Kelelawar berburu mangsa pada malam hari, tetapi bagaimana satwa liar itu dapat memburu mangsa menarik perhatian ilmuwan. Penelitian menunjukkan, kelelawar menggunakan daun sebagai reflektor atau cermin untuk menemukan mangsanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS–Pulau Myoskun, kira-kira sejam perjalanan dari Pelabuhan Waisai, Waigeo, Raja Ampat, menjadi rumah peniki atau kelelawar. Foto diambil pada 20 Juni 2014.
Penelitian itu berjudul “Kelelawar Secara Aktif Menggunakan Daun sebagai Reflektor Specular untuk Mendeteksi Mangsa Yang Tersamar Akustik”. Penelitian dimuat dalam jurnal Current Biology 1 Agustus 2019 yang juga dipublikasikan Science Daily. Penelitian dilakukan tim ilmuwan Institut Penelitian Tropis Smithsonian di Republik Panama.
Dalam jurnal disebutkan, tim ilmuwan meneliti kelelawar bertelinga besar, Micronycteris microtis di Pulau Barro Colorado, Panama. Kelelawar jenis ini memakan berbagai jenis serangga, laba-laba, dan kadang-kadang kadal kecil. Untuk rekonstruksi jalur terbang kelelawar yang mendekati mangsa, tim menangkap empat ekor kelelawar jantan dewasa dengan jaring dekat dengan sarangnya. Tim merekam aktivitasnya di kandang terbang di hutan pulau itu.
Untuk mengukur gema yang dipantulkan dari mangsa pada daun tiruan, tim menggunakan sonar biomimetik. Sebagai mangsa, peneliti menggunakan spesimen capung Sympetrum fonscolombii.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelelawar dengan bantuan reflektor daun dapat menggunakan indra keenam untuk menemukan mangsa yang disamarkan secara akustik.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA–Peneliti kelelawar sedang menyiapkan jaring untuk menjebak kelelawar di Pulau Enggano, Bengkulu, April 2015. Ia merupakan bagian dari tim peneliti Eksplorasi Bioresources Indonesia 2015 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
“Selama bertahun-tahun, hal itu dianggap sebagai ketidakmungkinan bahwa kelelawar mampu menemukan mangsa yang diam dan tak bergerak di atas daun,” kata Inga Geipel, peneliti Institut Penelitian Tropis Smithsonian, seperti dikutip Science Daily.
Kelelawar memiliki kekuatan super yang tidak dimiliki manusia. Kelelawar mampu “membanjiri” suatu daerah dengan gelombang suara dan kemudian menggunakan informasi dari gema yang kembali untuk menavigasi melalui lingkungan. Daun sangat memantulkan sinyal gema, menutupi gema yang lebih lemah dari serangga yang sedang beristirahat. Jadi di dedaunan lebat hutan tropis, gema dari daun dapat bertindak sebagai mekanisme penyelubungan alami bagi serangga, yang dikenal sebagai kamuflase akustik.
Berdasarkan percobaan ini, Geipel dan rekan-rekannya memperkirakan bahwa kelelawar harus mendekati serangga yang sedang beristirahat pada daun dari sudut antara 42 dan 78 derajat, sudut optimal untuk membedakan apakah daun memiliki serangga di atasnya atau tidak.
“Studi ini mengubah pemahaman kita tentang potensi penggunaan ekolokasi. “Ini memiliki implikasi penting untuk studi interaksi predator-mangsa dan untuk bidang ekologi sensorik dan evolusi,” kata Geipel.
Penelitian tentang kemampuan ekolokasi ini sebelumnya dilakukan Nadav Bar dan rekan-rekan dari Universitas Sains dan Teknologi Norwegia yang dimuat dalam jurnal PLOS Biology 28 Januari 2015. Penelitian mereka berjudul “Model Sensorik-Motorik Kontrol Penerbangan Hewan Menjelaskan Mengapa Kelelawar Terbang Berbeda dalam Terang Versus Gelap”.
Tim peneliti menemukan, setiap malam kelelawar terbang 600-700 kilometer. Ketika terbang rendah, kelelawar menangkap serangga dengan kecepatan sekitar 40 meter per detik. Pada malam hari kelelawar menggunakan pendengarannya untuk menavigasi jalan menuju mangsa.
Kelelawar menangkap serangga secara terus menerus menggunakan ekolokasi, suatu sistem navigasi canggih. Kelelawar memancarkan gelombang ultrasonik dengan frekuensi sangat tinggi. Panggilannya bernada di 20-100 kilohertz, frekuensi yang terlalu tinggi untuk didengar manusia secara alami. Suara mereka tercermin di lingkungan, memukul berbagai benda dan kembali ke kelelawar sebagai gema. Sinyal gema memungkinkan kelelawar untuk membentuk peta mental di sekitarnya.
KOMPAS–Muhidin (34), sedang mencangkul lapisan kotoran kelelawar di dalam sebuah goa di Desa Sawapudo, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Minggu (23/10/2011).
“Anda dapat membandingkan ekolokasi dengan lampu kilat di ruangan yang gelap. Lampu kilat mengenai berbagai objek di ruangan yang menyala dan dipantulkan kembali ke mata pengamat. Kelelawar menggunakan suara dengan cara yang sama untuk mendapatkan gambaran lingkungan, tetapi sumber kesalahan potensial jauh lebih besar ketika menggunakan suara,” kata Nadav Bar, seperti dikutip Science Daily 19 Juni 2015.
Oleh SUBUR TJAHJONO
Sumber: Kompas, 2 Agustus 2019