Dodi Nandika, Ahli Rayap Warung Tegal

- Editor

Rabu, 8 Mei 1996

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sudah 20 tahun ia bersahabat dengan rayap. Ketika menunaikan ibadah haji sekalipun, ia berhasil menemukan rayap, yang ia jadikan salah satu koleksi penelitian. Padahal mulanya ia hanya ditawari gurunya tentang rayap, Prof RC Tarumingkeng, Gurubesar IPB, untuk meneliti serangga ini.

”Ketika itu, tahun 1974, hampir tidak ada orang yang mau memperhatikan rayap,” kenang Dr Ir H Dodi Nandika, yang kini menjadi ahli rayap dari almamaternya itu. Ia membayangkan bahwa sekali waktu, rayap akan memiliki potensi pasar sedemikian besar. Minatnya terhadap rayap pada saat itu lebih karena pertimbangan ekonomis.

Lahir di Rangkasbitung, Banten 7 Desember 1951 sebagai anak karyawan kehutanan, rupanya perkenalan pertamanya dengan rayap telah membuat ia terkagum-kagum. Serangga kecil ini
lain dari yang lain. ”Bayangkan saja tubuhnya lunak, matanya buta, gerakannya lamban, tetapi daya serangnya sangat dahsyat dan kerusakan yang ditimbulkan luar biasa,” katanya bersemangat. Namun yang paling hebat adalah, kerja sama dan kemauan bekerja yang luar biasa dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kelak rasa kagum itu ia buktikan dengan berbagai hasil penelitian dan bahkan disertasinya. “Saya lulus S1 tentang rayap, S2 juga tentang rayap bahkan doktor juga tentang rayap,” katanya.

Lulus dari Fakultas Kehutanan IPB tahun 1976, tahun 1982 ia menyelesaikan Program Magister Sains dalam bidang Entomologi pada Fakultas Pasca Sarj ana IPB. Gelar doktor dalam bidang sama diraih pada tahun 1990.

Dodi Nandika tidak hanya melihat rayap sebagai musuh, tapi juga makanan. Pengalaman masa kecil mendorongnya untuk meneliti rayap sebagai sustitusi protein ikan di dalam pembuatan kerupuk. Pemanfaatan itu dilakukan berdasar penelitian mahasiswa Institut Teknologi Indonesia (ITI) Finna Chrisciany Natacia yang dibimbingnya bersama Ir Syarif, Kepala Pusbangtepa IPB. Hasil uji organoleptik menunjukkan kerupuk rayap sama dengan kerupuk ikan, dalam rasa, aroma, dan kerenyahan.

MENERBITKAN tidak kurang dari 27 publikasi tentang rayap bersama rekan lainnya, minat utama penelitiannya pada masalah biodeteriosasi kayu dan toksikologi kayu pestisida. Karena itu, sejak 1984 ia aktif membantu Komisi Pestisida dalam pengujian keampuhan bahan pengawet kayu. Sejak 1985 ia aktif membantu Departemen Pekerjaan Umum dalam menyusun standar pengendalian rayap pada bangunan gedung.

Dodi Nandika mengungkapkan, bentuk Kerajaan Inggris sangat boleh jadi mangadopsi kehidupan rayap. Jika Inggris memiliki ratu, kerajaan rayap juga memiliki ratu yang disebut gendon.

Kerajaan rayap juga mengenal kasta-kasta untuk membedakan tugas dan kewajiban masing-masing. Kasta prajurit memiliki bentuk yang lebih kokoh dengan kepala lebih besar. Tubuhnya dilengkapi dengan giri (mandibel) yang besar dan kuat sebagai senjatanya.

Gigi kasta pekerja relatif lebih kecil karena tugasnya mencari makan, merawat telur, dan membuat serta memelihara sarang. Sedangkan kasta reproduktif primer terdiri dari serangga-serangga dewasa yang bersayap dan menjadi pendiri koloni. Imago jantan dan betina yang berhasil menjalin cinta akan membangun koloni baru. Tugasnya hanya bercinta dan menghasilkan telur.

Apabila reproduktif primer mati atau dibutuhkan penambahan reproduktif untuk perluasan koloni, akan dibentuk reproduktif sekunder (neoten). Neoten juga akan terbentuk apabila karena sesuatu hal, sebagian koloni terpisah dari sarang utamanya yang selama itu menjadi pusat kerajaan.

SECARA ekosistem, menurut Asisten Direktur Program Pusat Antar Universitas (PAU) Ilmu Hayati IPB dan Kepala Laboratorium Hama Hasil Hutan itu, rayap sebenarnya membantu mengurai dan menghancurkan bahan-bahan yang sudah mati. Misalnya tunggul bekas tebangan kayu, ranting-ranting dan daun-daun yang jatuh. Dengan kemampuannya, bahan-bahan itu kemudian dirombak kembali untuk kesuburan tanah.

Masalahnya menjadi lain ketika habitat rayap mulai berkurang atau bahkan dirampas. Daerah-daerah yang dulunya merupakan perkebunah karet terlantar, kemudian dibabat habis, dan di atasnya dibangun perumahan. Tanpa disadari, di bawah bangunan yang ditempati sebenarnya terdapat pusat kerajaan rayap.

Serangga ini sangat menyenangi daerah-daerah yang memiliki keadaan tanah kaya bahan organik. Apalagi jika daerah itu jarang tergenang dan memiliki suhu hangat seperti di Jawa dan Sumatera.

Walau demikian, penyebarannya masih sangat tergantung pada keadaan tanah daerah masing-masing. Di tiap daerah tersebut bisa dijumpai baberapa jenis rayap.

Dari sekitar 200 jenis, ternyata delapan jenis di antaranya yang tidak puas hanya dengan memakan tunggul kayu, ranting dan daun-daun kering yang jatuh salah. Satu jenis paling ganas, yaitu Octavermes, bisa diibaratkan pasukan khusus yang bisa melepaskan diri dari koloninya.

Jenis ini pada tahun 1950-an lebih dikenal sebagai hama perusak pohon karet. Tetapi pohon-pohon karet tersebut kini habis ditebang dan di atasnya sudah berdiri bangunan. Karena enzimnya mengandung selulose yang mengandung bahan-bahan yang dapat mengubah selulosa, maka kelompok serangga tersebut akan terus mencari makanannya yang mengandung selulosa seperti kertas-kertas, pakaian dan akhirnya kusen-kusen rumah dan terus naik sampai ke kuda-kuda bangunan lalu kaso-kaso. Tanpa diketahui pemiliknya, semua tulang-tulang bangunan rumah atau gedung tersebut sudah keropos.

Iklim dan keadaan daerah di Indonesia sangat memungkinkan berkembang-biaknya koloni rayap yang ganas ini dengan kerugian yang ditimbulkan cukup besar. Pantas jika sejumlah perusahaan pestisida multinasional dari berbagai negara memusatkan perhatiannya ke Indonesia sebagai daerah pemasaran potensial untuk produk mereka. Jika tahun 1980-an hanya sekitar 15-20 perusahaan anti-rayap, sekarang diperkirakan sudah mencapai 150 perusahaan yang terdaftar, belum termasuk yang liar dan tidak terdaftar.

Menghadapi persaingan pasar tersebut, sebagai peneliti, Dodi Nandika lebih memilih tidak berpihak. ”Saya lebih suka jadi konsultan rayap warung Tegal saja,”katanya . Prinsip yang dianutnya itu karena ia lebih memilih memiliki banyak teman daripada kehilangan teman. Dengan prinsip ”Warung Tegal”, teman-temannya bisa datang dan pergi dari mana saja.

PENANGGULANGAN rayap sebenamya bisa dilakukan dengan berbagai cara. Orang Belanda dulu, sebelum membangun rumah, dasar fondasi bangunan dilapisi lapisan timah hitam. Maksudnya agar rayap tidak bisa menembus masuk lalu merusak bagian-bagian bangunan. Cara lain yang populer dengan menggunakan pestisida tertentu. Tetapi ada beberapa risiko antara lain tidak menutup kemungkinan tercecernya bahan sehingga tidak aman untuk lingkungan.

Lalu bagaimana melindungi kayu kusen yang sudah terlanjur di pasang? Peneliti dari IPB itu kemudian menciptakan ”teknologi pentil”. Disebut demikian karena alat yang digunakan hampir mirip dengan pentil sepeda motor atau mobil kemudian ditanamkan pada kayu kusen yang akan diawetkan. Dengan menggunakan injektor khusus yang memiliki kekuatan 4-5 bar, obat anti-rayap dimasukkan ”Ternyata kemampuannya luar biasa dan obat bisa menyebar ke seluruh bagian kayu,” katanya.

Dodi Nandika mengungkapkan, orang tua dulu sebenarnya sudah memiliki cara untuk melindungi kayu bangunan yang akan digunakan dari kemungkinan serangan rayap dan serangga perusak kayu lainnya. Antara lain dengan direndam di lumpur selama beberapa lama. Tetapi cara itu tidak mungkin dilakukan mengingat kebutuhan kayu yang cukup besar dan waktu mendesak.

Dari sekian banyak jenis kayu yang digunakan tersebut, hanya sebagian kecil yang tidak disukai rayap, seperti kayu ulin, kayu jati, dan beberapa jenis lainnya. Jumlah itu tak berarti dibanding hasil tebangan tiga juta M3 kayu hutan Indonesia setiap tahunnya.

Padahal jika kayu-kayu tersebut diawetkan dulu bisa dilakukan penghematan. Penggantian kayu karena kerusakan akan lebih lama sehingga pemilik bangunan bisa menghemat biaya. Karena masa pakai kayu menjadi lebih lama, konsumsi kayu menjadi lebih sedikit dan pada gilirannya, penebangan hutan bisa dikendalikan.

Namun ahli pengawetan kayu itu mengakui, tidak mudah bagi masyarakat yang membutuhkan kayu yang sudah diawetkan (hers)

Sumber: Kompas, Rabu, 8 Mei 1996
——————
20160710_144142wProf Dr Dodi Nandika: Rayap Itu Menyenangkan

RAYAP menyenangkan? Dari panampilan, rayap pasti tidak tampak menyenangkan. Berukuran tubuh cuma sekitar 3 milimeter dengan berat 2,5 miligram, rayap lebih pantas disebut binatang lemah. Tubuhnya lunak, jalannya sangat lambat, mata pekerja dan tentaranya buta, laron (calon ratu dan raja rayap) bukan peterbang yang baik. Namun, di balik kelemahan itu tersimpan daya yang maha dahsyat yaitu ketika mereka berkelompok membentuk koloni.

”Taksiran kami, kerugian akibat rayap pada tahun 1998 hanya untuk bangunan rumah tinggal besarnya Rp 1,6 trilyun. Itu pun hanya dihitung dari kayu yang habis atau rusak dimakan rayap. Belum menghitung biaya tenaga kerja dan ongkos untuk mengganti kerusakan yang ditimbulkan serangan rayap,” tutur Prof Dr Dodi Nandika (48).

Namun, pengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB) itu tidak setuju bila rayap dianggap sebagai biang kerok perusak bangunan. Tingginya kerugian yang disebabkan rayap di atas, menurut Dodi, tidak lain karena ulah manusia juga yang mengubah keseimbangan lingkungan hidup dengan membuka lahan-lahan yang tadinya dipenuhi vegetasi menjadi kompleks-kompleks perumahan. Di Jakarta contohnya adalah kawasan Pondok Indah dan Bintaro. Tahun 1982 kerugian karena rayap baru Rp 100 milyar dan tahun 1990 diperkirakan Rp 300 milyar. Tahun 1992-1994 bisnis properti booming dan konsekuensinya adalah melonjaknya nilai kerugian pada tahun 1998.

Kerugian itu belum terhitung bangunan nonrumah tinggal, sebab sejumlah perkantoran sudah mengeluhkan rayap yang bisa merayap hingga ke lantai atas melalui lorong lift atau pipa pembuangan air kotor bangunan tinggi yang berhubungan dengan tembok.

”Tuhan menciptakan rayap sebagai makhluk yang mendekomposisi tumbuhan yang sudah mati sehingga terjadi siklus rantai makanan yang lestari. Bayangkan bila tidak ada rayap, tunggul kayu yang tumbang akan tetap menjadi tunggul. Begitu juga daun-daunan. Tanah menjadi miskin unsur hara karena tidak ada yang kembali lagi ke tanah,” kata Direktur Pusat Antar-Universitas Ilmu Hayat itu lagi.

Jadi, ketika keseimbangan kehidupan diganggu manusia, ketika lahan bervegetasi yang menyediakan tunggul kayu mati atau akar tumbuhan tua berubah menjadi perumahan, rayap yang lemah dan buta itu berjuang untuk mencari hidup. Maka, instingnya menuntun memakan kayu apa saja. Ketika yang ada di sekitar adalah kayu rumah, maka rayap pun merayap memakan kayu-kayu rumah.

MESKIPUN sekarang Dodi mengatakan meneliti rayap adalah hal mengasyikkan dan menyenangkan, membawanya berkali-kali ke fora ilmiah di dalam dan luar negeri, serta menjadikannya pakar rayap yang diakui pengetahuannya tetapi ia merasa terpaksa ketika mulai meneliti rayap 25 tahun lalu.

Pada tahun terakhir kuliahnya di IPB, ayah Dodi pensiun. Padahal IPB mensyaratkan mahasiswa membuat penelitian untuk lulus S1. Beasiswa Supersemar yang diterimanya saat itu tidak mencukupi untuk menutup biaya penelitian. Setelah mencari informasi kiri-kanan, ia menemui dosennya, Prof. Rudi Tarumingkeng. “Prof Tarumingkeng mengatakan, bila saya mau meneliti rayap bisa diikutkan dengan penelitian beliau,” kata suami dari Mimien Susiani dan ayah dari Citra, Adinda Nayunda, dan Syifa itu.

Karena tidak punya banyak pilihan, Dodi setuju. Mulailah ia berburu makhluk kecil lemah itu ke Gunung Walad yang merupakan hutan penelitian di bawah IPB. Ia juga mengamati tingkah laku rayap di kampus IPB Darmaga. ”Lama-lama saya menemukan rayap itu menyenangkan. Biarpun kecil dan lemah, rayap bisa merusak banyak hal,” kata Dodi.

Rayap pada dasarnya memakan semua hal yang mengandung selulosa. Bisa jadi itu berupa balok kayu, kertas, pakaian yang berbahan baku rayon, karpet bila dibuat dari kapas, sampai uang kertas.

Seekor rayap pekerja sangat rakus karena ia bisa makan sampai 0,32 miligram per hari, atau kira-kira seperdelapan berat tubuhnya. Bandingkan dengan manusia yang makannya mungkin cuma seperdua puluh berat tubuh. Jumlah makanan sebanyak itu dipakai sebagai sumber energi rayap itu sendiri, serta untuk memberi makan rayap tentara, ratu dan raja, serta larva yang baru menetas.

Konsistensinya pada penelitian rayap selama 25 tahun membawa Dodi pada sejumlah kemungkinan cara mengatasi serangah rayap. Penggunaan racun tidak menyelesaikan masalah, buktinya sampai sekarang rayap tetap menjadi masalah.

Akhirnya pilihan jatuh pada pengendalian hayati dengan mencari musuh alami. Setelah melihat kemungkinan penggunaan parasit, jamur dan predator, akhirnya pilihan jatuh pada penggunaan parasit.

“Laboratorium kami sedang mencoba mencari nematoda yang bisa menginfeksi rayap sehingga bisa membunuh rayap secara alami. Kalau sudah selesai dua-tiga minggu lagi, akan kami ajukan patennya ke Departemen Kehakiman,” kata Dodi.

Proses mencari nematoda –sejenis cacing bersel satu yang sebetulnya tardapat di mana-mana di sekitar kita– yang bisa menjadi musuh alami rayap (terutama untuk rayap dengan sarang bukit) dimulai dengan mengumpulkan dari alam, menyeleksi, membiakkan, baru mencobakan pada rayap. Hasilnya, ada dua nematoda yang memberi hasil memuaskan dalam penelitian laboratorium.“Meskipun lambat,tetapi kelihatannya bisa mengendalikan rayap dengan lebih baik dibandingkan bahan kimia yang bisa mencemari lingkungan,” kata Dodi.

TEMUAN lain yang sedang dalam tahap dipatenkan adalah teknologi penandaan (marking) pada rayap. Dengan cara penandaan ini bisa diketahui sebaran dan kecepatan serangan rayap pada suatu wilayah.

Suatu bangunan yang diserang rayap, biasanya sudah ”dikepung” oleh koloni rayap tanah yang hidup di dalam tanah dan tidak terlihat dari permukaan. Untuk menghentikan serangan itu, perlu pengukuran sebaran dan kecepatan gerak rayap. Maka Dodi menggunakan apa yang disebutnya metoda penangkapan dan penandaan tiga tahap. Pada tahap pertama rayap ditangkap, diberi penanda (warna biru), dilepas. Tahap kedua dilakukan hal yang sama, dan yang tertangkap ada rayap yang sudah berwarna biru dan belum berpenanda. Dengan pengerjaan hal itu tiga tahap dan menggunakan hitungan matematik sederhana diketahui sebaran dan kecepatan gerak rayap. Dari Situ lalu dibuat skenario pelumpuhan serangan rayap itu.

Penandaan itulah yang yang akan dipatenkan Dodi. ”Kami harus mencari bahan kimia dari tumbuhan alami yang bisa memberi warna tetapi tidak membuat rayapnya mabuk, tidak nyaman, atau bahkan mati,” kata Dodi yang tuIisannya sudah dimuat di majalah ilmiah antara lain seperti Journal of Socialbiology dari Jepang dan International Journal of Tropical Agriculture.

Meskipun sudah lebih 20 tahun belajar rayap dan mendapatkan pengakuan internasional untuk pengetahuannya mengenai rayap di Indonesia, tetapi Dodi berulang kali selalu mengatakan ia masih terus belajar. Mungkin Dodi tidak mengada-ada, mengingat di seluruh dunia ada 2.500 jenis rayap, 200 di antaranya ada di Indonesia. Dari jumlah itu, hanya 10 persen saja yang diketahui menimbulkan kerusakan pada tanaman maupun kayu pada komponen bangunan.

Selain itu, Dodi pun baru mempelajari efek merugikan, sementara rayap punya efek lain yang menguntungkan. Sebut saja potensinya sebagai sumber protein yang lebih baik dibandingkan kedelai.

”Saya sudah belajar tentang rayap lebih dari 20 tahun, tetapi baru kira-kira setahun lalu saya tahu rayap disebut dalam Al Quran dan Injil,” kata Dodi lagi. Buat Dodi itu artinya, ia harus terus belajar tentang makhluk kecil, lemah dan buta yang bisa menimbulkan kerusakan dalam skala besar. (ninuk mardiana pambudy)

Sumber: Kompas, Rabu, 10 Mei 2000

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 48 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB