DALAM sejumlah kesempatan, banyak pejabat publik di negeri ini mengungkapkan adanya potensi bonus demografi sebagai peluang yang harus dimanfaatkan guna mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Meningkatnya proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) saat ini yang diikuti penurunan proporsi penduduk usia nonproduktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas) menyebabkan penurunan rasio ketergantungan.
Ekonomi Indonesia berpotensi tumbuh lebih cepat dan terjadi perbaikan kualitas sumber daya manusia. Manfaat ekonomi yang terjadi akibat menurunnya rasio ketergantungan (angka yang menyatakan perbandingan antara jumlah penduduk usia nonprodukif dan jumlah penduduk usia produktif) inilah yang disebut dengan bonus demografi.
Namun, kenyataannya bonus demografi meleset dari yang diharapkan. Data yang digunakan untuk menganalisis bonus demografi saat ini masih mengacu pada hasil proyeksi penduduk dalam UN World Population Prospects (2002).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setidaknya ada dua argumen mengapa potensi bonus demografi meleset dari perkiraan sebelumnya. Pertama, rasio ketergantungan tak serendah yang diperkirakan. Rasio ketergantungan Indonesia akan mencapai titik terendah sebesar 44 per 100 penduduk usia produktif selama periode tahun 2020 hingga 2030 jika didasarkan pada proyeksi penduduk dalam UN World Population Prospects (2002).
Namun, proyeksi penduduk yang dilakukan oleh Lembaga Demografi FEUI dengan menggunakan basis data Sensus Penduduk 2010 menunjukkan hasil yang berbeda. Rasio ketergantungan terendah hanya akan mencapai angka 46, bukan 44 seperti perkiraan sebelumnya. Maknanya, manfaat bonus demografi tidak sebesar yang diharapkan. Setiap 100 penduduk usia produktif akan menanggung bukan 44 melainkan 46 penduduk usia nonprodukif (terdiri atas 35 penduduk muda berusia 0-14 tahun dan 11 penduduk lansia).
Kedua, rentang waktu rasio ketergantungan mencapai titik terendah ternyata lebih pendek. Berdasarkan UN World Population Prospects (2002) diperkirakan rasio ketergantungan akan mencapai titik terendah selama kurun 2020-2030. Periode tersebut dikenal dengan istilah the window of opportunity (Sri Moertiningsih Adioetomo, 2005).
Setelah itu rasio ketergantungan akan naik kembali akibat meningkatnya proporsi penduduk lanjut usia (lansia). Namun, proyeksi penduduk oleh Lembaga Demografi FEUI dengan menggunakan basis data Sensus Penduduk 2010 justru menunjukkan, rasio ketergantungan akan mencapai titik terendah hanya selama periode 2020-2025. Ini lebih pendek lima tahun dari perkiraan sebelumnya. Tentunya manfaat ekonomi yang diperoleh dari perubahan struktur umur penduduk tidak sebesar yang diharapkan. Setelah tahun 2025, rasio ketergantungan akan naik terus dan kembali mencapai angka 51 pada tahun 2050 (sama dengan 2010).
Faktor penyebab
Ada dua penyebab bonus demografi tak sesuai harapan. Penyebab pertama, asumsi angka kelahiran (fertilitas) 1,89 anak per perempuan di tahun 2030 yang digunakan dalam UN World Population Prospects (2002) sulit tercapai. Berdasarkan tren fertilitas yang ada, Lembaga Demografi FEUI memperkirakan bahwa di tahun 2030 angka kelahiran ”hanya” dapat turun menjadi 2,15 anak per perempuan. Berarti, jumlah kelahiran lebih tinggi daripada perkiraan sebelumnya.
Dampaknya, jumlah penduduk usia nonproduktif dari kelompok usia muda (0-14 tahun) juga akan lebih banyak daripada yang diproyeksikan sebelumnya. Apalagi angka kelahiran total (TFR) hasil Survei Demografi dan Kesehatan 2012 (BPS) juga cenderung stagnan selama lima tahun terakhir, yaitu 2,6 anak per perempuan. Program Keluarga Berencana dalam beberapa tahun terakhir gagal mencapai targetnya.
Penyebab kedua, kematian bayi pada 2030 kemungkinan lebih rendah dibandingkan asumsi UN World Population Prospects (2002): diperkirakan turun 18,9 per 1.000 kelahiran hidup. Lembaga Demografi FEUI melihat tren bahwa angka kematian bayi bisa turun hingga 17 per 1.000 kelahiran hidup di 2030.
Penurunan angka kematian bayi bisa lebih cepat daripada perkiraan sebelumnya. Dampaknya, usia harapan hidup akan lebih tinggi dibandingkan asumsi UN World Population Prospects (2002). Jumlah lansia meningkat lebih cepat dari perkiraan sehingga berkontribusi terhadap penambahan penduduk usia nonproduktif.
Kita perlu mencermati melesetnya potensi bonus demografi. Perubahan struktur penduduk menurut umur jelas memiliki arti penting bagi perekonomian Indonesia. Angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk lansia akan lebih tinggi daripada perkiraan sebelumnya, menyebabkan rasio ketergantungan juga lebih tinggi dan the window of opportunity menjadi lebih pendek (2020-2025).
Implikasinya
Meskipun tampak sekilas rasio ketergantungan terendah hanya meleset dari angka 44 jadi 46 per 100 penduduk usia produktif, tetapi akan muncul konsekuensi yang tidak sederhana dari hal tersebut. Penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditandai peresmian operasionalisasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 Januari 2014—disusul BPJS Ketenagakerjaan pada 2015—akan mengandalkan iuran yang dibayarkan oleh peserta.
Dengan menggunakan asas asuransi sosial, potensi iuran terbesar tentunya berasal dari penduduk usia produktif. Berarti rasio ketergantungan yang lebih tinggi menyebabkan penduduk usia produktif akan menanggung beban penduduk usia nonproduktif yang lebih tinggi pula.
Beban pembiayaan jaminan sosial yang harus ditanggung akan terus meningkat setelah tahun 2025, terutama akibat meningkatnya proporsi lansia. Tahun 2050, diperkirakan lebih dari 40 persen penduduk usia nonproduktif termasuk dalam kategori lansia.
Pemerintah dan para pengambil kebijakan tak dapat mengabaikan konsekuensi ekonomi dari rasio ketergantungan yang lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya. Perlu terobosan strategi, utamanya dalam kebijakan pengendalian kelahiran. Tanpa komitmen kebijakan yang kuat, peluang manfaat dari bonus demografi akan terlewatkan begitu saja. Siapa pun di antara kita, pasti tidak akan pernah menginginkan bonus yang tak sesuai harapan.
Sonny Harry B Harmadi, Kepala Lembaga Demografi FEUI/ Ketua Umum Koalisi Kependudukan
Sumber: Kompas, 16 Januari 2014