Catatan Iptek; Invasi Digital

- Editor

Rabu, 30 Maret 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kita tahu digital akan mengubah dunia, tetapi kita tidak sadar betapa dekat dampaknya pada kita.–James McQuivey dalam bukunya, “Digital Disruption” (2013)

Pekan lalu, ketika unjuk rasa para pengemudi taksi nyaris melumpuhkan Jakarta, muncul kesadaran baru: bahwa apa pun jenis industrinya, kompetitor berbasis digital akan memanfaatkan berbagai pola, alat, dan jaringan, untuk memenuhi kebutuhan pelanggannya. Dampaknya tentu saja adalah kacaunya aneka bisnis yang berbasis konvensional.

Kehadiran industri digital merambah ke semua bidang. Dari jual-beli barang, transaksi perbankan, pemesanan tiket dan hotel, hingga jasa transportasi, salon, dan bahkan bersih-bersih rumah. Cukup dengan menyentuh layar di telepon pintar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Rachel Botsman dan Roo Rogers dalam bukunya, The Rise of Collaborative Consumption (2010), mengatakan, inilah yang sedang terjadi dalam lanskap ekonomi saat ini: maraknya pola berbagi, bertukar, pinjam, dan sewa. Semua bisa dilihat di pasar online (daring) seperti eBay, penyaluran kredit lewat jasa daring seperti Zopa, dan berbagi mobil seperti di situs Zipcar. Model konsumsi dengan cara berkolaborasi ini memang tengah berkembang dan mengacaukan pola-pola bisnis lama.

Seiring dunia yang serba terbuka, dengan jangkauan wilayah bisnis yang tidak terhingga baik ukuran maupun targetnya, industri digital telah meredefinisi bagaimana memanfaatkan barang dan jasa serta dengan harga yang lebih rasional pula. Muncullah ekonomi kreatif dengan startup-nya, yaitu industri rintisan yang berbasis teknologi informasi.

Menurut James McQuivey yang juga peneliti pada Forrester Research, industri digital berciri berani mengambil risiko, bermodal semurah mungkin, dan kreatif membangun wahana yang membantu menyelesaikan persoalan konsumen. Karena biaya operasionalnya rendah, harga jualnya juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan bisnis konvensional.

Taksi Uber dan Grab yang memicu unjuk rasa itu, misalnya, tidak perlu membayar biaya pembelian dan pemeliharaan mobil karena berbasis kepemilikan perorangan. Para penyedia penginapan lewat jasa Airbnb tidak perlu merekrut resepsionis dan jasa kebersihan karena yang ditawarkan adalah kamar-kamar kosong milik penduduk. Semua merujuk ke konsep tunggal: akses, yang jauh lebih menguntungkan dari kepemilikan. Sesuatu yang sulit dilawan industri konvensional.

Bagi anak-anak muda generasi Y dan Z, perubahan ini sangat sejalan dengan tumbuh kembang mereka yang banyak ditemani aneka permainan berbasis komputer. Dari yang berbasis game- box hingga Ragnarok yang bisa dimainkan bersama dari tempat tinggal masing-masing atau di mana pun mereka berada. Jadilah mereka anak-anak dunia, yang berkelana menembus batas, tanpa harus meninggalkan kamarnya.

Data ITU World Telecommunication menunjukkan, pada 2014, hampir 3 miliar orang—berarti 40 persen populasi dunia—menggunakan internet. Dari jumlah itu, 80 persen di antaranya memiliki telepon pintar. Tidaklah mengherankan jika omzet bisnis daring terus meningkat.

The Statistic Portal menyebutkan, 41 persen dari pengguna internet global atau 1,3 miliar orang membeli produk daring pada 2013. Pada 2015, pembeli daring terbanyak berasal dari Tiongkok, baru diikuti Jerman, India, Brasil, dan Inggris. Nilai transaksi perusahaan B2C (Business to Consumers), seperti Amazon, Wallmart, dan Rakuten, mencapai 1,471 miliar dollar AS pada 2013.

Bagaimana perusahaan konvensional beradaptasi? Menurut Smart Insights dan TFM&A, sepertiga bisnis yang ada saat ini telah berencana mengembangkan program digital transformation dan sepertiga lainnya telah memilikinya. Pada 2015, konten pemasaran daring meningkat tiga kali lipat dari pemasaran tradisional, tetapi berbiaya 62 persen lebih murah.

Apa boleh buat. Konsumen akan memilih industri digital karena kebutuhan mereka bisa dipenuhi dengan efektif sekaligus efisien. Tak ada jalan lain, industri konvensional memang harus beradaptasi kalau tak ingin mati pelan-pelan.–AGNES ARISTIARINI
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul “Invasi Digital”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Apa Itu Big Data yang Didebatkan Luhut Vs Mahasiswa
Gelar Sarjana
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 13 April 2022 - 21:15 WIB

Apa Itu Big Data yang Didebatkan Luhut Vs Mahasiswa

Rabu, 23 Maret 2022 - 08:48 WIB

Gelar Sarjana

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB