Suatu waktu, Henry Jufri “terdampar” di dunia maya. Dunia asing itu segera menjadi ladang bermain yang menakjubkan baginya. Empat tahun mendalaminya, mantan pedagang buku keliling, TKI, juga kuli panggul itu menjelma menjadi pengembang gim dan aplikasi. Ratusan karya sudah dibuatnya.
Lima orang duduk masing-masing menghadap laptop di ruangan sederhana berukuran 3 meter x 3 meter. Dua orang di kanan, dua di kiri, dan Henry Jufri (35) berada di tengah. Sesekali, ayah tiga anak ini berdiri ke sisi kiri, membantu rekan kerjanya yang kesulitan mengerjakan gim terbaru. Lantas ia ke sisi kanan untuk memantau rekan lainnya yang sedang membuat grafis aplikasi terbaru.
Ruangan yang terasa sesak itu menjadi rumah produksi pengembangan gim dan aplikasi yang didirikan Henry. Ruangan itu adalah bagian depan dari ruang tamu rumah mertuanya yang disulap menjadi ruang kerja. Letaknya di Jalan Sabutung Baru, Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan, berjarak sekitar 700 meter dari Pelabuhan Paotere.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Semuanya (bekerja di bidang ini) mulai dari nol. Ada malah yang tidak pernah pegang komputer sama sekali. Sekarang sudah ada yang lebih jago dari saya
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS–Henry Jufri, kuli panggul dan mantan TKI ilegal yang menjadi pengembang gim dan aplikasi.
Total anak muda yang terlibat di rumah produksi itu berjumlah sembilan orang. Sebagian masih terhitung keluarga dekat Henry. Henry, menjadi “ketua tim”, pendiri, pembimbing, sekaligus menjadi yang tertua di antara mereka. Empat orang lainnya rerata berusia 20-an. Tidak ada pakaian resmi saat mereka bekerja. Dua orang di antaranya yang berjenis kelamin perempuan, bahkan bekerja dengan memakai daster.
“Semuanya (bekerja di bidang ini) mulai dari nol. Ada malah yang tidak pernah pegang komputer sama sekali. Sekarang sudah ada yang lebih jago dari saya,” jelas pemuda yang bersekolah hanya sampai Kelas 4 SD ini, Jumat (13/4/2018).
Ratusan gim
Beberapa tahun terakhir, di ruang tamu itulah Henry memulai kegiatannya sebagai pengembang gim dan aplikasi. Berbagai sertifikat dan penghargaan atas namanya terpasang di dinding. Beberapa gim yang pernah dibuat oleh Henry adalah Tebak Gambar, King Arthur, Unyil The Adventure, dan ratusan gim lainnya. Dia juga membuat aplikasi untuk membantu anak-anak belajar membaca, belajar mengenal hewan, dan beragam aplikasi lainnya.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS–Henry Jufri (35), di kediamannya yang disulap menjadi kantor pengembang gim dan aplikasi di Jalan Sabutung Baru, Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (13/4/2018).
“Kalau jumlah pastinya saya tidak hapal. Mungkin di atas 400-an, yang aktif 200-an. Habis bikin satu, saya langsung bikin lagi yang baru. Dari situ saya dikenal media, tampil di berbagai acara,” tutur Henry.
Ia kini menjelma sebagai salah satu produsen gim dan aplikasi yang produktif. Sebuah pencapaian yang membuat banyak orang tercengang. Apalagi jika orang tahu latar belakang pendidikannya hanya sampai Kelas 4 SD.
Henry termasuk orang yang lumayan pandai bercerita dengan logika yang runut. Hal ini mungkin karena ia terbiasa membuat aplikasi dengan urutan yang rigid. Dia juga telah berulang kali tampil di berbagai media. Wawancara bukan sesuatu yang asing buatnya. Ia juga tidak canggung memberi ceramah di forum resmi, menjadi pembicara di kampus-kampus.
Memikul beban
Perjuangan Henry hingga mencapai titik ini dimulai dari Kelas 4 SD, saat Henry kecil harus berhenti sekolah karena faktor biaya dan keluarga. Anak kedua dari empat bersaudara ini memikul beban karena menjadi anak lelaki tertua. Dia akhirnya memilih mencari uang dengan membantu pamannya berjualan buku ke instansi-instansi pemerintah.
Ia keluar masuk dari satu kantor ke kantor lain, dari satu daerah ke daerah lainnya. Hal itu ia jalani selama lima tahun, dari 1994 hingga 1999. “Waktu itu saya pikir bagaimana biar dapat uang. Akhirnya jualan buku tuntunan shalat, buku pelajaran umum, dan lain-lain. Sambil jualan saya juga baca buku, biar tidak terlalu ketinggalan,” jelas Henry.
Merasa hidupnya tidak banyak berubah, Henry mengambil tawaran menjadi seorang tenaga kerja di Malaysia. Ia masuk secara ilegal dan bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit di Sabah selama tiga tahun.
Pada 2002, ia memutuskan pulang ke Makassar. Di kampung halaman, ia tidak punya sesuatu yang bisa ia andalkan untuk mencari uang selain tenaga. Ia pun terjun menjadi kuli panggul di Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Dia banting tulang setiap hari dari pagi hingga sore bahkan malam hari. Padahal, pemasukan yang ia dapat tidak pernah pasti. Bisa Rp 20.000 sehari, bisa Rp 100.000 jika pelabuhan sedang ramai.
Satu kalimat yang saya ketik adalah ‘cara menghasilkan uang dari internet’. Ternyata ada cara menjadi blogger yang akhirnya saya ikuti
Hingga pada 2012, ketika warung internet sedang ramai-ramainya, Henry penasaran melihat tua-muda, bahkan anak-anak berkumpul di warnet dekat rumahnya. Dia akhirnya masuk dan tercengang melihat kecanggihan internet, terutama mesin pencarian Google. Sejak saat itu, ia menjadi pengunjung tetap warnet. Setiap pulang kerja dari pelabuhan, dia menyempatkan singgah ke warnet itu. Ia belajar memakai komputer dan memaksimalkan fungsi mesin pencari.
“Di situ saya penasaran karena apa saja ada jawabannya. Satu kalimat yang saya ketik adalah ‘cara menghasilkan uang dari internet’. Ternyata ada cara menjadi blogger yang akhirnya saya ikuti,” beber Henry.
Dia mulai menyisihkan penghasilan untuk main di warnet, membeli buku elektronik sembari belajar membuat blog. Dia juga mendaftar sekolah daring hingga tahu cara mengoptimalkan mesin pencari atau SEO. Ia juga belajar marketing di dunia digital.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS–Henry Jufri (35), di kediamannya yang disulap menjadi kantor pengembang gim dan aplikasi di Jalan Sabutung Baru, Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (13/4). Henry yang hanya sekolah hingga Kelas 4 SD belajar membuat gim lewat tutorial di internet.
Pada Mei 2014, dia mendapatkan penghasilan pertama dari Google sebesar US 100 dollar dari blognya. “Itu senang sekali. Saya bisa membuktikan ke orang sekitar kalau apa yang saya lakukan ada hasilnya,” tambah Henry yang sering dianggap terlalu mengawang-awang oleh orang-orang terdekatnya.
Di tahun yang sama, ia mulai belajar tentang dunia gim lewat komunitas atau tutorial di internet. Setelah itu, ia mulai membuat gim dengan modal laptop sederhana. Gim pertama yang dia buat adalah tebak gambar artis di Android.
Karena belum mengerti terkait hak cipta, gim yang dia buat dihapus. “Itu titik terendah saya. Orang-orang yang merendahkan saya tambah menjadi-jadi. Namun saya berpikir, kalau saya semakin terpuruk, maka saya tidak bisa menunjukkan keberhasilan kepada mereka. Saya harus bangkit,” tuturnya.
Saya memang memiliki impian yang berat. Tapi, semuanya mungkin kalau dikerjakan, tidak hanya di angan-angan
Dari satu gim yang gagal, dia lantas membuat ratusan gim dan aplikasi lainnya. Dari situ ia mendapat uang, dari Rp 2 juta, Rp 16 juta, hingga pernah mencapai ratusan juta dalam sebulan. Henry memang fokus, dan terus belajar. Saat ini dia mulai belajar bahasa pemerograman dan beberapa hal lain terkait dunia digital.
Ilmu yang telah ia kuasai, ia bagikan kepada anak-anak muda di sekitarnya. Ia mengaku punya impian besar, yakni membuat sebuah Kampung Digital, di mana orang-orang di kampung halamannya melek dunia digital, sekaligus bisa memetik keuntungan dari situ.
“Saya memang memiliki impian yang berat. Tapi, semuanya mungkin kalau dikerjakan, tidak hanya di angan-angan,” kata Henry riang. “Ayo minum ki’,” katanya dengan logat Makassar.
Henry Jufri
Lahir: Makassar, 20 September 1982
Istri: Arni Tata,
Anak: Ryan HR Afrizha, Aidhil HR Nurdaffa, Mirza HR Pranaja
Pendidikan: SD Pagandongan, Makassar, Sulawesi Selatan (sampai Kelas 4)
Aktivitas: Pengembang gim dan aplikasi Android
SAIFUL RIJAL YUNUS
Sumber: Kompas, 26 April 2018