Pemanfaatan bioenergi di Indonesia sebagai sumber energi baru terbarukan masih minim. Padahal, sumber daya lokal yang tersebar di berbagai desa berpotensi menghasilkan energi.
“Dengan bioenergi, warga bisa terlibat langsung. Pengelolaannya untuk konsumsi rumah tangga, tak perlu dana investasi besar,” kata anggota Dewan Energi Nasional, A Sonny Keraf, dalam diskusi “Bioenergi: Potensi Energi Masa Kini dan Masa Depan”, Jumat (10/6), di Jakarta.
Bioenergi merupakan energi terbarukan dari sumber hayati, termasuk biomassa. Sementara biomassa ialah bahan organik penyimpan energi yang berasal dari tumbuhan, hewan, dan produk limbah industri budidaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hampir semua provinsi di Indonesia memiliki sumber daya lokal untuk menghasilkan energi baru terbarukan. Misalnya, Nusa Tenggara Timur memiliki banyak bambu yang berpotensi jadi sumber energi. Di Banyumas, Jawa Tengah, pemanfaatan limbah tahu menghasilkan gas dan dimasukkan ke ban dalam mobil.
Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Energi Arief Yuwono menambahkan, Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2010-2050 menargetkan kemandirian dan ketahanan energi nasional. Dalam 40 tahun, target terkait ketersediaan energi diharapkan tercapai.
Kemandirian energi berupa menjamin ketersediaan energi dengan memaksimalkan potensi dalam negeri. Adapun ketahanan energi menjamin akses warga pada energi dengan harga terjangkau, jangka panjang, dan memperhatikan lingkungan hidup.
Kebutuhan naik
Kini, porsi energi baru terbarukan (EBT) baru 6 persen dari total bauran energi nasional, padahal target 2025 mencapai 23 persen. Pada 2050, kebutuhan EBT diprediksi 31 persen. “Pengembangan bioenergi melalui regulasi, kelembagaan, sumber daya manusia, dan insentif,” kata Arief.
Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat terkait potensi sumber daya lokal terus dilakukan. Sebab, target pemanfaatan bioenergi hanya bisa dicapai dengan cepat jika warga mendayagunakan energi di sekitarnya.
Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Inovasi, menginventarisasi dan mengenalkan teknologi inovatif kepada warga pedesaan. Ke depan, itu diharapkan menghasilkan sumber energi alternatif di daerah.
Kabupaten Boalemo, Gorontalo, misalnya, punya potensi nira aren besar untuk bioetanol. Pemakaian 1 liter bioetanol untuk bahan bakar setara 1 tabung elpiji 3 kilogram. Biaya produksi bioetanol Rp 8.000 per liter dan harga elpiji 3 kg Rp 20.000.
Namun, menurut Sonny, pengembangan bioenergi terkendala harga. Harga EBT lebih mahal daripada energi fosil, seperti batubara dan minyak bumi. Karena itu, perlu harga khusus EBT agar menarik minat investor.
Arief menambahkan, kendala lain ialah ketergantungan Indonesia pada energi fosil. Jika energi fosil disubsidi pemerintah, EBT diharapkan mendapat perlakuan yang sama. (C03)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Juni 2016, di halaman 13 dengan judul “Dorong Bioenergi Berbasis Pedesaan”.