Rentetan gempa bumi dengan kekuatan terbesar M 6 yang mengguncang Ambon, Maluku, Selasa (31/10) malam, mengingatkan kembali tentang hiperaktifnya kondisi tektonik wilayah ini. Jika dibandingkan dengan sejarah gempa yang pernah melanda daerah itu di masa lalu, guncangan gempa ini relatif kecil.
“Tanggal 17 Februari 1674, Sabtu malam, sekitar 07.30, di bawah bulan indah dan cuaca tenang, semua provinsi kami-yaitu Leitimor, Hitu, Nusatelo, Seram, Buro, Manipa, Amblau, Kelang, Bonoa, Honimoa, Nusalaut, Oma dan tempat lain yang berdekatan, meski terutama dua yang pertama disebutkan-menjadi sasaran guncangan mengerikan yang diyakini kebanyakan orang bahwa Hari Penghakiman datang,” sebut naturalis asal Jerman, Georg Everhard Rumphius (1627-1702), dalam bukunya, Amboina.
Buku Rumphius ini ditulis satu tahun setelah tragedi itu dan jadi catatan modern tertua yang merekam rinci kejadian dan dampak tsunami di Indonesia. Disebutkan, guncangan gempa amat kuat sehingga orang yang berdiri berjatuhan. Tanah bergerak naik turun seperti lautan. “Tak lama kemudian air laut datang dengan suara bergemuruh,” tulis Rumphius.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Negeri Hila disebut Rumphius sebagai daerah paling menderita. “Begitu gempa menggoyang, semua garnisun, kecuali beberapa orang yang terperangkap di atas (benteng), mundur ke lapangan di bawah benteng, menyangka mereka akan lebih aman. Tak seorang pun menduga air akan naik tiba-tiba ke beranda benteng (Amsterdam),” tulis Rumphius.
Air itu sedemikian tinggi hingga melampaui atap rumah dan menyapu bersih desa. Batuan koral terdampar jauh dari pantai. Ada 1.461 orang tewas di Hila. Di Hitu, air laut naik setinggi 3 meter, menyeret rumah-rumah kompeni. Sedikitnya 36 orang tewas.
Menurut catatan Rumphius, 2.322 orang di Pulau Ambon dan Seram tewas, termasuk istri dan anak perempuannya. Di katalog tsunami Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA) serta WinITB yang disusun para ahli Rusia, ketinggian tsunami di Ambon dan Seram tahun 1674 itu 80 meter.
Ahli tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, menyatakan, ketinggian tsunami 80 meter terjadi di Hila dan Lima, Pulau Ambon. “Ketinggian tsunami fantastis ini kemungkinan terjadi karena gempa memicu longsor bawah laut. Ini biasa terjadi di area yang kemiringan dasar laut curam,” ujarnya.
Gempa kuat berikutnya di area ini terjadi 30 September 1899, menewaskan ribuan orang. Koran Australia, The Brisbane Courier, menulis peristiwa berjudul “Banyak Korban Tewas, Gempa Mematikan di Hindia Timur” …pantai selatan Seram diterjang ombak tinggi (tsunami) dan gempa bumi. Ada 4.000 orang tewas atau hilang, 500 luka. Amahai hancur total.
Kekuatan gempa yang memicu tsunami hingga 12 meter saat itu M 7,8. Masyarakat Seram mengenal peristiwa gempa 1899 itu dengan sebutan Bahaya Seram. Warga Negeri (Desa) Elpaputih, Seram Bagian Barat, masih merekam peristiwa itu sebagai hilangnya negeri mereka karena hantaman air laut.
Bahkan di Amahai, warga mendirikan tugu peringatan karena saat gempa dan tsunami menerjang pada 1899, Raja Amahai W Hallatu dan Raja Ihamahu W Lisapaly dari Pulau Saparua, yang saat itu berada di Amahai untuk mengambil kayu guna pembangunan gereja di desa beserta 60 warga Ihamahu, turut menjadi korban.
40 persen
Gempa bumi diikuti tsunami pada 1674 dan 1899 yang melanda Maluku ini hanya sebagian kecil dari yang pernah terjadi. Berdasarkan catatan sejarah Catalogue of Tsunamis on The Western Shore of the Pacific Ocean yang disusun SL Soloviev and Ch N Go (1974) serta catatan sejarah tsunami lain, menurut ahli tsunami Institut Teknologi Bandung (ITB) Hamzah Latief (2016), dapat diketahui, pada 1600-2015, lebih dari 85 tsunami terjadi di Maluku. Dalam kurun waktu sama, di Indonesia 210 kejadian tsunami. Jadi, 40 persen kejadian tsunami di Indonesia terjadi di Maluku.
Setelah melihat rekaman sejarah kegempaannya, ahli geologi dari Universitas Birgham Young, Amerika Serikat, Ron Harris, menyebut Maluku termasuk kawasan paling rentan gempa dan tsunami besar di masa depan. “Saya khawatir siklus gempa besar di kawasan ini hampir tiba,” ujarnya.
Ron, yang beberapa kali melakukan survei di Maluku, khawatir melihat tren pembangunan di area ini seperti abai dengan sejarah gempa dan tsunami. Permukiman tumbuh pesat di pesisir. Jembatan Merah Putih sepanjang 1.140 meter yang membelah Teluk Dalam Ambon berhadapan dengan zona patahan pemicu gempa 1950-an.
Gempa pada Minggu, 8 Oktober 1950, itu berkekuatan M 7,6. Beberapa surat kabar merekam kejadian ini, misalnya Pikiran Rakyat edisi 10 Oktober 1950 menulis di halaman pertama dengan judul berita “Gempa bumi di Pulau Ambon” dan Surat Kabar Nasional edisi 1 Oktober 1950 halaman pertama dengan judul berita “Gempa bumi di Ambon”. Dalam pemberitaan itu disebutkan, gelombang laut setinggi 20 meter menyapu pantai Ambon.
Tahun 2016, Indian Ocean Tsunami Information Centre (IOTIC)-UNESCO Jakarta menerbitkan buku ringkas berjudul Air Turun Naik di Tiga Negeri berisi kesaksian penyintas gempa dan tsunami Ambon tahun 1950. Air turun naik adalah istilah lokal dari warga Ambon untuk menyebut gelombang tinggi menerjang daratan setelah gempa.
Ardito M Kodijat dari UNESCO-IOTIC mengatakan, kenyataan Maluku rawan bahaya gempa dan tsunami sudah diketahui lama. Bahkan, Maluku jadi satu-satunya wilayah yang punya catatan sejarah tsunami dengan gempa bumi kuat tertua yang ditulis lengkap Rumphius.
Sebagian saksi mata gempa dan tsunami yang menghantam Ambon 1950-an masih hidup. “Catatan sejarah ini seharusnya jadi dasar rujukan untuk pengembangan pengurangan risiko bencana di Maluku, khususnya Pulau Ambon, Seram, Buru, dan sekitarnya,” kata Ardito.
Hampir setiap jengkal area Indonesia ada di zona bahaya, apalagi Kepulauan Maluku diimpit tiga tumbukan lempeng benua, Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia. Dengan mitigasi bencana yang baik, risiko korban dan kerugian bisa dikurangi. Untuk menghadapi ancaman di masa depan itu, kita wajib belajar dari sejarah masa lalu….(AHMAD ARIF)
Sumber: Kompas, 7 November 2017