Daoed Joesoef Tinggalkan Pemikiran

- Editor

Kamis, 25 Januari 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Selama menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef meletakkan dasar-dasar kebijakan yang masih diterapkan hingga saat ini. Salah satunya, antipolitik praktis di perguruan tinggi.

Jenazah mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Daoed Joesoef, dikebumikan hari Rabu (24/1) di Tempat Permakaman Umum Giri Tama, Tonjong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Daoed yang meninggal pada Selasa malam di Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan, dikenang sebagai sosok pemikir kritis. Kiprah dan gagasannya yang terentang dari zaman Belanda, Jepang, kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi selalu relevan bagi bangsa ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bagiono Djokosumbogo, salah satu sahabat yang terakhir berdiskusi dengannya, mengatakan, pemikiran Daoed masih tajam meski dalam kondisi kritis. Mendikbud periode 1978-1983 itu dirawat sejak Sabtu (20/1). Ia menderita penyakit jantung sejak beberapa tahun lalu.

”Pak Daoed tengah menulis tentang multidisipliner dan pluridisipliner (pada sistem pendidikan nasional), tetapi belum selesai,” kata Bagiono, Rabu, seusai acara pemakaman secara militer yang dipimpin Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Daryanto.

Diskusi singkat itu menyiratkan bahwa Daoed memang tak pernah menyerah pada usia. Ia terus berpikir dan menuliskan idenya mengenai pendidikan dan kebangsaan hingga akhirnya ajal menjemput pada usia 91 tahun.

Sebelum dimakamkan, jenazah disemayamkan di kediamannya, Jalan Bangka VII Dalam Nomor 14, Jakarta Selatan. Beberapa tokoh hadir memberikan penghormatan terakhir. Mereka di antaranya Wakil Presiden Jusuf Kalla; Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo; Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan; ekonom Sri Edi Swasono dan istri, Meutia Hatta.

Tak ketinggalan rekan-rekannya sesama pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), seperti Jusuf Wanandi, Sofjan Wanandi, dan Harry Tjan Silalahi.

Kalla mengatakan, Daoed merupakan sosok pengabdi pendidikan baik dalam posisi sebagai pejabat maupun pemikir. ”Sampai akhir hayatnya, kita masih bisa membaca karya-karyanya baik di bidang pendidikan maupun kehidupan kebangsaan. Almarhum menulis hal-hal yang sangat bermutu dan menginspirasi,” ujarnya.

Kontroversi
Semasa jadi Mendikbud, Daoed lebih bertindak selaku pendidik daripada ”sekadar” sebagai pembantu presiden. Dilandasi intelektualitas, ekonom lulusan Universite de Paris I, Pantheon- Sorbonne, Perancis, ini coba meluruskan peran kampus. Salah satu kebijakannya yang tak populer adalah Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Hal itu menuai kontroversi karena dianggap mematikan daya kritik mahasiswa.

Dalam sebuah wawancara tahun 2016, Daoed mengatakan, niatnya pada masa itu untuk mengembalikan kampus sebagai komunitas intelektual. Ia menilai, pada masa-masa awal Orde Baru itu, kampus jadi panggung politik praktis. Aktivitas mahasiswa rawan ditunggangi kepentingan luar kampus. ”Silakan mengkaji politik, tetapi tidak untuk berpolitik praktis. Kalau riuh terus, kapan mahasiswa belajar dengan baik?” ujarnya (Kompas, 8/8/2016).

Pengamat pendidikan Doni Koesoema menilai, NKK/BKK relevan dengan kondisi kekinian, di mana kampus kini cenderung tidak steril dari politik praktis. ”Termasuk, fenomena gerakan radikal yang sekarang tengah diatasi pemerintah bersama para rektor,” ujarnya.

Harry mengatakan, melalui NKK/BKK, Daoed ingin sivitas akademika untuk mengembangkan politik secara akademik. Hal itu tak lepas dari kekhawatiran Daoed terhadap masuknya pengaruh partai politik yang berdampak langsung pada independensi mahasiswa. ”Kampus itu organisasi intelektual, bukan organisasi massa,” katanya.

Menurut dia, Daoed menghendaki sivitas akademika berpikir bebas dan bersikap kritis terhadap semua hal. Namun, sikap itu tak pantas dilakukan jika mereka berada di bawah pengaruh parpol. Apalagi, sebagian besar organisasi mahasiswa saat itu merupakan underbouw parpol.

”Sayangnya, pemikiran itu hadir terlalu cepat. Daoed memang kerap mendahului orang-orang sezamannya,” kata Harry.

Menurut dia, gagasan anti politik praktis di dalam lembaga pendidikan merupakan ide yang telah lama dicetuskan Daoed. Bahkan, hal itu tecermin dari pilihannya untuk tidak mengikuti organisasi politik semasa kuliah.

Bagiono, yang menjabat Sekretaris Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Perancis tahun 1960-an, mengatakan, perhatian pada perjalanan bangsa ini sudah ditunjukkan oleh Daoed dengan keterlibatannya pada kegiatan PPI Perancis pada 1966. Kala itu, diadakan konferensi untuk seluruh PPI di Eropa yang bertajuk ”Menumbangkan Mahasiswa Komunis di Eropa”.

Daoed saat itu mewakili mahasiswa untuk memberi pidato. Pidatonya tentang konsep pembangunan pendidikan nasional yang ia terapkan selama ini,” kata Bagiono.

Secara terpisah, praktisi pendidikan Mohammad Abduhzen menyatakan, pengembangan nalar menjadi pesan yang sangat kuat dari Daoed. Hal itu relevan dengan kondisi saat ini.

Sementara itu, pegiat pendidikan keluarga dan pendiri Komunitas Menata Keluarga (Emkaland), Melly Kiong, merasakan dukungan Daoed untuk memperkuat peran keluarga dalam membentuk anak-anak bangsa yang hebat. Melly, yang di hadapan Daoed menyebut dirinya hanya seorang ibu rumah tangga, mendapat suntikan semangat dari Daoed untuk memperkuat peran ibu dan ayah di rumah dalam mendidik karakter anak.

”Semasa hidupnya, Pak Daoed mendukung komunitas kami yang menguatkan keluarga Indonesia,” katanya.

Menantu Daoed, Bambang Pharmasetiawan, menuturkan, sang ayah mertua juga terinspirasi dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara, Menteri Pengajaran (pertama) RI.

Semasa mereguk ilmu di Sorbonne (1964-1973), suami dari Sri Soelastri ini sudah menyusun sejumlah konsep penyelenggaraan negara dengan pendekatan multidisipliner. Konsep itu terdiri dari pembangunan ekonomi nasional, pertahanan keamanan, dan pembangunan pendidikan.

Pada masa itu pula, Daoed yang berdarah Aceh kelahiran Medan, Sumatera Utara, 8 Agustus 1926, berhasil mengajak UNESCO untuk membiayai pemugaran Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Di mata Daoed, Borobudur menunjukkan bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa ecek-ecek. Jauh sebelum kemerdekaan, bangsa ini sudah mampu membangun sesuatu yang kompleks seperti Borobudur. Di sana ada nilai arkeologis, historis, spiritual, budaya, keilmuan, ekonomi, dan politik. (DD01/ELN/KSP/NAR)

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Sumber: Kompas, 25 Januari 2018
——————–
Mengenang Sang Guru Bangsa Daoed Joesoef

KURNIA YUNITA UNTUK KOMPAS–Suasana pemakaman Daoed Joesoef di Tempat Permakaman Umum Giri Tama, Tonjong, Kabupaten Bogor, Rabu (24/1).

Menjelang ajal menjemput tokoh pendidikan Daoed Joesoef masih mendiskusikan gagasan mengenai multidisipliner dan puridisipliner. Menurut Bagiono Djokosumbogo, salah satu sahabat yang terakhir berdiskusi dengannya, pikiran Daoed masih tajam meski dalam kondisi kritis.

“Pak Daoed tengah menulis tentang multidisipliner dan pluridisipliner (pada sistem pendidikan nasional), tetapi belum selesai,” kata Bagiono, Rabu (24/1), ketika ditemui seusai pemakaman Daoed di Tempat Permakaman Umum Giri Tama, Tonjong, Kabupaten Bogor. Pemakaman Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1978-1983 itu dilakukan secara militer. Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Daryanto bertindak sebagai inspektur upacara.

Diskusi dalam beberapa menit itu membuktikan bahwa Daoed tak pernah menyerah pada usia. Ia terus berpikir dan menuliskan ide-idenya mengenai pendidikan dan kebangsaan. Meskipun akhirnya Tuhan memanggilnya pada usia 91 tahun.

KURNIA YUNITA RAHAYU–Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983) Daoed Joesoef dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Giri Tama, Tonjong, Kabupaten Bogor, Rabu (24/1/2018). Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Daryanto bertindak sebagai inspektur upacara.

Daoed mengembuskan napas terakhir Selasa pukul 23.55 di ruang ICCU Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Lelaki kelahiran Medan, Sumatera Utara, 8 Agustus 1926 itu dirawat sejak Sabtu (20/1). Ia telah mengidap penyakit jantung selama beberapa waktu terakhir.

Sebelum dimakamkan, jenazah disemayamkan di kediamannya di Jalan Bangka VII Dalam Nomor 14, Jakarta Selatan. Beberapa tokoh hadir untuk memberikan penghormatan terakhir kepadanya. Mereka di antaranya Wakil Presiden Jusuf Kalla, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo. Ekonom Sri Edi Swasono dan politisi Meutia Hatta. Selain itu, hadir rekan-rekannya sesama pendiri Center for Strategic and International Studies (CSIS) seperti Jusuf Wanandi, Sofjan Wanandi, dan Harry Tjan Silalahi.

Menantu almarhum, Bambang Pharmasetiawan nengatakan, opini mengenai multidisipliner, pluridisipliner, dan linearitas dalam sistem pendidikan nasional memang telah lama dirancang oleh Daoed. Namun, pengerjaannya dikesampingkan karena ada ide yang menurut dia lebih mendesak. Adapun kedua ide tersebut diterbitkan Kompas, Kamis (30/11), Strategi Kebudayaan dan Sabtu (23/12), Kidung Natal.

Sampai akhir hayatnya, kita masih bisa membaca karya-karyanya baik di bidang pendidikan maupun kehidupan kebangsaan. Almarhum menulis hal-hal yang sangat bermutu dan menginspirasi

Jusuf Kalla mengakui, Daoed merupakan sosok pengabdi pendidikan baik dalam posisi sebagai pejabat maupun pemikir. “Sampai akhir hayatnya, kita masih bisa membaca karya-karyanya baik di bidang pendidikan maupun kehidupan kebangsaan. Almarhum menulis hal-hal yang sangat bermutu dan menginspirasi,” ujar Kalla.

Hidup untuk pendidikan
Meski menekuni disiplin ilmu ekonomi sejak kuliah sarjana di Universitas Indonesia, 1959, hingga magister dan doktoralnya di Universite de Paris I, Pantheon-Sorbonne, Perancis, 1973, Daoed mengabdikan dirinya untuk pendidikan. Pakar pendidikan Arief Rahman mengatakan, Daoed merupakan ekonom yang memahami betul ihwal filsafat pendidikan. Oleh karena itu, ia berpegang pada hakikat bahwa pendidikan tidak bisa dipecah ke dalam beberapa disiplin, melainkan sebuah kesatuan.

Menurut Harry Tjan Silalahi, kecintaan Daoed kepada pendidikan telah muncul sejak belia. Ibunya merupakan seorang berjiwa pendidik yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas, namun tetap berusaha menyekolahkan anaknya hingga jenjang tinggi. Profesi ibunya juga membuat Daoed terbiasa mendapatkan dam meminta pelajaran tambahan.

Kecintaan Daoed kepada pendidikan telah muncul sejak belia. Ibunya merupakan seorang berjiwa pendidik yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas, namun tetap berusaha menyekolahkan anaknya hingga jenjang tinggi

Selain itu, kata Bambang, ayah mertuanya juga pernah belajar langsung dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pertama Ki Hajar Dewantara. Ia pun semakin gandring pada pendidikan, karena menurutnya, Indonesia memiliki terobosan yang amat maju. Melalui pemikiran Ki Hajar yang mewujud pada Taman Siswa, Indonesia telah memiliki konsep pendidikan nasional sebelum meraih kemerdekaan.

Selain Ki Hajar, tokoh yang menjadi panutan Daoed adalah Wakil Presiden Indonesia pertama Mohammad Hatta. Menurut Bambang, Daoed mengagumi kesederhanaan Bung Hatta. Selain itu, Bung Hatta juga seorang penganjur pembangunan pendidikan. Organisasi pergerakan pertama yang dibangun Bung Hatta pun bertujuan pendidikan, yaitu Pendidikan Nasional Indonesia (PNI).

Takdir Daoed untuk mengabdi pada pendidikan semakin kuat ketika lulus dari studi doktoral 1970-an. Ketika kembali ke Indonesia, ia dipanggil oleh Bung Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX ke rumah Hatta. “Bung Hatta memesankan kepada Daoed untuk mengembangkan pendidikan,” kata Sri Edi Swasono, menantu Bung Hatta sekaligus Ketua Majelis Luhur Taman Siswa.

Tak lama setelah mendapatkan panggilan tersebut, Daoed didaulat menjadi Mendikbud oleh Presiden Soeharto. Selama lima tahun menjabat, Daoed meletakkan dasar-dasar kebijakan yang masih diterapkan hingga saat ini.

Antipolitik praktis di universitas
Salah satu kebijakan Daoed yang masih bertahan hingga saat ini, yaitu Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Ketika baru diterapkan, NKK/BKK mendapatkan tentangan dari para akademisi. Gabungan mahasiswa dan dosen memobilisasi gerakan untuk menentang pemerintah.

“Saya salah satu yang menentang waktu itu, dengan memimpin demonstrasi mahasiswa dari Rawamangun,” kata Arief. Pada tahun 1978, ia menjabat sebagai Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan IKIP Jakarta.

Saya dan Pak Sri Edi sempat masuk kampus kuning (penjara) di Tajimalela, Bekasi. Namun dari situ saya sadar bahwa apa yang dipikirkan Pak Daoed itu benar

Penangkapan itu berbuah pemenjaraan. “Saya dan Pak Sri Edi sempat masuk kampus kuning (penjara) di Tajimalela, Bekasi. Namun dari situ saya sadar bahwa apa yang dipikirkan Pak Daoed itu benar,” ujar Arief.

Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1973 Sismulyanda Barnas mengatakan, mahasiswa khawatir kebebasannya terkekang dengan penerapan NKK/BKK. Kala itu, mahasiswa terbiasa dengan sistem student government (dewan mahasiswa) yang boleh terlibat politik praktis. Salah satu contohnya, gerakan mahasiswa ikut mengambil peran menumbangkan Presiden Soekarno pada 1966. Selain itu, mereka juga menggalang kekuatan untuk melakukan gerakan Malari 1974.

KURNIA YUNITA UNTUK KOMPAS–Menantu Daoed Joeseof Bambang Pharmasetiawan.

“Sekarang saya sadar, Pak Daoed telah membuat perubahan besar yang manfaatnya nyata,” ucap Sismulyanda. “Generasi kami terlalu sering demonstrasi sehingga prestasi akademiknya jeblok. Pemikir besar baru hadir setelah NKK/BKK diterapkan, salah satunya Menteri Keuangan Sri Mulyani,” tambahnya.

Generasi kami terlalu sering demonstrasi sehingga prestasi akademiknya jeblok. Pemikir besar baru hadir setelah NKK/BKK diterapkan, salah satunya Menteri Keuangan Sri Mulyani

Harry Tjan menjelaskan, melalui NKK/BKK, Daoed ingin menghapuskan praktik politik praktis di universitas. Sivitas akademika diminta untuk mengembangkan politik secara akademik. Hal itu juga merupakan kekhawatiran Daoed terhadap masuknya pengaruh partai politik yang berdampak langsung pada independensi mahasiswa.

“Kampus itu organisasi intelektual, bukan organisasi massa,” lanjut Harry. Menurut dia, Daoed menghendaki sivitas akademika untuk berpikir bebas dan bersikap kritis terhadap semua hal. Akan tetapi, sikap tersebut tidak bisa dilakukan jika mereka berada di bawah pengaruh partai politik. Apalagi, sebagian besar organisasi mahasiswa saat itu merupakan underbouw partai politik.

“Daoed tidak melarang mereka berpolitik praktis. Mereka boleh berpolitik praktis setelah keluar dari kampus. Sayangnya, pemikiran itu hadir terlalu cepat, Daoed memang kerap mendahului orang-orang sezamannya,” kata Harry.

Daoed tidak melarang mereka berpolitik praktis. Mereka boleh berpolitik praktis setelah keluar dari kampus. Sayangnya, pemikiran itu hadir terlalu cepat, Daoed memang kerap mendahului orang-orang sezamannya

Menurut Harry, gagasan antipolitik praktis di dalam lembaga pendidikan merupakan ide yang telah lama dicetuskan Daoed. Bahkan, hal itu tercermin dari pilihannya untuk tidak mengikuti organisasi politik semasa kuliah. “Daoed merupakan sosok yang independen,” ujarnya.

Bagiono yang menjabat sebagai Sekretaris Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Prancis periode 1960-an mengatakan, sikap antipolitik praktis Daoed juga tercermin dari keterlibatannya pada kegiatan PPI Prancis pada 1966. Kala itu, PPI Prancis mengadakan konferensi untuk seluruh PPI di Eropa yang bertajuk “Menumbangkan Mahasiswa Komunis di Eropa”.

“Daoed saat itu mewakili mahasiswa untuk memberi pidato. Pidatonya saat itu telah membicarakan tentang konsep pembangunan pendidikan nasional yang ia terapkan selama ini,” kata Bambang.

Warisan
Sebagai pemikir yang konsisten menulis, Daoed sudah tentu meninggalkan warisan berupa ide-ide tertulisnya. Namun, lebih dari itu, Daoed pun mewariskan sekolah formal yang menerapkan konsep pendidikannya.

Sekolah itu adalah SD Kupu-Kupu, serta SMP dan SMA Garuda Cendekia. Sekolah itu didirikan di halaman rumahnya seluas 8.500 meter persegi. Bambang mengatakan, sekolah itu didirikan dalam dua tahap, SD pada 2004, sedangkan SMP dan SMA pada 2011.

Sekolah tersebut memperlihatkan pengaruh kuat pemikiran Ki Hajar pada Daoed. Sekolah-sekolah itu dikelilingi taman dengan pohon-pohon besar. Selain itu, di tengah areal sekolah, terdapat pendopo yang bisa digunakan untuk kegiatan bebas para siswa.

“Sekolah Ki Hajar (Taman Siswa) katanya seperti ini,” kata Bambang.

KURNIA YUNITA UNTUK KOMPAS–Sri Soelastri istri Daoed Joeseof di rumah duka di Jakarta, Rabu (24/1).

Ki Hajar sendiri menerapkan konsep taman untuk membangun sekolah. Di taman, para siswa bisa bermain dan berkembang sesuai kodrat usianya. Bukan sekompleks gedung tinggi yang justru dapat memisahkan siswa dari lingkungannya.

Kesamaan lain antara Ki Hajar dan Daoed dalam ranah konsep pendidikan adalah memosisikan guru sebagai orang tua siswa. Akan tetapi, implementasi keduanya berbeda.

Ki Hajar mendekatkan siswa dengan guru melalui sistem paguron. Siswa dan guru tinggal bersama agar pembelajaran mereka tidak terputus di kelas tetapi berlanjut pada kegiatan hidup sehari-hari.

Bagi Pak Daoed, guru harus menjadi orang tua kedua, sedangkan orang tua harus menjadi guru kedua

Sementara itu, Daoed menginginkan peran guru sebagai orang tua disertai dengan peran orang tua sebagai guru. Oleh karena itu, ia tidak mengasramakan murid. “Bagi Pak Daoed, guru harus menjadi orang tua kedua, sedangkan orang tua harus menjadi guru kedua,” ujar Bambang.

Terlepas dari perbedaan tersebut, keduanya menyatu dalam konsep penyatuan antara pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan didorong untuk melahirkan sistem nilai kehidupan. Sistem nilai kehidupan pun akan memengaruhi perkembangan kualitas pendidikan. (DD01)

Sumber: Kompas, 25 Januari 2018
—————
Obituari: Daoed Joesoef Bernalar hingga Akhir Hayat

Prof Dr Daoed Joesoef, 91 tahun (8 Agustus 1926-23 Januari 2018), pekerja keras, intelektual sejati, jujur, cendekiawan, dan puritan. Pun seorang pelukis.

Menurut Bambang Pharmasetiawan, menantunya, perlu usaha keras untuk membujuknya agar mau dibawa ke rumah sakit. Daoed Joesoef masih memikirkan pekerjaan yang harus diselesaikan, dan bersemangat ketika diajak bicara tentang pekerjaan.

Di hari Minggu (21/1) dan Senin pagi, sehari setelah masuk ICCU, ia ”mengabsen” sejumlah nama, yang dirasanya ”dekat”, belum datang. Sri Sulastri, istrinya yang selalu dia banggakan; Damayanti, anak semata wayang; dan suaminya, Bambang; serta cucu-cucunya tidak diabsen. ”Kami dianggap sudah seharusnya ada di sini,” kata Bambang di RS Medistra, Senin siang.

Harry Tjan Silalahi dari CSIS, Selasa pagi, mengabarkan keluarga dan CSIS—lembaga think tank yang didirikan Daoed Joesoef bersama sejumlah tokoh lain, sampai sekarang Daoed Joesoef masih sebagai pembina—sudah pasrah. Bambang Setiawan mengiyakan, sambil menambahkan, dokter masih terus berjuang. Akhirnya, lima menit menjelang berakhirnya hari Selasa, pukul 23.55, intelektual pencari makna bernalar itu dipanggil Tuhan.

Buku terakhirnya, Rekam JejakAnak Tiga Zaman, ditulisnya selama dua tahun, terbit Oktober 2017. Pada perayaan usia ke-90, tahun 2016, ia mengatakan zaman pertama—penjajahan Belanda—sudah selesai. Memastikan bahwa zaman kedua dan ketiga (penjajahan Jepang dan Kemerdekaan serta tiga subzaman (Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi), selesai sebelum dirinya genap berusia 92 tahun.

Benar. Tanggal 26 Oktober 2017, buku itu—boleh dikatakan masterpiece dari puluhan buku dan ratusan artikelnya—diluncurkan di Gedung Pakerti, Tanah Abang, Jakarta.

Buku Rekam Jejak mengisahkan jejak langkah, pemerian dan penegasan dua buku serupa yang ditulis sebelumnya: novel Emak yang terbit pertama tahun 2005 (diindonesiakan dengan judul Mama, terbit tahun 2015) dan Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran, terbit tahun 2006.

Emak merupakan persembahan dan pujian tentang emaknya, Djas’iah Joesoef, perempuan sejati yang menuntunnya dari Kampung Darat sampai Sorbonne. Dia dan Aku, memoar pencarian makna dengan sejumlah tokoh, sebuah perdebatan akademis, bernalar, berlandaskan realitas di Indonesia, kunci kemajuan bangsa.

Dalam satu perjumpaan kami setelah peluncuran Rekam Jejak di rumahnya—satu dari puluhan perjumpaan di rumah sebelumnya—Daoed Joesoef mengatakan, ”Saya merasa sudah mewariskan ajakan kita bisa bernalar jernih.” Bernalar waras? ”Bukan,” tukasnya cepat. Bergulirlah penjelasan dan pemerian mendalam tentang nalar dan naluri, tentang kondisi kebangsaan kita yang mengabaikan pencarian makna kehidupan berikut dengan rujukan-rujukan ilmiahnya, tentang tiga konsep pembangunan yang sudah disusunnya saat kuliah kandidat doktor di Universitas Sorbonne.

Pertama, pembangunan pendidikan yang dirasanya tidak jelas arahnya. Kedua, pembangunan ekonomi dan bukan pembangunan nasional. Ketiga, pembangunan pertahanan nasional yang seharusnya berbasis kelautan.

Tidak dengan ”kepala kosong”
Oleh karena itu, ketika Daoed Joesoef ditunjuk sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan tahun 1978—menjabatnya hingga 1983—dia masuk jajaran anggota yang masuk kabinet tidak dengan ”kepala kosong”. Dia bawa konsep. Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional yang dibentuknya merupakan langkah pertama perbaikan praksis pendidikan. Disusul dengan sejumlah kebijakan untuk pendidikan dasar dan menengah, termasuk pendidikan kejuruan di tingkat menengah dan tinggi.

Dengan contoh kesederhanaan, kejujuran, dan kebiasaan hidup yang sehat, Daoed Joesoef membawa suasana baru di kantornya, tidak hanya di kantor pusat, tetapi juga di daerah-daerah. Kehadirannya seolah-olah menyentak. Konsep, pikiran, dan gagasannya menyadarkan orang tentang keharusan bernalar. Pikiran dan gagasan Daoed Joesoef merangsang orang untuk membuka mata pada ruang-ruang perbendaharaan intelektual yang memungkinkan menjadi lebih kaya secara spiritual.

Kekaguman pada filsafat rasionalisme Perancis, Rene Descartes (1596-1650)—negara yang dia banggakan—membawa Daoed Joesoef sebagai menteri yang menekankan kekuatan penalaran individual dalam akal budi anak didik. Harry Tjan Silalahi, rekan dan merasa sebagai pelunak ”kekerasan hati” Daoed Joesoef, menggambarkan Daoed Joesoef sebagai sosok yang mencita-citakan anak didik sebagai individu yang kelak mampu berpikir mandiri, sumber kreativitas untuk dasar kemajuan bangsa.

Membangun komunitas ilmiah
Pencarian nalar dan naluri atau wisdom, membedakannya dengan rasio Barat yang sepenuhnya kemampuan otak (reason), ditunjukkan dengan kekagumannya pada patung Le Penseur (Pemikir) karya Rodin, simbol orang dewasa yang berpikir. The power of reason, kekuatan nalar, itulah yang dia cita-citakan terutama kepada mahasiswa calon pemikir.

Dengan penekanan pentingnya komunitas ilmiah yang menentukan kemajuan kehidupan manusiawi seperti tecermin dalam dunia pendidikan tinggi, Daoed Joesoef mengharapkan kampus dikembangkan sebagai komunitas ilmiah, berbeda dengan komunitas-komunitas lain.

Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), konsep yang mendapatkan reaksi keras dari kalangan mahasiswa, dia dasarkan atas konsep kampus sebagai masyarakat ilmiah dan gelanggang politik sebagai komunitas politik. Mahasiswa yang ingin berpolitik, berpolitiklah dalam konsep sebelum akhirnya terjun ke gelanggang komunitas politik atau manusia panggung.

Konsep NKK memang menghentikan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa saat itu, seiring kemudian dengan represi kekuasaan Orde Baru.

Walaupun konsepnya mampu ikut meredam demonstrasi anti-Soeharto, Daoed Joesoef yang meninggalkan sejumlah kebijakan menerobos lain di bidang pendidikan dan kebudayaan, masa jabatannya dihentikan, tahun 1983. Padahal, di era penugasannya, sejumlah terobosan dilakukan. Hal itu, di antaranya, pertama kali anggaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menduduki angka nominal tertinggi, profesi guru dan kependidikan memperoleh perhatian besar, dan kebijakan pendidikan mendapatkan arah yang jelas.

Sesudahnya Daoed Joesoef kembali aktif ke CSIS, mengutip Harry Tjan Silalahi, lembaga kegiatan nonprofit dengan Dr Daoed Joesoef sebagai ”figur intelektual”-nya. Senyampang itu, dia terus bertekun dengan membaca dan menulis artikel, sampai terganggu kesehatannya sejak awal Desember 2017.

Tidak pernah lelah membaca dan menulis, hidup sehat, tidak merokok, terus berpikir, representasi pencarian atas kekuatan nalar manusia. Dikitari ratusan, mungkin ribuan, buku di rumahnya yang hampir separuhnya jadi perpustakaan, ditingkahi ratusan murid SD Kupu-kupu dan SMP-SMA Garuda Cendekia— sekolah yang diampu oleh suami-istri anak menantunya, akhir Oktober yang lalu kami berjumpa.

Daoed Joesoef berujar, ”Kegiatan di usia senja ini kujalani dengan menulis.” Erivec’estvivre, ungkapan bahasa yang selalu dia banggakan, menulis itu kehidupan. Menulis adalah bagian integral pencarian makna dan terus mengajak orang untuk bernalar.

Pak Dr Daoed Joesoef, selamat jalan. Terima kasih atas persahabatan kita selama ini.

St Sularto Wartawan Kompas 1977-2017

Sumber: Kompas, 25 Januari 2018
————–
Daoed Joesoef Diajak Pulang Dirikan CSIS

ARSIP KOMPAS–Arsip Kompas, 24 April 1979: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef (berkacamata) meninjau usaha penyelamatan Candi Borobudur.

Tahun 1969, Sofjan Wanandi (aktivis 1966 yang dikenal dengan nama Liem Bian Koen) ditugasi Ali Moertopo (saat itu Asisten Pribadi bidang Khusus Presiden Soeharto) untuk berkeliling Eropa. Sofjan menemui tokoh-tokoh intelektual muda Indonesia di sejumlah kota di Eropa. Salah satunya, Daoed Joesoef, yang saat itu Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Perancis. Pada 1969, Daoed sedang menyelesaikan program master di Universite de Paris I, Pantheon-Sorbonne, Perancis.

Sofjan Wanandi bertugas menjelaskan arah perjuangan Orde Baru kepada para intelektual muda Indonesia yang sedang belajar di sejumlah kota di Eropa itu. Selain Daoed Joesoef (PPI Perancis), Sofjan juga berdiskusi dengan Hadi Soesastro (PPI Jerman), Biantoro Wanandi (PPI Swiss), dan lainnya.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sorbonne, Daoed Joesoef bersama sejumlah intelektual Indonesia lain, di antaranya Panglaykim, Harry Tjan Silalahi, kakak beradik Jusuf Wanandi dan Sofjan Wanandi, mendirikan lembaga think-tank bernama Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 1 September 1971.

Daoed Joesoef kelahiran Medan, 8 Agustus 1926, merupakan salah satu direktur pertama CSIS dan memimpin lembaga intelektual itu sehingga menjadi institusi yang disegani dunia internasional, termasuk menggagas kerja sama ASEAN dan APEC.

”Pak Daoed memikirkan berbagai masalah strategis yang dibutuhkan Indonesia, termasuk masalah pertahanan. Pada saat itu belum ada pemikir Indonesia yang memikirkan sejauh itu,” kata Sofjan Wanandi kepada Kompas, Rabu (24/1/2018) pagi, ketika dimintai pendapat tentang koleganya itu.

Jasa Daoed Joesoef terhadap CSIS sangat besar. Pak Daoed-lah yang mendirikan fondasi sehingga CSIS diakui dunia internasional dan sampai sekarang masih eksis, diteruskan oleh generasi ketiga.

Menurut Sofjan, jasa Daoed Joesoef terhadap CSIS sangat besar. ”Pak Daoed-lah yang mendirikan fondasi sehingga CSIS diakui dunia internasional dan sampai sekarang masih eksis, diteruskan oleh generasi ketiga,” katanya.

Pada 1978, Daoed Joesoef ditunjuk Presiden Soeharto sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

”Pak Daoed peduli dengan dunia pendidikan di Indonesia. Salah satu kebijakan yang dia terapkan adalah melarang mahasiswa berpolitik praktis di dalam kampus. Pak Daoed mengarahkan mahasiswa untuk belajar dan menyelesaikan kuliahnya, dan bukan dengan berpolitik praktis. Untuk itu, Pak Daoed berani untuk tidak populer,” ungkap Sofjan.

Sofjan Wanandi sempat membesuk Daoed Joesoef, Selasa siang, di RS Medistra, Jakarta, ketika kondisi kesehatannya dalam keadaan kritis. ”Saya melihat kondisi Pak Daoed sudah berat. Beliau sulit makan,” katanya. Daoed Joesoef meninggal dunia, Selasa tengah malam, pada usia menjelang 92 tahun.

Dua tahun lalu (2016), Daoed Joesoef bekerja keras untuk dapat menyelesaikan memoarnya yang terbit ketika dia berusia 90 tahun. ”Beliau bekerja keras untuk dapat menyelesaikan memoarnya meski dalam kondisi kesehatan yang menurun,” kata Sofjan.

Kehidupan kampus
Salah satu kebijakan Daoed Joesoef yang dianggap kontroversial adalah normalisasi kehidupan kampus (NKK).

Daoed Joesoef memulihkan kehidupan kampus secara antarsektor dan antarkementerian. Dalam menormalisasi kehidupan kampus, dia sudah memperhitungkan mekanisme komunikasi antara mahasiswa dan pemerintah. Para rektor mendapat tugas mempersiapkan pelaksanaan penataan kembali kehidupan kampus dalam waktu satu bulan.

Konsep Daoed Joesoef tentang normalisasi kampus tidak menyempitkan aktivitas mahasiswa, tetapi malah memperluasnya. Dalam konsep itu, Daoed Joesoef menggariskan bahwa mahasiswa bertugas memperkuat penalaran individual, sedangkan pikiran sesuatu yang paling luas.

Dua kebijakan lain yang diterapkan sampai sekarang adalah penerapan awal tahun ajaran baru dimulai pada Juli dan kebijakan siswa tetap bersekolah selama Ramadhan.

ARSIP HARIAN KOMPAS–Arsip Kompas 1979: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef dalam sebuah pameran buku di Jakarta, 27 Desember 1979.

Kebiasaan menulis dan membaca
Daoed Joesoef memberi contoh nyata. Pada usia mencapai 90 tahun pun, dia masih menulis dan membaca.

Menulis dan membaca memang menjadi salah satu perhatiannya ketika menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Daoed Joesoef sudah berpikir jauh ke depan, anak-anak Indonesia harus memiliki kebiasaan membaca sejak dini.

Daoed mengidam-idamkan masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan membaca karena masyarakat yang tidak punya kebiasaan membaca akan dilindas dan ditinggalkan. Dia melihat perpustakaan sekolah merupakan sarana penyiap bagi anak-anak usia sekolah yang menjalani pendidikan formal untuk mencapai masyarakat yang memiliki kebiasaan membaca.

Bagaimana bisa menciptakan masyarakat yang mempunyai kebiasaan membaca jika anak didik sejak dini tidak disiapkan melalui kebiasaan membaca di sekolah? Bangsa Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan bangsa lain jika kebiasaan membaca tidak ditanamkan sejak dini.

”Bagaimana bisa menciptakan masyarakat yang mempunyai kebiasaan membaca jika anak didik sejak dini tidak disiapkan melalui kebiasaan membaca di sekolah? Bangsa Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan bangsa lain jika kebiasaan membaca tidak ditanamkan sejak dini,” kata Daoed (Kompas Siang epaper, 23 Agustus 2014).

Dalam berbagai kesempatan saat menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef menilai makin banyak keluarga yang mampu membeli bahan bacaan bermutu untuk keluarga. Jika buku sudah selesai dibaca, supaya tak jadi hiasan belaka, sebaiknya diserahkan ke perpustakaan agar masyarakat tak mampu dapat ikut menikmati buku-buku itu.

Daoed Joesoef yang juga Pembina Yayasan CSIS berpendapat, penciptaan dan penyebarluasan buku di kalangan masyarakat Indonesia merupakan bagian integral dari proses membaca, menulis, berpikir, dan belajar. Proses itu bagian dari pendidikan kemanusiaan sehingga penciptaan dan penyebaran buku merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional.

Ketika menjadi menteri, Daoed Joesoef mewajibkan siswa mengarang dan mengulas buku-buku fiksi dan ilmiah populer dan itu masuk dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Negara-negara maju yang jumlah penduduknya hanya 30 persen dari jumlah penduduk dunia menghasilkan 81 persen jumlah judul buku yang terbit di dunia. Sementara rakyat negara-negara berkembang yang jumlahnya 70 persen dari rakyat seluruh dunia hanya menghasilkan 19 persen. Indonesia termasuk negara terendah yang memproduksi buku.

