Hujan lebat ekstrem yang memicu banjir dan longsor di sejumlah lokasi baru-baru ini disebabkan suplai awan hujan terus-menerus dari Samudra Hindia barat Sumatera. Fenomena osilasi Madden-Julian dan gelombang Kelvin memicu gangguan itu.
”Osilasi Madden-Julian (MJO) dan gelombang Kelvin bergerak dari barat ke timur di wilayah garis ekuator atau tropis. Kedua fenomena ini menjadikan anomali angin baratan pada musim hujan baru-baru ini,” kata Manajer Laboratorium Teknologi Sistem Kebumian dan Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Fadli Syamsudin, Rabu (22/1), di Jakarta.
Anomali angin baratan atau monsunal pada musim hujan ditandai dengan hujan turun beberapa hari. Intensitas hujan tinggi sehingga menimbulkan banjir dan longsor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fadli mengatakan, kedua gelombang itu saat ini mencapai garis ekuator di wilayah Samudra Pasifik. Keadaan ini meredakan hujan ekstrem yang bersifat regional. Pekan depan, diperkirakan kondisi ini mengurangi intensitas curah hujan, terutama di wilayah Indonesia bagian barat.
”Hujan lebat masih akan terjadi karena kini masuk musim hujan. Tapi, hujan itu bersifat lokal,” kata Fadli. Ciri hujan lokal terjadi siang menjelang sore. Adapun hujan ekstrem bersifat regional terjadi mulai malam hingga pagi hari.
Gelombang Kelvin merupakan gelombang planeter atmosfer akibat pola pemanasan di lapisan troposfer ekuatorial. Gelombang ini memicu MJO yang menyebabkan konveksi atau penguapan di lintas ekuatorial Samudra Hindia.
Baru-baru ini akumulasi hasil penguapan di wilayah Samudra Hindia barat Sumatera bergerak memasuki benua maritim Indonesia. Ini berubah menjadi awan hujan yang ekstrem.
Alan Fredy Koropitan, Direktur Pusat Studi Oseanografi dan Teknologi Kelautan Universitas Surya di Serpong, Tangerang Selatan, mengatakan, dinamika atmosfer terpicu dinamika kelautan. Dampak perubahan iklim yang meningkatkan suhu permukaan laut menyebabkan terjadinya sistem tekanan rendah di udara atau atmosfer.
”Suhu permukaan laut, yang makin panas menjadi sumber energi dinamika atmosfer, menyebabkan badai,” kata Alan. (NAW)
Sumber: Kompas, 23 Januari 2014