan ide tentang bagaimana alam semesta lain muncul.

Menurut Hertog, studi yang dilakukan benar-benar menyajikan teori yang mendasar untuk memahami dari mana teori yang digunakan itu berasal dan bagaimana teori itu muncul. Riset ini akan sangat membantu para fisikawan mengembangkan teori yang lebih lengkap tentang bagaimana semesta terbentuk.

Studi ini juga menunjukkan hanya ada alam semesta yang memiliki hukum fisika seperti yang kita gunakan. “Hukum fisika yang kita gunakan di laboratorium tidak selamanya eksis. Hukum-hukum itu menguat setelah Dentuman Besar, saat semesta mengembang dan mendingin. Jenis hukum fisika yang muncul sangat bergantung dengan kondisi fisik Dentuman Besar,” katanya.(BBC)–M ZAID WAHYUDI

Sumber: Kompas, 4 Mei 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 11 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB