Hutan Papua menjadi kunci keberhasilan Indonesia mencapai penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29-41 persen pada 2030. Namun, masih berlangsungnya deforestasi dan degradasi hutan di “Bumi Cendrawasih” itu membuat banyak pihak meragukan target tersebut bisa tercapai.
Pengampanye Greenpeace Indonesia di Papua, Charles Tawaru, saat dihubungi dari Jakarta, pekan lalu, mengatakan, Papua dan Papua Barat kini dijejali 48 perkebunan sawit. Luasnya 25.000-45.000 hektar per perusahaan.
Belum lagi, kata dia, ancaman terhadap Sorong dan Fakfak yang disiapkan menjadi kawasan ekonomi khusus. Pembangunan berbagai infrastruktur perindustrian dan sarana umum itu dipastikan akan menggunakan hutan-hutan di Papua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pembangunan lain, seperti Merauke Integrated Food and Energy Estate, membuktikan pengalaman pembukaan lebih dari 2 juta hektar hutan di selatan Papua.
Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Franky Yafet Samperante juga menunjukkan pembukaan lahan di Boven Digoel seluas 2.400 hektar untuk perkebunan sawit. Selain meningkatkan deforestasi, pembukaan lahan ini menimbulkan konflik sosial dengan warga.
Secara terpisah, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Papua, Zulfikar Mardiyadi, dalam sarasehan Mitigasi dan Adaptasi Bencana di sela-sela Kongres Masyarakat Adat Nusantara V di Tanjung Gusta, Deli Serdang, Kamis (16/3), mengatakan, 38 persen tutupan hutan Indonesia saat ini ada di Papua. Dari jumlah tersebut, separuhnya merupakan hutan primer.
“Tanpa melakukan apa pun terhadap hutan Papua saat ini, hal itu sudah menyumbang penurunan emisi Indonesia sebesar 7 persen dari target 29 persen,” katanya. Target penurunan emisi itu dinyatakan Indonesia dalam Kesepakatan Paris terkait Perubahan Iklim.
Namun, pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam (IUPHHK-HA), pembukaan lahan kebun sawit, dan pertambangan yang memicu deforestasi, degradasi lahan, dan emisi gas rumah kaca terus berlangsung di Papua saat ini.
Terencana
Selama periode 1990-2000, pemberian IUPHHK-HA dominan. Namun, setelah tahun 2000, izin pembukaan lahan perkebunan sawit banyak diberikan.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN–Pembukaan lahan hutan untuk perkebunan terlihat dari jendela pesawat di dekat Kota Merauke, Papua, beberapa waktu lalu.
Menurut Zulfikar, 95 persen pemberian berbagai izin itu dilakukan secara terencana. Umumnya, izin diberikan 1-2 tahun menjelang pemilu kepala daerah. Baik pemerintah pusat maupun daerah, katanya, sama-sama punya andil atas rusaknya hutan di tanah Papua.
Di sisi lain, Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki potensi emisi gas rumah kaca masing-masing 17,4 gigaton dan 6 gigaton karbon dioksida. Jika 10 persen saja dari potensi emisi itu lepas ke atmosfer, akan menambah jumlah emisi Indonesia sebesar 2,34 gigaton karbon dioksida.
Meski sangat berisiko, hampir tak ada program mitigasi perubahan iklim yang dilakukan di tanah Papua.
“Kita sedang berdagang dan bersikap mendua. Di satu sisi berkomitmen menurunkan emisi, di sisi lain justru merusak, yang akan meningkatkan emisi,” lanjutnya.
Karena itu, Zulfikar mengingatkan, jika Indonesia tak melakukan upaya nyata untuk menjaga dan memelihara hutan Papua, kesalahan Indonesia dalam pengelolaan hutan di Sumatera dan Kalimantan yang sudah hancur akan terulang kembali.
Praktik masyarakat
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati mengatakan, masyarakat adat punya andil besar dalam menjaga lingkungan tetap lestari. Hutan, mangrove, gambut, atau terumbu karang yang terjaga akan mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan sehingga Indonesia mampu berperan aktif dalam mengatasi dampak perubahan iklim global.
Praktik-praktik sederhana yang dilakukan masyarakat adat sudah terbukti mampu menjaga lingkungannya lestari. Seperti masyarakat adat Knasaimos di Manggroholo, Sorong Selatan, Papua Barat, mereka secara bulat melindungi hutan sagu dan damar dari ekspansi perusahaan perkebunan sawit.
“Sekarang ini kalau kami lapar, bisa ambil sagu hutan. Butuh uang bisa jual getah damar. Mau bangun rumah, bisa ambil kayu merbau. Kalau semua jadi sawit, bagaimana kami hidup?” kata Markus Kladit (48), Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Manggroholo, pekan lalu.
Pemberian akses hutan desa seperti yang diberikan pemerintah kepada Manggroholo dan desa tetangganya, Sira, bisa menjadi pilihan pemerintah dalam mempertahankan hutan. Selain itu, pengakuan tenurial-komunal hutan-hutan adat juga merupakan solusi bagi Pemprov Papua dan Papua Barat yang memiliki kewenangan otonomi khusus.
Dengan memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya hutan, pemerintah tinggal membuka akses pasar agar hutan tetap menghasilkan “buah”-nya dan membawa kesejahteraan mereka. Papua bisa membuktikan bahwa hutan bisa menghidupi masyarakatnya sekaligus berkontribusi menyelamatkan dunia dari perubahan iklim.–ICHWAN SUSANTO & M ZAID WAHYUDI
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 April 2017, di halaman 6 dengan judul “Hutan Papua Penentu Emisi Indonesia”.