Catatan Iptek; Serge Moscovici

- Editor

Rabu, 14 Januari 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dunia ilmu pengetahuan kembali kehilangan seorang tokohnya. Prof Serge Moscovici (89), ”Bapak” teori Representasi Sosial dan berbagai gagasan genius dalam psikologi, dengan 16 gelar doktor honoris causa dari berbagai universitas dunia itu meninggal pada 15 November 2014.


Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan dan Seni Eropa itu dimakamkan di Montparnasse, Paris, peristirahatan akhir para tokoh di bidang sastra dan filsafat yang memberi sumbangan besar pada peradaban dan kemanusiaan, seperti Beckett, Beaudelaire, Satre, Beauvoir, dan Proust.

”Seorang intelektual dan aktivis sosial yang luar biasa,” tulis Prof Michael Murray, Ketua Jurusan Psikologi Universitas Keele, Inggris, dalam surat elektroniknya kepada murid Moscovici yang tersebar di dunia, ”Gagasan-gagasannya akan terus menginspirasi mereka yang mencari untuk memahami kehidupan sosial dan menyumbang terciptanya dunia yang lebih sehat bagi semua.”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Teori Representasi Sosial Moscovici menempatkan psikologi sosial sebagai wilayah strategis untuk memahami kompleksitas pengetahuan sosial yang mewujud pada perilaku. Ia menolak prinsip pembentukan perilaku yang disempitkan pada skema Stimulus dan Respons.

image001”Dasarnya adalah menolak gagasan Descartes memutlakkan pikiran individu sebagai dasar pengetahuan,” ungkap Dr Risa Permanadeli, pendiri Lembaga Kajian Representasi Sosial di Indonesia. Sejak tahun 2000, ia menerima bimbingan dalam Laboratorium Psikologi Sosial Eropa yang didirikan Moscovici.

Sangat kompleks
Perilaku adalah produk suatu representasi dan bersifat kompleks. Kompleksitas itu dicerna menjadi suatu operasi mental yang tidak semata bermula dari stimulus nyata. Sebagai penggerak perilaku, stimulus bisa bersifat langsung dan tidak langsung, nyata atau tidak nyata, bahkan simbolik dan metafisik.

Di dalam rangkuman itu terkandung identitas kultural yang terbangun dari tradisi, kebiasaan sosial, dan ingatan kolektif. Dari situ lahir pengertian tentang banyak hal dalam hidup yang bersifat empirik, filosofis, maupun produk kultural. Seluruh pengetahuan tersebut—oleh Moscovici dikenali bersumber pada common sense—memberi arah perilaku yang memungkinkan jejak keanggotaan individu pada suatu masyarakat, tidak hilang.

Moscovici melanjutkan dan menyempurnakan gagasan Emile Durkheim tentang representasi. Namun, ia menolak dualisme antara masyarakat dan individu yang memisahkan sosiologi dari psikologi dalam tradisi Durkheiminne.

”Teori Representasi Sosial yang dikembangkan Moscovici berupaya meretas sekat pemisah antara psikologi dan sosiologi, sekaligus antara individu dan masyarakat,” jelas Risa. Dengan alasan komprehensif yang mendasari gagasannya, Moscovici menolak peng-kastaan ilmu pengetahuan yang meletakkan pengetahuan ilmiah di atas pengetahuan lainnya.

Bagi Risa yang berjuang memetakan pengetahuan di Indonesia, teori Representasi Sosial mengembalikan kemampuannya mengenali diri sebagai makhluk budaya. ”Dalam kebudayaan ada pengetahuan luar biasa yang mengatur hidup bersama, tetapi martabatnya diturunkan oleh pengetahuan lain yang kita peroleh dari dunia akademis maupun agamis. Kita akhirnya selalu minder dengan pikiran kita sendiri.”

Pemetaan itu akan membongkar banyak kepalsuan. Namun, seperti ditulis Moscovici dalam esai klasiknya, ’Society and Theory in Social Psychology’ (1972), ”Kebenaran memang berbahaya dan penuh risiko. Psikologi sosial tak dapat mencapai gagasan sebenarnya dari ilmu pengetahuan, kecuali ia menjadi berbahaya”.

Oleh: Maria Hartiningsih

Sumber: Kompas, 14 Januari 2015

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Berita ini 60 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB