Menerka Isi Alam Semesta

- Editor

Kamis, 16 Desember 2010

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Galaksi, bintang, planet, hingga gas-gas yang mengisi seluruh penjuru alam semesta ternyata menyumbang hanya 5 persen dari seluruh materi yang mengisi alam semesta. Sisanya berupa materi gelap sebanyak 23 persen dan energi gelap 72 persen.

Meski sama-sama menggunakan kata ”gelap”, istilah materi gelap atau dark matter dan energi gelap atau dark energy adalah dua hal yang berbeda dan tidak saling berkorelasi.

Ahli kosmologi dari Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB), Premana W Premadi, Rabu (15/12), mengatakan, pembagian isi alam semesta menjadi materi tampak, materi gelap, dan energi gelap didasarkan atas cara pandang fisikawan Albert Einstein yang mengekuivalenkan massa dan energi.

Dalam kosmologi, yang menjadi dasar penghitungan adalah energi. Hal ini karena pada kenyataannya banyak obyek yang tak memiliki massa, tetapi memiliki energi, seperti foton. Jika mengacu pada massa, dalam pengamatan alam semesta selalu akan terbentur dengan ”kurangnya” massa berdasarkan obyek-obyek langit yang terlihat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

”Isi alam semesta tidak hanya massa, tetapi juga energi. Selain itu, tidak semua energi mewujud dalam massa,” ungkapnya.

Energi gelap

Keberadaan energi gelap muncul saat para astronom mempelajari pengembangan alam semesta saat ini dengan laju yang dipercepat. Sifat energi ini berkebalikan dengan energi gravitasi. Energi gelap bersifat mendorong atau saling menolak, sedangkan energi gravitasi bersifat saling menarik.

Energi gelap bukan materi dan tidak bisa dideteksi. Energi ini ada sejak awal pembentukan alam semesta. Namun, saat itu perannya tidak dominan karena yang mendominasi saat itu adalah materi.

Jika pada awal pembentukan semesta itu energi gelap mendominasi, alam semesta tidak akan terbentuk seperti saat ini. Untuk membentuk struktur semesta yang dipenuhi dengan kluster galaksi seperti sekarang, dibutuhkan energi gravitasi yang saling menarik.

Karena itu, pada 13,7 miliar tahun lalu, saat alam semesta baru berumur 380.000 tahun, justru materi gelap yang mendominasi, 63 persen. Sisanya terdiri atas 15 persen foton, 12 persen atom yang membentuk berbagai benda langit, dan 10 persennya adalah neutrino, yaitu sejenis partikel dasar dengan massa sangat kecil.

Saat alam semesta mengembang, kerapatan energi gelap tidak berkurang. Kondisi ini berkebalikan dengan materi yang kerapatannya akan menurun seiring membesarnya volume ruang. Dengan demikian, kerapatan energi gelap selalu konstan, tidak bergantung pada bagaimana kondisi ruangnya.

Dengan berbagai batasan struktur alam semesta itulah jumlah dari energi gelap diperkirakan.

”Istilah energi gelap digunakan karena kita tidak tahu bentuknya apa karena dia bukan berbentuk materi atau radiasi. Namun, kehadirannya diperlukan untuk menjelaskan kondisi semesta saat ini,” ujarnya.

Materi gelap

Kehadiran materi gelap muncul dari kondisi kekurangan massa saat para astronom mengukur kecepatan benda-benda langit.

Ahli struktur galaksi Program Studi Astronomi ITB, Hesti R Wulan, dalam simposium ”Dark Matter Awareness Week” di Observatorium Bosscha, Lembang, Bandung, Sabtu (4/12), mengatakan, indikasi keberadaan materi gelap umumnya dilihat berdasarkan gerak obyek langit yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan semestinya.

Kondisi ini ditemui dalam pengukuran kecepatan sejumlah gugus galaksi. Hasilnya, kecepatan gerak galaksi-galaksi itu ratusan kali lebih cepat dibandingkan kecepatan seharusnya yang sesuai dengan massa yang dimilikinya.

Kecepatan tinggi ini terjadi akibat adanya tambahan massa dari materi gelap yang melingkupi gugus galaksi tersebut.

Ahli struktur galaksi ITB lainnya, M Ikbal Arifyanto, mengatakan, keberadaan materi gelap juga ditemukan di Galaksi Bimasakti. Adanya materi gelap membuat kecepatan gerak bintang di tepi galaksi mengelilingi galaksi hampir sama dengan kecepatan bintang yang berada di dekat inti galaksi.

Hingga kini wujud pasti materi gelap masih diperdebatkan. Sebagian astronom menilai materi gelap ini berupa benda langit yang masif, bermassa besar, padat, dan tak bercahaya atau cahayanya sangat redup. Obyek ini disebut sebagai massive astrophysical compact halo objects (MACHO) dengan partikel dasar penyusunnya adalah baryon, yaitu proton dan neutron.

Wujud benda langit ini antara lain berupa bintang katai putih, bintang katai coklat, bintang neutron, planet raksasa seukuran Yupiter, atau lubang hitam (black hole) berukuran kecil.

Perkiraan lain materi gelap berupa partikel masif dengan interaksi lemah atau weakly interacting massive particles (WIMP). Partikel nonbaryon, seperti neutrino, elektron bebas, dan partikel supersimetrik, menjadi penyusun materi ini.

Namun, keberadaan partikel-partikel nonbaryon ini masih sulit ditemukan melalui observasi astronomi. Namun, para ahli fisika partikel telah menemukan partikel ini melalui proses uji laboratorium.

Selain dua perkiraan bentuk materi gelap tersebut, sebagian astronom justru menilai materi gelap justru tidak ada. Terjadinya kekurangan massa dalam penghitungan kecepatan obyek langit disebabkan oleh tidak sempurnanya Hukum Gerak Newton sehingga perlu dimodifikasi.

Bagaimanapun, keberadaan materi gelap masih ”gelap”. Hal ini menjadi tantangan besar bagi para astronom dan fisikawan untuk membuktikan ke-”berada”-annya atau ke-”tidakberada”-annya.[Oleh M Zaid Wahyudi]

Sumber: Kompas, Kamis, 16 Desember 2010 | 03:26 WIB

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Mengalirkan Terang dari Gunung: Kisah Turbin Air dan Mikrohidro yang Menyalakan Indonesia
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Senin, 14 Juli 2025 - 16:21 WIB

Mengalirkan Terang dari Gunung: Kisah Turbin Air dan Mikrohidro yang Menyalakan Indonesia

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Anak-anak Sinar

Selasa, 15 Jul 2025 - 08:30 WIB

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB