Pemilu Langsung Investasi Masa Depan Demokrasi Indonesia
Sistem pemilihan umum elektronik atau e-voting bisa menjawab kecemasan pemilu kepala daerah langsung yang mahal sehingga hendak dikembalikan menjadi pilkada oleh DPRD melalui Rancangan Undang-Undang Pilkada. Pemilu langsung merupakan bagian dari investasi masa depan demokrasi Indonesia.
Direktur Program Sistem Pemilu Elektronik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Andrari Grahitandaru mengatakan, BPPT telah siap menggunakan e-voting, tinggal menunggu undang-undang dan peraturan pemerintah. E-voting akan menghemat banyak komponen biaya karena tak lagi mendistribusikan berbagai logistik konvensional.
Menurut Andrari, e-voting diperbolehkan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Hanya saja, tak serta-merta putusan MK bisa dipakai untuk pilkada. ”Untuk pilkada, aturannya belum memungkinkan. RUU Pilkada yang baru ini sudah mengadopsi e-voting. Kita tunggu saja menjadi UU dan sampai keluar peraturan pemerintah,” kata Andrari, di Jakarta, Jumat (12/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Walau terganjal peraturan, BPPT tetap bisa bereksperimen menggelar e-voting di tingkat lebih rendah. ”Kami pernah melakukan uji coba e-voting di 42 TPS (tempat pemungutan suara) dalam Pilkada Bantaeng, Sulawesi Selatan (dari total 360 TPS yang ada) pada 2013. Respons masyarakat sangat tinggi dan percaya,” kata Andrari.
E-voting pernah diujicobakan di pemilihan kepala desa di Boyolali (Jawa Tengah), pemilihan kepala dusun di Jembrana (Bali), dan pemilihan kepala desa di beberapa desa di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Pada November, Musi Rawas akan menggelar e-voting pemilihan kepala desa di 14 desa.
Hasil uji coba e-voting di Bali menunjukkan, sistem ini layak diterapkan, hemat biaya lebih dari 60 persen, serta mempersingkat dan memudahkan proses pemilihan. Dengan kartu cip sebagai kartu identitas penduduk dan sistem verifikasi, penyimpangan dapat dihindari. ”Cara pemilihan atau pemungutan suara ini juga menyingkat waktu, hanya butuh 20 detik untuk memberikan suara,” ujar Andrari.
Hemat biaya
Pendapat serupa dikemukakan Rektor Universitas Hasanuddin Dwia Aries Tina di Makassar, Sulawesi Selatan. Sebelum menjadi rektor, Dwia adalah kepala proyek percontohan (pilot project) Universitas Hasanuddin dalam simulasi e-voting di Kabupaten Bantaeng, 17 April 2013. Universitas Hasanuddin bekerja sama dengan BPPT.
”Simulasi e-voting itu menunjukkan biaya pilkada yang diperlukan hanya mencapai 40 persen dari biaya pilkada secara manual,” kata Dwia.
Biaya akan makin murah karena alat dan perangkat masih bisa digunakan untuk pilkada berikutnya atau di tempat lain. Selain itu, e-voting tak menyulitkan warga dan justru dianggap memudahkan. ”Dari hasil evaluasi kami kala itu, persentase kesalahannya kecil sekali. Saya menyaksikan sendiri warga yang berusia lanjut pun bisa mengikuti e-voting dengan baik,” ujarnya.
Dari segi keamanan, Dwia mengatakan e-voting tak bisa dimanipulasi karena menggunakan sistem tertutup dengan monitoring ketat. E-voting menghilangkan potensi kecurangan dari penyelenggara pemilu lokal karena hasil pilihan warga langsung masuk dalam pusat data. Hal itu juga akan memangkas waktu rekapitulasi dan distribusi balik hasil pemilu. ”Begitu pemilih terakhir keluar dari TPS, hasilnya sudah bisa dilihat,” kata Dwia.
Bisa memverifikasi
Menurut Andrari, e-voting tak memerlukan kertas suara, langsung menggunakan sistem yang disiapkan. Ketika pemilih masuk TPS dan menunjukkan KTP elektronik atau surat undangan, pemilih diberi kartu token di bilik suara untuk mengaktifkan satu surat suara elektronik.
Tidak seperti di India atau negara lain, e-voting yang diusulkan BPPT memungkinkan pemilih memverifikasi pilihannya. ”Sistem e-voting kami menyediakan setruk untuk memverifikasi pilihannya. Setruk ini kemudian dimasukkan ke kotak audit yang bisa dijadikan alat bukti sengketa,” kata Andrari.
Menurut Andrari, tak mudah menerapkan e-voting di negara besar seperti Indonesia, apalagi untuk pemilu nasional. ”Dalam hal ini, yang paling belum bisa menerima justru politisinya karena pada saat TPS ditutup, hasilnya langsung keluar. Tak ada kemungkinan mengondisikan hasil,” katanya.
Jika ada desa/kelurahan yang ingin menerapkan e-voting, BPPT siap memberikan layanan asistensi atau konsultasi. ”Jika ingin menggunakan e-voting, daerah yang bersangkutan harus sudah memiliki peraturan daerah yang membolehkan e-voting,” kata Andrari.
BPPT telah merintis e-voting sejak 2001. Modifikasi dan perpaduan teknologi dari Eropa dan Amerika Serikat telah membuat e-voting memenuhi standar keamanan dan layak diterapkan di Indonesia. Namun, untuk pabrikasi dan penerapannya, masih menunggu peraturan dan kesiapan industri.
Andrari mengusulkan penggunaan konsep India yang menunjuk satu industri nasional, yaitu Electronic India Limited, untuk membuat dan memelihara sistem e-voting. Untuk Indonesia, Andrari mengusulkan PT Inti. Perusahaan strategis milik pemerintah ini dapat berkoordinasi melibatkan industri swasta nasional, termasuk industri kecil, untuk pembuatan komponen sistem e-voting. Dalam pengembangannya, sistem e-voting disempurnakan dan dibuat prosedur operasi standar. ”Tujuannya untuk memperkecil terjadi penyimpangan dalam proses pemilihan dan penghitungan suara,” ujarnya.
Sementara itu, dalam diskusi di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, anggota Bawaslu, Nasrullah, mengatakan, demokrasi memang meminta sejumlah konsekuensi, bukan hanya soal biaya. ”Pemilu secara langsung itu investasi amat berharga buat bangsa dan negara. Amat sia-sia investasi mahal yang dibangun dari reformasi itu dicederai,” kata Nasrullah.
Kelompok oligarkis
Turut menjadi pembicara dalam diskusi itu, Direktur Eksekutif IndoStrategi Andar Nubowo dan Sekretaris Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ibnu Sina Chandranegara. Nasrullah menyatakan, pendapatnya tidak mewakili Bawaslu. ”Alangkah naif, kemunduran amat luar biasa ketika sampai derajat lebih tinggi (pemilu), tiba-tiba dimundurkan lagi. Semangat reformasi jangan diingkari,” katanya.
Andar Nubowo menduga ada tendensi politik selama 16 tahun setelah reformasi untuk mengembalikan masa lalu. ”Kelompok oligarkis sengaja menggunakan prosedur demokrasi untuk memaksakan kehendak, mengembalikan sistem ke era sebelum reformasi,” katanya.
”Ini simplifikasi yang keliru. Menurut kajian kami, alasan budget bisa ditekan dengan pemilu serentak dan memanfaatkan teknologi informasi dengan sistem pemilu elektronik atau e-voting,” kata Andar.
Sementara itu, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, atas nama Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), merekomendasikan pilkada langsung berbiaya murah kepada pemerintah pusat.
”Asosiasi wali kota dan bupati yang jumlahnya 510 orang sepakat menolak pilkada melalui DPRD. Jika pemilihan pilkada langsung disebutkan mahal, itu relatif. Kami merekomendasikan caranya membuat pilkada langsung dengan biaya murah,” kata Ridwan di Balai Kota Bandung.
Menurut dia, pilkada bisa hemat jika digelar serentak. Ridwan menyebutkan, biaya yang dikeluarkan tidak lebih dari Rp 3 miliar.
”Kemarin ada pimpinan daerah yang curhat, kalau mau maju melalui DPRD, satu kursinya ada yang minta Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar. Jika dikalikan 50 persen plus satu anggota DPRD, sekitar 25 orang, kan jadi mahal,” kata Ridwan.
Hingga saat ini, pemerintah teguh untuk pilkada langsung seperti tertuang dalam draf RUU Pilkada bersama Fraksi PDI-P, PKB, dan Hanura. Sementara enam fraksi lain yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih, yaitu Partai Demokrat, Golkar, PAN, PKS, PPP, dan Gerindra, menyetujui pilkada oleh DPRD.
Apabila tidak ada kesepakatan di Komisi II, RUU Pilkada akan diputuskan di Rapat Paripurna DPR pada 25 September lewat voting. Dari 560 kursi di DPR, 426 kursi dikuasai Koalisi Merah Putih yang mengklaim solid.
(AMR/YUN/ENG/HEI/A13/NTA)
Sumber: Kompas, 13 September 2014