Kebakaran tak terkendali. Dari Sumatera hingga Papua. Sebagian mungkin karena keteledoran, tetapi yakinlah kebanyakan karena kesengajaan. Pastinya ada ratusan perusahaan dan individu tamak yang sengaja membakar hutan.
Sebenarnya tiap tahun juga seperti ini, hutan dibakar untuk ekspansi industri perkebunan. Biasanya hujanlah yang memadamkan kebakaran itu. Namun, tahun ini El Nino mencipta kemarau panjang, menantang kita memadamkannya sendiri. Ribuan tentara dan relawan dikerahkan, bahkan kita telah meminta bantuan pesawat pengebom air dari negeri tetangga.
Namun, api tak kunjung padam. Gambut yang disulut takkan mudah dipadamkan. Padahal, kabut asap telah menewaskan 12 orang serta mengancam kesehatan 43 juta warga negeri ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jelas bahwa negara ini kedodoran memadamkan bara hasil kebijakan pembangunan dan pilihan investasi keliru sejak bertahun-tahun lalu. Ini kesalahan warisan, tetapi masihkah bersikukuh menganakemaskan investasi dan abai dengan daya dukung alam dan kemampuan kita mengendalikannya?
Industri perkebunan, terutama sawit, memang berkontribusi penting terhadap pertumbuhan ekonomi negeri ini. Produksi minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan turunannya pada 2014 mencapai 31,5 juta ton, mengukuhkan Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia. Produksi ini dihasilkan dari 10 juta hektar perkebunan sawit. Angka ini terus membesar mengingat tiap tahun laju pertumbuhan lahan sawit mencapai 6,96 persen, bertambah 520.000 hektar atau seluas Pulau Bali.
Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), jumlah tenaga kerja, petani, dan pihak lain dalam mata rantai industri kelapa sawit lebih dari 5 juta orang. Sementara sumbangan devisa ekspor minyak sawit mentah dan turunannya pada periode yang sama sekitar 21 miliar dollar AS.
Tidak semua industri sawit melakukan praktik buruk membakar lahan. Namun, jikapun tidak membakar, banyak di antaranya gagal mengendalikan kebakaran di area konsesinya.
Industri sawit memang penuh ironi. Data yang dirilis Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia baru-baru ini, lebih dari separuh dari total luasan perkebunan sawit di Indonesia dikuasai oleh ”hanya” 25 grup perusahaan. Mereka menguasai 5,1 juta hektar konsesi, hampir setengah Pulau Jawa. Jelas, porsi terbesar dari legitnya bisnis sawit dinikmati segelintir orang. Namun, dampak kehancuran ekologinya diderita jutaan orang.
Sejak perkebunan sawit meraksasa, terutama setelah kebakaran hutan besar-besaran satu dekade lalu, masyarakat adat banyak yang permanen kehilangan hutan. Secara sederhana, siklus penghilangan hutan mengikuti alur berikut: awalnya pembalakan hutan, kanalisasi untuk pengeringan lahan gambut, pembakaran lahan, dan akhirnya tanaman monokultur.
Pembakaran lahan menjadi bagian industri perkebunan. Padahal, mengacu data The International Disaster Database-Centre for Research on the Epidemiology of Disasters, kebakaran yang menghanguskan 25 juta hektar hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan tahun 1997 menempati peringkat pertama bencana paling merugikan ekonomi Indonesia dalam kurun 1900-2014.
Berdasarkan data di atas, kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan pada 1997 mencapai 8 miliar dollar AS, dua kali lipat dibandingkan dengan kerugian ekonomi karena gempa dan tsunami Aceh pada 2004 yang mencapai 4,45 miliar dollar AS.
Padahal, nilai kerugian baru dihitung dari dampak ekonomi langsung berupa hilangnya potensi kayu. Terhentinya kegiatan ekonomi, misalnya terhambatnya penerbangan, pelayanan publik, dan gangguan kesehatan, belum dihitung. Kerugian sesungguhnya bisa berlipat jika hilangnya keragaman hayati dan dampak emisi perubahan iklim turut dihitung. Hilangnya hutan berarti juga rusaknya tata hidup masyarakat adat.
Di tengah penurunan produksi migas, ekspor komoditas berbasis industri perkebunan telah menjadi andalan. Pertumbuhan pembangunan nasional dalam kurun 2008-2013 rata-rata memang 5,86 persen dan melemah menjadi 5,01 persen tahun 2014. Angka itu tergolong tinggi di saat ekonomi dunia lesu.
Namun, ketimpangan ekonomi melebar, ditandai dengan terus naiknya Indeks Gini Indonesia. Bahkan, indeks gini tahun 2013 mencapai 0,413 —tertinggi sejak 1964. Ciptaan ahli statistik Italia, Corrado Gini (1912), itu mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Kian tinggi indeks gini, kian tinggi kesenjangan.
Indeks Lingkungan Hidup (ILH) Indonesia juga buruk. Berdasarkan data Yale University, ILH Indonesia 2014 di peringkat ke-112 dari 178 negara. Angka ini dipastikan anjlok menyusul kebakaran hutan hebat tahun ini. Sementara ketersediaan sumber air bersih Indonesia di peringkat ke-141 dari 178 negara.
Kombinasi dua faktor itu menunjuk ketidakadilan ganda. Mereka yang miskin mendapat bagian kue pembangunan paling sedikit, tetapi menanggung dampak lingkungan terbesar. Kebijakan pembangunan kita selama ini ternyata memperlebar jurang stratifikasi sosial dan memperburuk mutu lingkungan. Pilihan kebijakan ini rasanya tak layak dipertahankan.–AHMAD ARIF
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Oktober 2015, di halaman 14 dengan judul “Dilema Pembangunan”.