Candi Borobudur Butuh Ahli Konservasi

- Editor

Senin, 17 November 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pemaknaan 200 Tahun Penemuan Candi Buddha Itu Meluntur
Dua abad pasca penemuan Candi Borobudur, kebutuhan atas tenaga ahli konservasi candi semakin mendesak. Sebab, seiring berjalannya waktu, kondisi situs warisan dunia ini semakin rentan terhadap cuaca ataupun ulah manusia.


Kepala Balai Konservasi Borobudur Marsis Sutopo mengungkapkan, pihaknya kini sedang melakukan pengkajian tentang perlu tidaknya pemberian lapisan pelindung di bagian tangga Candi Borobudur. Masalahnya, setelah puluhan tahun dikunjungi jutaan wisatawan, bagian tangga Borobudur terus-menerus aus akibat tergerus kaki manusia.

Selain mengakibatkan ausnya bebatuan, kehadiran pengunjung juga mendatangkan debu dan kotoran yang menempel di lantai, dinding, dan relief candi. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, Borobudur juga mengalami ancaman lain berupa guyuran hujan abu vulkanik dari Gunung Merapi dan Kelud.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

”Kondisi Borobudur memang berada di tempat terbuka dan rawan bencana erupsi, khususnya hujan abu vulkanik. Untuk mengantisipasi masalah ini, kami harus dibantu tenaga ahli konservasi batuan dari UNESCO,” papar Marsis, Minggu (16/11), di Yogyakarta.

Sejak tiga tahun lalu, tiga ahli konservasi batuan beserta dua asisten dari Jerman didatangkan ke Borobudur. Bersama dengan jajaran Balai Konservasi Borobudur, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta dan Jateng, mereka merawat candi Buddha terbesar di dunia tersebut.

Selain membersihkan abu vulkanik, para ahli juga bertugas mengatasi masalah lain seputar perawatan batu candi, mulai dari penggaraman, munculnya lubang pada bebatuan, pertumbuhan lumut, sampai keretakan bebatuan.

Masalah paling sulit dalam perawatan candi adalah penanganan penggaraman. Penggaraman adalah munculnya garam-garaman akibat proses penguapan setelah hujan. Begitu mengeras, zat garam-garaman ini menempel dan mengeras sehingga sulit dibersihkan.

Persoalan pelik yang lain adalah terbentuknya lubang-lubang di permukaan batuan karena proses penguapan air yang begitu cepat. ”Pada saat hujan, batuan akan menyerap air, lalu terjadi penguapan. Karena proses penguapan yang cepat, terjadi semacam ledakan-ledakan kecil di permukaan batuan yang kemudian memunculkan lubang-lubang,” paparnya.

Pemaknaan meluntur

16601421hKepala BPCB Yogyakarta Tri Hartono menambahkan, BPCB Yogyakarta dulu banyak memiliki ahli konservasi candi yang berasal dari para tenaga pemugaran Borobudur tahun 1973-1983. Namun, sejak tiga tahun terakhir, sebagian besar dari mereka memasuki masa pensiun.

”Yang kami sayangkan, proses transfer pengetahuan dari mereka ke generasi konservator muda terlambat. Memang, dari sisi pengetahuan, para mantan tenaga pemugaran Borobudur hanya lulusan SMA dan konservator muda di BPCB sekarang lulusan S-1. Namun, dari sisi keterampilan, tenaga-tenaga konservasi muda justru kalah dengan yang tua. Sebab, para konservator tua dulu dididik langsung oleh para ahli dari luar negeri,” ungkap Tri Hartono.

Tahun 2014 ini diperingati sebagai 200 tahun ditemukannya Borobudur oleh Raffles. Akan tetapi, pemaknaan religiositas dari stupa ke stupa sebagai laku pencarian kebenaran dan pencerahan meluntur.

”Itu yang ingin disampaikan melalui sketsa-sketsa saya tentang Borobudur. Religiositas makin terimpit materialisme yang membuat manusia tidak melihat laku pencarian terang dan pencerahan,” papar pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Mudji Sutrisno, Minggu. (ABK/NAW)

Sumber: Kompas, 17 November 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Berita ini 18 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB