Jakarta memiliki kerentanan sangat tinggi terhadap ancaman gempa berkekuatan hingga Mw 9 yang berpotensi terjadi di zona subduksi Selat Sunda. Selain kondisi tanah Jakarta berupa endapan aluvial sehingga lebih rentan guncangan, konstruksi bangunan di Jakarta belum disiapkan menghadapi gempa besar.
Hal itu dikemukakan Udrekh, Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dalam diskusi di Jakarta, Senin (7/4). ”Sebagai perbandingan, gempa tahun 2009 di selatan Jawa guncangannya terasa cukup besar di Jakarta. Padahal, gempa saat itu baru skala Mw 7 dan MMI 4-5,” katanya.
Dengan kekuatan gempa di zona subduksi Selat Sunda (Sunda Megathrust) hingga Mw 8,7-9, guncangan yang dirasakan di Jakarta bisa mencapai skala VIII MMI. Jarak Jakarta dengan pusat gempa di Sunda Megathrust sekitar 170 km.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Jangankan VIII MMI, untuk skala VII MMI, menurut penelitian awal kami, kebanyakan bangunan di Jakarta ambruk. Beberapa variabel penelitian meliputi usia bangunan, bentuk, dan fungsi,” katanya. Penelitian itu, kata Udrekh, akan diperdalam lagi. ”Untuk Lampung dan Banten, ancaman selain gempa, tentu tsunami,” ujarnya.
Geologi Jakarta
Kepala Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Haryadi Permana, mengatakan, ancaman gempa Sunda Megathrust harus diwaspadai. ”Walau periodisasinya belum diketahui, ancaman Sunda Megathrust memang nyata,” katanya, ”Potensi gempa lain yang harus diwaspadai adalah Mentawai Megathsrust yang dianggap sudah mendekati periode keterulangan sekitar 200 tahunan.”
Haryadi menambahkan, wilayah timur Indonesia mulai dari Papua hingga sekitar Ambon, Seram, ke Sulawesi Utara, juga rentan gempa dan tsunami. ”Namun, wilayah timur belum banyak diteliti,” katanya.
Untuk Jakarta, menurut Haryadi, tingkat kerentanan bertambah tinggi karena kondisi geologi kota yang labil. ”Kota Jakarta berada di dataran aluvial. Sangat lunak dan rendah sekali. Bahkan, sebagian daratan di bawah permukaan laut dan dialiri 11 sungai utama,” katanya.
Tanah aluvial memiliki amplifikasi tinggi jika diguncang gempa. ”Mungkin beberapa pemilik bangunan tinggi atau hotel-hotel sudah mendesain konstruksi bangunan tahan gempa, tetapi bagaimana dengan tanahnya? Bisa jadi fondasi atau tanahnya hancur,” katanya.
Menurut Haryadi, di bawah tanah Jakarta terdapat sesar-sesar tua yang belum dipetakan rinci. ”Dampaknya, kalau terjadi gempa di Laut Selatan, misalnya sekitar Sukabumi, orang Jakarta biasanya lebih merasakan guncangan dibandingkan dengan orang Bandung,” ujarnya, ”Saya menyarankan Jakarta dipantau oleh seismograf dan GPS untuk memantau apakah sesar aktif.”
Untuk itu, perlu upaya nyata dan masif, terutama di lingkungan pendidikan kebencanaan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. ”Pengurangan risiko bencana harus jadi arus utama dalam pembangunan,” ujarnya. (AIK)
Sumber: Kompas, 8 April 2014