Ketika menjadi menteri, Daoed Joesoef mewajibkan siswa mengarang dan mengulas buku-buku fiksi dan ilmiah populer dan itu masuk dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Daoed Joesoef yang sudah menulis sedikitnya delapan buku dan ratusan artikel berpendapat, bangsa Indonesia harus belajar terus-menerus seumur hidup.

ARSIP KOMPAS–Arsip Kompas 1979: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, Jumat, 10 Agustus 1979, meninjau Pelatnas SEA Games Indonesia bersama Menteri Muda Urusan Pemuda Abdul Gafur (kedua dari kanan) dan pejabat-pejabat Pendidikan dan Kebudayaan serta KONI. Daoed berdialog dengan atlet pelatnas.

Kesenian dan kebudayaan
Daoed Joesoef, sarjana ekonomi Indonesia (1959), yang menyelesaikan program master dan doktor di Universite de Paris, Perancis, mengatakan, kampus akan menjadi terlalu kering jika kesenian dan kebudayaan tidak mendapat tempat yang wajar.

Rektor harus memberi perhatian kepada peningkatan apresiasi seni, olahraga, dan kegiatan penyegaran jasmani. Rektor harus menyadari bahwa perguruan tinggi tidak hanya merupakan lingkungan belajar-mengajar, tetapi juga lingkungan pendidikan dan pembinaan mental.

Dia berpendapat, pendidikan kesenian harus ditangani sungguh-sungguh dan dikaitkan dalam pendidikan anak sejak dini. Tujuannya memberikan cakrawala lebih luas kepada anak didik sehingga dia bisa mengembangkan sendiri citra keseniannya dengan tetap pada lingkup kebudayaan nasional Indonesia.

Kampus akan menjadi terlalu kering jika kesenian dan kebudayaan tidak mendapat tempat yang wajar.

Saat menjadi menteri, Daoed Joesoef membangun Taman Budaya di seluruh provinsi di Indonesia. Hal itu untuk menanggulangi pengaruh kebudayaan kaset yang menggusur kesenian tradisional.

Daoed Joesoef mengatakan, modal pokok pendidikan adalah rasa hormat masyarakat dan murid terhadap guru. Rasa hormat terhadap guru akan tercapai jika guru memiliki empat unsur, yaitu sikap dan watak sebagai guru, kemampuan dan pengalaman profesional, kesejahteraan hidup yang memadai, dan tanggung jawab sosial.

ARSIP HARIAN KOMPAS/HASANUDDIN ASSEGAF–Arsip Kompas 1986: Daoed Joesoef (kiri) hadir dalam acara peresmian Bentara Budaya Jakarta pada 16 Juni 1986. Tampak Mendikbud Fuad Hassan (kanan) berbincang dengan Daoed Joesoef. Gedung Bentara Budaya Jakarta berupa rumah kudus. Rumah tradisional penuh ukir-ukiran ini dipindahkan dari tempat asalnya di Kudus, Jawa Tengah, ke kompleks Kompas Gramedia di Jalan Palmerah Selatan, Jakarta.

Komunikasi tatap muka antara guru dan murid dalam pendidikan, katanya, sangat diperlukan. Murid dapat mendiskusikan masalah dengan guru.

Menurut dia, para dosen selain mampu bertindak sebagai guru juga harus bisa tampil sebagai bapak dan wali serta teman mahasiswa yang menunjukkan jalan dan pemecahan persoalan dengan penuh pengertian dan kesabaran.

Daoed Joesoef menilai, peranan pendidikan prasekolah (0-6 tahun) penting. Namun, karena keterbatasan anggaran, pendidikan prasekolah belum dikembangkan. Berdasarkan hasil penelitian, kecerdasan anak tumbuh pada usia sebelum tujuh tahun.

Para dosen selain mampu bertindak sebagai guru juga harus bisa tampil sebagai bapak dan wali serta teman mahasiswa yang menunjukkan jalan dan pemecahan persoalan dengan penuh pengertian dan kesabaran.

Setelah usia tujuh tahun, kecerdasan anak manusia tidak berkembang lagi dan yang berkembang adalah keterampilannya. Karena itu, kata Daoed, pendidikan anak sebelum tujuh tahun sangat penting, sama pentingnya dengan pendidikan anak pada jenjang lebih tinggi.

Di negara maju, anak mulai masuk sekolah pada usia 2-3 tahun. Pada usia itu, mereka sudah dibina melalui pendidikan formal di sekolah. ”Tidak heran jika banyak tokoh di negara-negara maju sebenarnya hasil dari pendidikan secara baik sebelum mereka berusia enam tahun,” ungkapnya.

Tak setuju perpeloncoan
Daoed Joesoef sejak awal tidak setuju perpeloncoan. Ketika menjadi menteri, dalam surat keputusan, 8 Juni 1979, dia melarang semua bentuk perpeloncoan atau cara lain yang bersifat menjurus ke arah perpeloncoan, dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, termasuk kursus-kursus di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Daoed Joesoef menilai perpeloncoan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Pengalaman masa lalu, bentuk-bentuk Mapram, Masa Perkenalan, Psoma di SD dan perguruan tinggi, merupakan pemborosan biaya dan tenaga serta membahayakan keselamatan mahasiswa dan siswa baru.–ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA

Sumber: Kompas, 24 Januari 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 13 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:20 WIB

Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:15 WIB

Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS

Sabtu, 12 Agustus 2023 - 07:42 WIB

Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB