Diah Satyani Saminarsih belajar sampai S-2 di bidang psikologi di Amerika, lalu bekerja di perusahaan konsultan untuk mendalami komunikasi strategis dan restrukturisasi korporat. Kini, ia menduduki posisi direktur (di bawah direktur jenderal) di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang berkedudukan di Geneva. Bagaimana perjalanan Diah hingga posisi tersebut?
Jika orang menelusuri, tampaklah bahwa keterlibatan Diah pada masalah kesehatan tumbuh dan menguat saat dirinya menjadi Asisten Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs (Millennium Development Goals) Nila F Moeloek pada tahun 2010-2014. Di sinilah, selain diasah kecakapannya menuntaskan tugas, kreativitasnya berkembang pesat. Dua inisiatif yang patut dicatat selama di Kantor Utusan Khusus Presiden RI (KUPRI) adalah MDG Awards dan Pencerah Nusantara.
MDG Awards memberikan penghargaan kepada individu, korporasi, ataupun birokrasi (pemerintah provinsi, pemerintah kota, dan pemerintah kabupaten) yang berprestasi dalam upaya pencapaian MDGs yang terdiri atas delapan sasaran. Selain pemberantasan kemiskinan dan memajukan pendidikan, kesehatan menjadi sasaran penting, yakni mengurangi tingkat angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, serta memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari keterlibatan dalam program MDGs ini pula, Diah mendapat jalan untuk mengembangkan minat dan kemampuan dalam pencapaian sasaran kedelapan MDGs, yakni pengembangan kemitraan global untuk pembangunan.
Pencerah Nusantara adalah program yang dirancang dan dipimpin Diah untuk menerjunkan dokter-dokter muda dalam tugas pengabdian di tujuh daerah terpencil di wilayah timur dan barat Indonesia.
Ketika MDGs menjelang berakhir, Diah juga terlibat dalam sejumlah prakarsa strategis dalam proses Agenda Pembangunan Pasca-2015 yang lalu dikenal sebagai SDGs (Sustainable Development Goals) yang berisi 17 sasaran untuk mentransformasi dunia.
Dinilai berhasil dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, Diah pun diangkat sebagai Staf Khusus Menteri Kesehatan ketika Prof Nila Moeloek diangkat sebagai Menteri Kesehatan dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo tahun 2014. Mengamati aktivitasnya selaku Staf Khusus, Diah banyak terlibat aktif dalam program kerja sama internasional.
Dari sini pula tampaknya reputasi Diah mulai dilirik oleh WHO. Sebelum itu, Diah juga memprakarsai program Nusantara Sehat untuk meluaskan tersedianya layanan kesehatan primer di daerah terpencil.
Tidak ada acara pelantikan khusus pada 29 Januari lalu karena memang tidak ada tradisi. Tapi sejak tanggal itu Diah memulai tugasnya sebagai Direktur/Penasihat Direktur Jenderal. Diah membidangi masalah kepemudaan dan jender dan bertugas untuk mengangkat kedua isu tersebut menjadi isu utama (mainstream).
Menduduki posisi ini, selain merasakan adanya tanggung jawab yang berat, Diah juga melihatnya sebagai satu kehormatan, dari kacamatanya sebagai perempuan Indonesia yang mencapai kedudukan setinggi itu di badan dunia.
Ini tentu satu lompatan yang jauh—dan boleh jadi tak pernah ia impikan—mengingat sekembali dari studi di Seattle, AS, Diah mulai bekerja sebagai konsultan manajemen untuk membenahi manajemen PT PLN Distribusi Jaya dan Tangerang.
Kini, apa yang ingin ia perjuangkan saat duduk membantu Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus asal Etiopia?
”Akses, paritas (kesetaraan), dan partisipasi (perempuan dan pemuda),” jawab Diah dari Geneva, pekan lalu. Partisipasi ia anggap penting karena perempuan dan pemuda adalah penggerak untuk perubahan. Tujuannya adalah agar bias jender hilang dan perempuan bisa lebih terlibat di tingkat pengambilan kebijakan dan pengambilan keputusan untuk bidang kesehatan.
Adapun soal akses, Diah bertekad memperjuangkan untuk mereka yang tinggal jauh dari fasilitas dan layanan kesehatan. Di luar itu, ada program sekuriti juga, terutama untuk perempuan dan pemuda yang tinggal di daerah konflik dan rawan bencana.
Mentor
Untuk pemahamannya tentang permasalahan kesehatan, dari era MDGs hingga SDGs, Diah merasa berutang banyak kepada Menteri Kesehatan Nila Moeloek yang selama periode MDGs sering mengajaknya dalam banyak acara internasional, lalu mengangkatnya sebagai staf khusus. ”Ibu Nila-lah yang menjadi mentor dan pembimbing saya tanpa kenal lelah selama tahun-tahun terakhir ini,” ujar Diah.
Melalui mentoring itu wawasan Diah terbuka, bahwa masalah kesehatan sumbernya hampir selalu kemiskinan dan ketidaktahuan. Dampak negatif dari keduanya paling cepat terlihat pada manusia dan status kesehatannya.
Saat ditanya tentang masalah di Papua, Diah berpandangan, untuk menyelesaikan masalah di Papua butuh intervensi holistik lintas sektor dengan spektrum luas, mulai dari kesehatan, sosial ekonomi, tata kelola pemerintahan, khususnya dialog pusat daerah, akses infrastruktur, hingga akses informasi.
Dalam kaitan dengan Nusantara Sehat, program yang Diah juga menjadi sosok penting di belakangnya, walaupun entry-point-nya adalah kesehatan, anggota tim dilatih untuk menjalin kolaborasi lintas sektor di daerah penempatan. Nusantara Sehat adalah program strategis yang diprioritaskan oleh Kementerian Kesehatan yang dirancang untuk memperkuat sistem layanan kesehatan.
Setelah sempat terperangkap dalam jadwal padat bolak-balik Jakarta-New York (markas PBB) untuk merundingkan berbagai isu kemitraan dan kerja sama internasional, kini Diah sementara waktu mesti bertekun di Geneva.
Amanah yang kini ia jalani ia lihat sebagai ibadah. Kepada kedua anaknya, ia menekankan bahwa ibu mereka sedang menjalankan tugas kemanusiaan untuk kesehatan orang banyak. Sesuai SDGs, Program Kerja Global ke-13 WHO adalah ”tiga miliar orang lagi harus diselamatkan hidupnya”.
Ya, jangan ada satu orang pun yang tertinggal.
NINOK LEKSONO
Sumber: Kompas, 28 Februari 2018