Kubah-kubah gambut Riau telah rusak oleh ekspansi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Kerusakan kubah gambut membuat air terkuras sehingga tak mampu menjaga kelembaban lahan gambut di sekelilingnya saat musim kemarau.
”Di Riau, dome (kubah kabut) sudah tercacah oleh drainase. Gambut di Riau telah over bleeding (air gambut terbuang dengan cepat),” kata pakar gambut Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Azwar Maás, Rabu (17/12), dalam lokakarya ”Implementasi Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan”, di Jakarta.
Diskusi yang sempat memanas oleh protes dari kalangan asosiasi pengusaha sawit dan hutan tanaman industri itu dihadiri pakar lingkungan hidup Emil Salim dan Deputi Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Arief Yuwono.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pembahasan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang ditandatangani presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, pada 12 September 2014 menjadi topik perdebatan. Sejumlah kalangan pengusaha keberatan dengan batasan 40 sentimeter ketinggian air muka tanah, dengan dalih mematikan tanaman karena terlalu lembab.
Namun, Azwar menyatakan akar tanaman tak akan mati kalau kelembaban tanah berasal dari air mengalir, bukan air mati. Keberadaan air mengalir sulit terjadi saat tak ada sumber air dan kubah gambut terkuras. ”Air tanah tak bisa mengalir ke atas (gambut) karena porous (pori-pori gambut besar),” ujarnya.
Emil Salim mengatakan, Indonesia seharusnya belajar dari pengalaman program lahan gambut (PLG) sejuta hektar di Kalimantan Tengah pada 1997. Saat itu, ekosistem gambut Kalteng dibuka dan dikeringkan melalui pembuatan kanal-kanal.
”Waktu itu, analisis Institut Pertanian Bogor (IPB) jelas menunjukkan PLG tak feasible, tetapi penjabat minta dijadikan feasible melalui teknologi-teknologi. Kenyataannya, proyek itu gagal,” kata Menteri Lingkungan Hidup pertama di Indonesia itu.
Ia heran, saat ini kesalahan itu diulang dengan membuka gambut di Riau dan berbagai tempat lain. Akibat pengeringan, gambut mengering dan mudah terbakar serta menimbulkan asap pekat sehingga mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat.
Tak transparan
Lokakarya yang dihadiri perwakilan dari berbagai asosiasi pengusaha/perusahaan sawit dan HTI itu diwarnai protes keras kepada Kementerian Lingkungan Hidup (kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang dinilai tak transparan saat penyusunan PP Gambut. ”Anda bilang mengundang asosiasi. Asosiasi yang mana, sebutkan,” kata Togar Sitanggang dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).
Asisten Deputi Pengendalian Kerusakan Ekosistem Perairan Darat Hermono Sigit mengatakan, sejak tahun 2006 KLH mulai menyusun Perpres Gambut. Namun, pasca penerbitan Undang-Undang No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengaturan gambut diamanatkan dalam PP. Jadi, lama sekali PP ini mulai disusun. Di KLH ada catatannya, lengkap,” katanya menegaskan. (ICH)
Sumber: Kompas, 18 Desember 2014