Balita Jangan Dikurung di Rumah

- Editor

Minggu, 30 Agustus 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kemampuan mendidik anak-anak pada usia emas menentukan kompetensi mereka ketika tumbuh dewasa. Kontribusi dan produktivitas dalam membangun bangsa membutuhkan tidak hanya kecerdasan kognitif, namun juga emosional yang mengakibatkan kecakapan dalam bekerja sama.

“Anak-anak pada usia emas (0-5 tahun) sebaiknya tidak dikurung di rumah dan pergaulannya hanya dibatasi dengan keluarga,” kata Jan Derksen, psikolog klinis dari Universitas Radboud, Belanda, saat memberi kuliah umum dalam konferensi dan lokakarya “Personality Excellence: Tackling Challenges in Contemporary Society” di Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta, Jumat (28/8).

Derksen menuturkan bahwa orangtua kerap menyangka anak-anak adalah makhluk yang lemah dan tidak bisa apa-apa. Padahal, anak adalah makhluk cerdas dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Oleh karena itu, mereka perlu diekspos kepada masyarakat, misalnya, dengan bergaul bersama anak-anak lain dan mengenal lingkungannya. “Tentu di bawah pengawasan orangtua untuk menghindari mereka dari bahaya,” ujarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pengungkungan juga terjadi dalam bentuk melarang anak mengekspresikan rasa ingin tahu serta menerapkan begitu banyak peraturan di rumah sehingga anak tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal, membiasakan anak bersosialisasi membuat mereka belajar membangun hubungan sosial sejak ini.

231676KOMPAS/IWAN SETIYAWAN– Anak-anak bermain gelembung sabun di kompleks perumahan di Sawangan, Depok, beberapa waktu lalu. Membiarkan anak-anak usia emas (1-5 tahun) bermain di luar rumah dapat melatih kecerdasan kognitif dan emosional.

Hal ini berdampak memberi anak rasa percaya diri, mengenali berbagai ekspresi emosi, dan bersikap bijak ketika berhadapan dengan konflik. Derksen melanjutkan, kecerdasan emosi tersebut adalah kunci membangun manusia dewasa yang optimal.

Apabila karakteristik tersebut baru dikenalkan di masa remaja, pengaruhnya tidak terlalu mendalam. Adapun memberi anak keleluasaan bertindak mengajarkan mereka untuk memilih aksi dan mempertanggungjawabkannya.

Melatih berorganisasi
Kemampuan-kemampuan tersebut ke depannya berpengaruh kepada keahlian untuk bekerja sama di dalam tim, berorganisasi, berkeluarga, dan lebih luas lagi bermasyarakat. “Dalam hidup, manusia tidak bisa bersikap individualistis karena mereka membutuhkan orang lain,” ujar narasumber lain, yaitu Stephen Benton, psikolog bisnis dari Universitas Westminster, Inggris.

Produktivitas yang maksimal hanya tercapai jika terdapat kerja sama tim yang kokoh. Oleh sebab itu, diperlukan kedewasaan dan kecerdasan emosional dalam mengenali masalah, menelaah, dan mencari jalan keluar. “Dalam proses terjadinya permasalahan memang akan muncul konflik karena terdapat perbedaan pendapat serta perilaku,” kata Benton.

Keterampilan mengelola konflik dibutuhkan agar masyarakat bisa dewasa dan maju. Salah satu caranya adalah dengan memahami budaya serta kepribadian pihak yang berbeda-beda dan menggunakan pendekatan resolusi yang melibatkan seluruh pihak. Untuk itu, sistem pendidikan di sekolah, rumah, dan lingkungan hendaknya melatih keterampilan emosional, menangani stres, dan perilaku dalam menghadapi perbedaan.

“Indonesia sebagai negara kaya budaya justru berpotensi besar dalam membentuk masyarakat yang maju karena gagasannya bisa datang dari segala sudut pandang. Yang perlu dilakukan adalah menguatkan kecerdasan emosionalnya bersama dengan kognitif, ujar Benton.

Laraswati Ariadne Anwar

Sumber: Kompas Siang | 28 Agustus 2015

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Berita ini 30 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB