Pagi tak begitu cerah. Yeoju City di timur Seoul sedang dilanda kabut tebal. Ketika kendaraan berbelok meniti jalanan kecil, di sawah-sawah tampak gulungan jerami yang kedinginan. Desa Seowon-li, sebagaimana desa-desa di Korea, memiliki kontur berbukit-bukit dengan tekstur tanah yang lembut.
Hari itu, akhir Oktober 2015, seorang petani bernama Kang Pyunghwan (63) akan memanen ginseng. Kesempatan langka dan tidak boleh dilewatkan. Bersama Jin-taek Ahn, Manager Public Relation Korea Ginseng Corporation (KGC), dan seorang penerjemah, Lee Juyong, kami akan mengikuti proses pemanenan ginseng yang berlangsung cuma enam tahun sekali! Selalu dilakukan pada saat musim gugur.
Ketika kendaraan menanjak ke sebuah bukit kecil, kepulan asap membubung tinggi. Para petani sedang menyalakan api unggun untuk penghangat tubuh. Suhu pada musim gugur di Desa Seowon-li sudah mencapai 5 derajat celsius. Cukup dingin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ladang ginseng milik Kang terhampar di lahan seluas 2.000 meter persegi dengan gumukan-gumukan tanah yang dibentuk menyerupai sebuah pematang sawah. Mesin, mungkin ini sejenis traktor, siap menjadi penggembur tanah untuk mengangkat akar ginseng dari kedalaman tanah. Di belakangnya puluhan petani, terutama perempuan, siap memungut akar-akar untuk dibersihkan dan disimpan dalam sebuah keranjang. Sebuah proses yang tampak sederhana dan untuk memanen ginseng seluas 2.000 meter persegi cukup butuh setengah hari.
Kang menanam ginseng pada enam lokasi di pedesaan Korea dengan total luas lahan yang ia sewa dari para penduduk desa kira-kira 12.000 meter persegi. Hal yang menggiurkan tentu saja hasilnya. Pada lahan 2.000 meter persegi, Kang bisa memanen 10-11 ton akar ginseng. Apalagi di musim basah seperti ini, akar ginseng bisa menjadi lebih berat. ”Mungkin nilainya bisa sampai Rp 5 miliar,” kata Kang lewat Lee Juyong. Hasil panen yang fantastis! Apalagi hasil itu sudah termasuk dipotong ongkos sewa lahan dan upah buruh tani
Masalahnya, ginseng bukan tanaman yang mudah ditaklukkan. Jin-taek Ahn menjelaskan, KGC dengan merek Cheong Kwan Jang, selalu melakukan kerja sama dengan para petani. Perusahaan ini setidaknya melakukan kontrak dengan 4.000 petani dan menguasai 65 persen panen ginseng di seluruh daratan Korea. Sebelum menanam ginseng, kata Ahn, para petani harus mempersiapkan lahan selama dua tahun. Seluruh kebutuhan pupuk yang direkomendasikan diawasi secara ketat. Masa tanam selalu dilakukan pada musim semi untuk kemudian dipanen pada musim gugur, enam tahun kemudian. Karena Korea mengenal empat musim, ginseng selalu harus melewati 24 kali musim untuk siap dipanen.
Pada saat mengantarkan ginseng melewati 24 musim itulah, kata Ahn, sangat dibutuhkan kesabaran, kesetiaan, dan keuletan petani. Pihak perusahaan akan selalu mengirim tenaga ahli untuk mengecek pertumbuhan ginseng.
Apalagi, setelah panen, tanah harus dibiarkan kosong selama 10 tahun. ”Karena ginseng tanaman yang menyedot hampir seluruh unsur hara tanah,” kata Ahn. Oleh karena itu, satu lokasi penanaman baru bisa digunakan kembali 10 tahun kemudian.
Misterius
Ginseng Korea termasuk tanaman unik dan seksi. Ia berbeda dengan ginseng dari Tiongkok, Jepang, dan Amerika. Pada saat berusia 1 tahun, batang yang menjulur ke permukaan tanah cuma satu. Ketika berusia 2 tahun, batangnya bertambah menjadi dua, sampai akhirnya batang itu mencapai enam, yang berarti ginseng telah berusia 6 tahun. Jika tidak dipanen, batang tanaman tidak akan bertambah pada tahun berikutnya. ”Meski usianya sudah 7 tahun, batangnya tetap enam,” kata Ahn. Inilah yang menyebabkan ginseng dijuluki sebagai tanaman misterius atau tanaman dewa. Sampai sekarang tidak terpecahkan mengapa ginseng sangat ”pintar” memberi isyarat usianya sendiri.
Akar ginseng dipilah-pilah di dalam pabrik.–ARSIP KOREA GINSENG CORPORATION
Selain itu, ginseng Korea ditandai dengan akar yang bisa dipersepsi sebagai tubuh manusia: memiliki kepala, badan, tangan, dan kaki. Museum ginseng milik KGC di Buyeo City bahkan menyimpan ginseng-ginseng berbentuk unik. Di bagian depan museum terdapat beberapa ginseng berbentuk tubuh perempuan, tubuh lelaki, ginseng balet, dan ginseng berpasangan. ”Semua ini usianya sudah 10 tahun,” tutur Young-Eun Lee, perempuan yang mengantarkan kami meninjau pabrik milik KGC.
Menurut Young-Eun, pabriknya memiliki sekitar 290 parameter untuk mengecek apakah akar ginseng layak untuk diolah atau tidak. ”Satu saja dari parameter itu tidak dipenuhi pada saat ginseng ditanam, semua tanamannya harus diafkir, tidak bisa dipakai,”katanya. Parameter itu dibutuhkan untuk menjaga mutu ginseng Korea.
Secara umum dikenal, ujar Young-Eun, ginseng Korea memiliki khasiat gizi yang disebut saponin. Ginseng Korea jika dikonsumsi secara benar bisa meningkatkan daya tahan tubuh, mengatasi kelelahan, memperkuat ingatan, melancarkan peredaran darah, melambatkan proses penuaan, dan menjaga kesehatan saat memasuki menopause bagi kaum perempuan. Ahn menambahkan, ginseng juga punya manfaat anti oksidan. ”Tetapi, harus dikonsumsi secara benar, tiga bulan berturut-turut setiap hari. Bisa pakai sirup, tablet, akar, teh, atau bentuk lain sesuai dengan tradisi setiap negara,” kata Ahn.
Di pabrik yang hanya memperbolehkan tamu-tamu istimewa memasuki ruang-ruang pengolahan, ginseng basah (air) diolah menjadi ginseng merah melewati proses pemanasan. Dalam sekali musim panen, setidaknya diolah 9.000 ton ginseng basah menjadi ginseng merah. ”Ketika di pabrik, ginseng dicuci secara bersih, untuk kemudian dialirkan ke ruangan pemanasan. Berapa suhu pemanasannya, itu rahasia kami,” kata Young-Eun. Hal yang paling jelas, tambah Young-Eun, ginseng merah memiliki saponin jauh lebih banyak dibandingkan dengan ginseng basah. ”Tetapi, terutama itu menyangkut cara pengawetan agar ginseng tahan lama,” kata Young-Eun.
Di pabrik ini, ginseng diolah menjadi berbagai produk. Selain menjadi ginseng merah, akar dewa ini juga diwujudkan dalam bentuk sirup, tablet, teh, minuman, dan produk-produk kosmetik. Cheong Kwan Jang, kata Ahn, memiliki 100 toko di seluruh Korea serta tersebar ke 80 negara di dunia, terutama Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat. Tidak jarang orang-orang dari Tiongkok khusus datang ke Seoul untuk membeli ginseng dalam kemasan 14 akar yang harganya mencapai Rp 62.000.000.
Kerahasiaan memang menjadi penting dalam seluruh rangkaian industri ginseng di Korea. Mereka sangat khawatir industri ginseng dipalsukan oleh negara lain, yang cuma ingin meraup keuntungan. Mesin pengolah ginseng basah menjadi ginseng merah, yang dibuat mulai 1994, tidak boleh difoto. Sebelum ada mesin itu, secara tradisional para petani mengolahnya dengan kayu bakar.
Tradisi pengobatan dengan akar ginseng telah berlangsung ratusantahun. Dulu tanaman ini cuma dikonsumsi oleh keluarga raja karena rakyat biasa tidak mungkin membelinya. Sebelum budidaya yang kira-kira dimulai pada abad ke-17 dengan bukti pertukaran uang perak dari Jepang untuk membeli ginseng, para pencari ginseng alam yang disebut simmani telah melahirkan berbagai cerita tentang kedahsyatan tumbuhan ini.
Setidaknya puluhan cerita rakyat yang divisualkan di Museum Ginseng KGC menjadi bukti bahwa tanaman ini dikenal sejak ratusan tahun yang lalu. Pada setiap cerita itu, hampir selalu dikisahkan tentang rasa hormat dan bakti kepada orangtua serta keajaiban akar tanaman yang kemudian dikenal dengan nama ginseng. Para dewa selalu memberikan petunjuk kepada orang-orang berbudi untuk menemukan akar penyembuhan itu.
Di Korea, sampai sekarang, ginseng juga menjadi hadiah istimewa yang diberikan kepada orang-orang istimewa pada hari yang juga istimewa. Karena itu, ia selalu menjadi simbol rasa hormat dan cinta kepada orang-orang di sekitar kita….
PUTU FAJAR ARCANA
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 November 2015, di halaman 24 dengan judul “Si Misterius dari Tanah Dewata”.
————-
Korea, Ginseng, dan Kesabaran Menanam
PUTU FAJAR ARCANA
Sampai jauh tengah malam lampu-lampu di sebagian besar gedung di kota Seoul tetap menyala. Itu pertanda banyak pekerja yang belum pulang. Kerja keras dan lebih keras lagi telah membawa Korea Selatan menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat di dunia. Ketekunan itu berakar dari kesabaran yang merebak harum dari tumbuhan ginseng di pedesaan….
Memanen ginseng di Desa Seowon-li, Yeoju City, Korea.–KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA
Ginseng di Korea telah menjadi ikon negara. Akar tanaman dewa ini bahkan telah resmi menjadi cendera mata negara yang diberikan kepada tamu kehormatan. Mereka yang pernah menerima ginseng ini, antara lain, adalah Presiden Tiongkok Xi Jinping, Ratu Elizabeth II dari Inggris, Presiden Perancis Francois Mitterrand, dan Paus Yohanes Paulus II. Biasanya, kaleng ginseng yang bertuliskan Cheong Kwan Jang itu berisi 14 akar ginseng merah yang usianya lebih dari 10 tahun. Cheong Kwan Jang adalah perusahaan terbesar yang mengolah ginseng air (basah) menjadi ginseng merah selama ratusan tahun. Pabrik mereka di Buyeo City, kira-kira dua jam perjalanan dari Seoul, setidaknya memproduksi 8.000 ton ginseng merah per tiga bulan masa produksi.
”Ginseng telah menjadi kebanggaan bangsa Korea karena itu simbol kerja keras dan tanda bakti di sini,” tutur Jin-taek Ahn, Manager Department Public Relations Korea Ginseng Corp, dalam perjalanan dari Seoul menuju Yeoju City, akhir Oktober 2015 . Kami menuju Desa Seowon-li, dekat Yeoju, di mana seorang petani bernama Kang Pyung-hwan, akan memanen ginseng. Tak mudah menghadiri acara panen ginseng. Petani percaya mitos, hasil panen bisa jelek kalau dihadiri orang luar.
Sebagai simbol, akar ginseng seolah menjadi pegangan semangat kerja bangsa Korea. Tengoklah yang dilakukan Head Children’s Museum Division The National Folk Museum of Korea Lee Kwanho. Meski kesadaran memiliki museum anak di Korea terlambat lebih dari 100 tahun dibandingkan AS, museum anak yang dipimpinnya membuat program di mana jiwa Korea ditanamkan. Ia membuat dua program, pameran dan pengajaran. Keduanya saling berkait dan selalu saling dukung mewujudkan cita-cita Korea: bergaul di luar, tetapi tidak kehilangan akar.
Cerita rakyat Korea, yang banyak mengandung kearifan lokal dan karakter kuat, seperti Sin Chong, tentang bakti seorang anak kepada orangtua, dan Hung Bu, kisah dua saudara, lelaki menjadi matahari dan perempuan jadi bulan. Semua itu, kata Lee, sangat berguna bagi anak-anak dan orangtua. ”Mereka mendapatkan pelajaran sejarah secara natural. Anak-anak juga dapat berkreativitas dan mendapat inspirasi,” ujarnya.
Museum ini setidaknya dikunjungi 250.000-300.000 anak dalam setahun dan 90 persen di antaranya anak dari Korea. Dalam setahun, kata Lee, mereka mengagendakan 2.000 kali pengajaran dengan sekitar 35 pengajar dari museum dan 250 pengajar luar, termasuk orang asing. Dan, 60 kali dalam setahun, para pengajar mengunjungi desa-desa dengan membawa sebuah kotak budaya. ”Yang diajarkan tidak saja cerita tentang Korea, tetapi juga negara lain, termasuk Indonesia yang penting,” kata Lee.
Investasi
Semua pengajaran dan pameran yang dilakukan museum kepada anak usia 20 bulan–12 tahun ini, bisa diperlakukan sebagai investasi Korea terhadap generasi mudanya. Ungkapan seorang Presiden Korea yang terkenal,”Let’s work harder and harder let’s work, much harder not to make our sons and daughters sold to foreign countries,” seperti mendapatkan persemaiannya di sini. Bekerja keras dan lebih keras lagi, bekerja lebih keras agar anak-anak kita tidak tergadai ke luar negeri, jadi standar dasar pembentukan manusia Korea.
Dalam puluhan tahun terakhir, kata Lee, banyak anak Korea cuma memahami kisah dari Barat. ”Kita ingin kasih tahu kepada asing, bahwa Korea punya cerita rakyat. Misinya, orang Korea tak melupakan asal-muasalnya sebagai bangsa,” kata Lee.
Selaras dengan itu, Public Education Coordinator National Museum of Korea, Kim Eun-hee mengatakan, Korea tidak bisa menolak seluruh pengaruh dunia global. Sejak masa silam, walau banyak dipengaruhi Tiongkok, Korea punya warisan nilai dari para leluhurnya. Sangat penting di Korea, menerapkan sejarah dalam kehidupan sehari-hari. ”Kini bahkan sejarah menjadi rujukan paling penting untuk mencari pekerjaan,” ujar Kim. Tentang keuletan, ketekunan, dan kerja keras bangsa Korea, kata Kim, bisa dilihat dari benda dan tarian yang masih lestari. Benda sejarah penting bisa dilihat di museum nasional. ”Di museum kita dapat gambaran bagaimana orang Korea bekerja,” kata Kim.
National Museum of Korea seluas 49.468 meter persegi di atas tanah 295.550 meter persegi dan gedung baru dibangun sekitar 10 tahun lalu. Sebelumnya museum ini menempati sebuah gedung kecil di sudut kota Seoul. ”Kalau kita berkeliling semua ruangan baru bisa selesai seminggu,” ujar Daniela Kim, yang menjadi pemandu selama program K-Fellowship di Korea Selatan.
CEO Kehormatan Munhakdongne Publishing Corp Tae- hyeong Kang, saat ditemui di Paju City mengatakan, investasi Korea terhadap SDM juga terletak pada buku. Di Korea tidak kurang terdapat lebih dari 3.000 penerbit dan setidaknya diterbitkan 20.000 judul buku dalam setahun. Ia mengakui, penetrasi buku elektronik lumayan gencar. ”Tetapi, orang Korea masih memilih membaca buku, karena e-book tidak baik buat mata,” kata Kang. Munhakdongne Publishing Corp adalah penerbit terbesar di Korea. Di sini setidaknya diterbitkan 600 judul buku setahun dan 250 di antaranya buku sastra. ”Buku sastra penting artinya karena itulah investasi karakter manusia,” katanya. Kang menambahkan, buku sastra di Korea biasanya dicetak berkisar 2.000–100.000 eksemplar dan dalam dua bulan habis terjual.
Di Sejong Center for The Performing Arts, menurut Auh Youn sun, Director PR & Marketing, dipentaskan 1.000 pertunjukan dalam setahun. ”Tidak ada hari libur, 365 hari dalam setahun penuh dengan pertunjukan,” katanya. Sebagian dari pertunjukan di Sejong Center adalah hasil kolaborasi antara seni tradisi Korea dan seni modern.
Semua komponen itulah yang bergerak seirama menyiapkan dan membentuk pribadi generasi bangsa Korea yang pantang menyerah. Akar ginseng adalah simbol untuk menggali asal-muasal kulturnya dan kemudian melesat sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Menanam ginseng butuh kesabaran, keuletan bekerja, dan kesetiaan menjaga keyakinan. ”Dalam kerja delapan tahun seorang petani baru bisa memanen akar yang baik,” ujar Jin-taek. Kesabaran menanam adalah kunci segala keberhasilan. Tak mungkin mendapatkan akar berkualitas tinggi jika hanya berorientasi pada seberapa besar yang bisa kita panen.
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 November 2015, di halaman 1 dengan judul “Korea, Ginseng, dan Kesabaran Menanam”.