Angus Stewart Deaton; Jangan Biarkan Kaum Kaya Mengatur

- Editor

Sabtu, 17 Oktober 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kemiskinan jelas bisa diatasi. Namun, mengapa begitu banyak warga miskin di dunia, jumlahnya mencapai 1,2 miliar jiwa? Itu karena layanan pemerintah tidak efektif. Itulah, antara lain, komentar Prof Dr Angus Stewart Deaton (69), penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2015.

Deaton tidak kaget dengan pengumuman dari Akademi Sains Kerajaan Swedia, walaupun dirinya mengakui kecil kemungkinan meraihnya. Para pesaingnya hebat-hebat, termasuk Ben Bernanke, mantan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat. Namun, dia mengatakan, Komite Nobel “telah melakukan tugas dengan baik”.

Ketika istrinya menerima telepon dari Stockholm, Senin (12/10) pagi, Deaton dibangunkan. Dia tahu tujuan panggilan telepon walaupun masih sempoyongan karena dibangunkan dari tidur lelap.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Hal yang saya ingin tahu, untuk bagian mana saya diberi penghargaan sebab begitu banyak riset ekonomi saya,” kata Deaton, penulis buku The Great Escape: Health, Wealth, and the Origins of Inequality, yang terbit September 2013. Lewat buku ini, Deaton menuliskan fakta tentang kenaikan kemakmuran global walau ketimpangan juga meningkat.

Komite Nobel menyatakan, Deaton dihargai atas jasanya tentang analisis “konsumsi, kemiskinan, dan kesejahteraan”. Lewat analisis itu, Deaton memberi instrumen penciptaan kebijakan publik yang baik kepada pemerintah.

Anggota Komite Nobel Ekonomi, Profesor Tomas Sjostrom, merinci alasan kemenangan Deaton. Untuk melihat resesi, kemiskinan, dan kemakmuran bisa dari prisma konsumsi. Peran konsumsi sangat sentral pada perekonomian. Deaton juga ahli ekonomi pembangunan dan mengamati sejarah kemajuan negara-negara miskin. Oleh karena itu, dia juga disebut sebagai ekonom internasional.

Salah satu sisi kemenangan Deaton, menurut Sjostrom, adalah perspektifnya tentang efek pajak, subsidi, atau kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang seperti India dan negara-negara di Benua Afrika.

Menurut Sjostrom, Deaton membalikkan paradigma tentang teori konsumsi dan perilaku konsumen terhadap perekonomian. Salah satu paradigma menyebutkan konsumsi bergantung pada pendapatan. “Deaton melihatnya dari sudut lain.”

Deaton melihat, konsumsi tetap bisa lancar jika harga dan kualitas layanan tersedia dengan harga terjangkau. Tanpa pertambahan pendapatan, konsumsi bisa meningkat, setidaknya stabil. Ini jika pemerintah mengenali konsumen dan mampu memasok kebutuhan pada harga terjangkau dan berkualitas.

Deaton mengambil contoh saat pemerintah berencana mengenakan pajak atas makanan. Jika makanan dipajaki, harga akan meningkat. Ini akan memengaruhi konsumsi. Jika pengurangan konsumsi terjadi, warga miskin mengalami malanutrisi. Ini memperparah kemiskinan.

Sering terjadi, pemerintah abai akan efek pengenaan pajak. Pemerintah sering melihat efek pengenaan pajak secara makro dengan menggunakan data nasional. Melihat efek pajak secara makro bisa mengaburkan derita lebih parah dari kelompok warga termiskin, yang pasti lebih menderita ketimbang warga mampu.

Atas dasar ini, Deaton menekankan, kenali individu-individu sebagai konsumen. Lihat secara mendalam individu mana yang paling dirugikan.

Kacamata serupa bisa diterapkan ketika pemerintah mengenakan subsidi bahan bakar. Jangan sampai subsidi jatuh ke tangan konsumen mampu, tetapi kepada warga tak mampu.

Perhatian Deaton pada warga tak mampu sangat besar. Dia ingin melihat warga tak mampu berubah menjadi mampu lewat kepemilikan tabungan, yang kemudian berkontribusi pada investasi. Warga tak mampu bisa memiliki tabungan jika layanan pemerintah berupa subsidi bisa mengurangi pengeluaran.

bc5f044047c046ad9cef3dc31047b98aAP PHOTO/MEL EVANS

ANGUS STEWART DEATON
LAHIR:
Edinburgh, Skotlandia, 19 Oktober 1946

STATUS:
Menikah

WARGA NEGARA:
Amerika Serikat dan Inggris

PENDIDIKAN:
Kolese Fettes Edinburgh, Inggris
University of Cambridge, Inggris, dengan meraih doktor ekonomi, 1974

PEKERJAAN:
Dosen ekonomi di University of Bristol, Inggris, 1976-1983
Dosen ekonomi Princeton
University, New Jersey, AS, sejak 1980
Anggota Dewan Penasihat Ekonomi Bank Dunia, 2001
Peneliti senior di Gallup Organization, 2007
Presiden the American Economic Association, 2009

PENGHARGAAN:
Frisch Medal, 1978, untuk riset tentang perubahan permintaan konsumen Inggris
BBVA Foundation Frontiers of Knowledge Award, 2011, di AS, untuk riset-riset besar dan mendasar yang menginspirasi para ekonom besar lainnya
Hadiah Nobel Ekonomi 2015 dari Akademi Sains Kerajaan Swedia dengan hadiah 8 juta krona Swedia (sekitar Rp 13 miliar) untuk analisis ”consumption, poverty, and welfare”.

Akibat kebijakan pemerintah yang meringankan warga tak mampu, kelompok ini bisa mengalihkan pendapatan tersisa untuk kebutuhan lain, seperti pendidikan, jalan lain menuju kemakmuran. India, kini bergerak maju, adalah salah satu negara yang diuntungkan dengan saran Deaton ini.

Pesan penting Deaton, jalankan semua itu dengan memahami konsumen. Ini bisa terjadi lewat penyelenggaraan survei-survei terhadap pola pengeluaran warga. Survei ini harus rinci dan memberi data akurat sehingga memberi gambaran paling tepat tentang kebutuhan warga. Teknis pengumpulan data ini termasuk kontribusi terpenting dari Deaton.

Ini dia dapatkan saat belajar ekonomi di University of Cambridge, Inggris, tempat dia meraih gelar doktor ekonomi tahun 1974. Pandangan ekonom kondang di zamannya, Paul Samuelson, turut memengaruhi Deaton. Samuelson pernah berkata, jangan terbius dengan data makro seperti pertumbuhan ekonomi sebab tidak otomatis pertumbuhan memakmurkan semua warga. Lihatlah kelompok warga mana yang paling diuntungkan dengan pertumbuhan.

Deaton tertarik dengan kemiskinan karena pola pikir ayahnya, seorang pekerja tambang di Yorkshire. Keluarganya berasal dari keluarga sederhana.

“Orang-orang berpikir saya tidak akan bisa bersekolah. Ayah saya berpikir lain dan menekankan pendidikan. Ayah menghabiskan banyak dari gajinya untuk pendidikan saya,” kata Deaton.

Dari sini Deaton melihat kemiskinan bisa diubah jika mendapatkan pendidikan. “Dengan ketiadaan uang, Anda bisa memiliki sebuah perspektif lain,” ujar Deaton.

Saat berusia 13 tahun, Deaton disekolahkan ke Kolese Fettes di Edinburgh, Skotlandia, sekolah paling terkenal. Untungnya, Sir William Fettes menghibahkan kekayaannya demi siswa miskin lewat beasiswa. Deaton termasuk penerima beasiswa karena pintar.

Deaton terkesima dengan Sir William Fettes. Dia menilai, warga miskin bisa berubah jika elite memberikan perhatian.

Di zaman sekarang, warga miskin bisa menjadi sejahtera jika pemerintah paham kebutuhan warga. Lebih jauh lagi, Deaton mengatakan, pemerintahan dengan sistem politik yang baik, bukan politik yang mendistorsi, akan mampu menyejahterakan rakyat.

“Dan jangan biarkan kaum kaya memengaruhi kebijakan publik demi kepentingan warga kaya itu sendiri,” ujar Deaton yang saat berlibur memilih memancing di Montana, Amerika Serikat.

Saat melanjutkan kuliah, Deaton diterima di Cambridge karena pintar, didukung bakat musik dengan memainkan organ. Dia menjadi mahasiswa matematika dan menggeluti rugbi. Deaton mendadak tak tertarik matematika meski tutornya mengatakan dia jago matematika. Deaton sempat frustrasi dan mabuk-mabukan, tetapi takut pada ayahnya yang sangat berharap pada keberhasilannya.

Kemudian, Deaton ditawari bidang ekonomi. “Bidang yang saya sukai karena saya suka menjadi seorang pemikir.”—SIMON SARAGIH
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Oktober 2015, di halaman 16 dengan judul “Jangan Biarkan Kaum Kaya Mengatur”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 16 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB