Saat ini masyarakat Indonesia tengah mendapat ujian dengan berbagai krisis yang melanda. Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja tahun lalu mengatakan, Indonesia sedang menghadapi tiga bentuk krisis: krisis ekonomi, politik dan lingkungan, yang pada kenyataannya bertambah lagi dengan krisis kepercayaan.
Krisis lingkungan saat ini amat terasa dengan meledaknya kasus DBD (demam berdarah dengue). Seperti diketahui ada dua jenis penyakit DBD DHF (dengue hemorrhagic fever) dan DSS (dengue shock syndrome).
Bedanya adalah, DHF menyebabkan penderitanya mengalami perdarahan atau hemorrhagic. DSS adalah manifestasi lanjutan dari perdarahan yang mengakibatkan sindrom renjatan (shock).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sudah banyak diulas tentang penyebab DBD yaitu Flavivirus Dengue 1, Dengue 2, Dengue 3, dan Dengue 4 yang disebarkan oleh vektor nyamuk Aedes aegypti.
Tidak ada obat penyakit DBD ini kecuali tindakan pencegahan renjatan (shock prevention) DBD dan penggantian cairan dan trombosit yang hilang karena perdarahan. Juga belum ada vaksin yang mengandung antigen keempat dengue tersebut yang aman dan efektif untuk manusia. Maka pemberantasan DBD paling efektif adalah memberantas vektor nyamuk yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Pada nyamuk
Kondisi lingkungan yang tidak bersahabat terhadap virus dan nyamuk Aedes aegypti, mengakibatkan penyakit ini makin ganas. Adanya perubahan iklim global baik oleh El Nino maupun oleh kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) telah mangakibatkan perubahan suhu dan ketidakteraturan musim hujan, yang mepengaruhi kelembaban.
Di negara tropis seperti Indonesia, perubahan suhu ini sangat dirasakan oleh makhluk hidup selain manusia, sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem. Habitat nyamuk Aedes aegypti di daerah urban pun terpengaruh. Nyamuk betina yang sudah siap mengeluarkan telurnya, dengan semakin sulitnya mencari genangan air bersih membuat dia segera mengeluarkan telur yang ratusan jumlahnya itu dalam waktu singkat begitu menemukan air bersih.
Mengetahui keberadaan genangan air bersih tidak akan lama dalam kondisi kekeringan ini, maka telur nyamuk pun menyesuaikan diri dengan menetas lebih cepat. Memang tidak semua nyamuk Survive dalam tekanan ini. Namun seekor induk nyamuk betina dapat menelurkan ratusan ovi (telur). Bila jumlah induknya jutaan dapat dibayangkan multiplikasi talur yang survive.
Dengan angka kenservatif 10-20 persen, jumleh nyemuk yang dapat keluar dari tekanan alam tetap besar. Nyamuk-nyamuk ini akan sangat aktif untuk mempertahankan hidupnya. Ia bisa hidup sampai tiga bulan dan terbang sampai dengan 500 meter. Artinya dengan perubahan suhu, nyamuk ini menjadi lebih efisien dsn ”siap pakai” sebagai penyebar virus dengue.
Pada virus
Dengan adanya 4 sterotipe virus dengue dsn lebih dari 30 topotipe virus dengue maka virulensi atau keganasan virus ini juga beragam. Laboratorium canggih CDC Amerika di Puerto Rico yang ditetapkan sebagai Dengue Reference Laboratory atau Pusat Rujukan Laboratorium Dunia untuk Dengue, berhasil mengisolasi delapan topotipe virus Dengue 1 dari wabah yang pernah terjadi di Negara-negara endemis dengue yaitu Filipina, Malaysia, Thailand, Indonesia, Amerika Latin, India Sri Lanka, dan Kepulauan Pasifik.
Dengan makin baiknya transportasi udara, bukan tidak mungkin orang dalam kondisi viremia dengue dari Amerika latin atau negara endemis lainnya berkunjung ke Indonesia. Virus ini dapat tersebar di Indonesia dengan keganasan yang mungkin berbeda pada panderita karena adanya faktor genetik manusia dan lingkungan yang berbeda.
Munculnya, banyak topotipe keempat virus dengue ini juga menyesuaikan diri dengan kondisi alam yang tidak bersahabat. Alam dalam konteks virus dengue adalah iklim, lingkungan nyamuk pembawanya, dan penderitanya.
Semua ini, termasuk fenomena El Nino, saling berinteraksi. Akibatnya virus dengue yang tidak menghasilkan epidemik/ KLB (kejadian luar biasa) Iambat laun hilang dan digantikan oleh virus yang dapat mengakibatkan KLB. Seleksi alam dengue juga terjadi dalam menghadapi krisis lingkungan.
Pada masyarakat
Krisis ekonomi membuat bisnis ban bekas makin marak. Padahal, air hujan yang tertampung di ban bekas itu sangat baik untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti. Penggunaan plastik, kaleng, plus membuangnya dengan sembarangan, menambah rumitnya pekerjaan masyarakat Indonesia untuk memberantas penyakit ini.
Sementara sistem di masyarakat yang lebih banyak top-down membuat inisiatif tindakan preventif tidak jalan. Akibatnya, pemberantasan sarang nyamuk baru dilakukan setelah kasus meledak. Memang tugas yang sangat berat untuk mengubah semuanya itu, tetapi tak ada jaIan lain kalau mau kasus DBD menurun.
Wiku Adisasmito, doktor dan staf pengajar FKM UI
Sumber: Kompas, Rabu, 29 April 1998