Gugatan masyarakat ataupun organisasi lingkungan atas berbagai kasus kerusakan lingkungan menunjukkan tren positif. Pada sejumlah kasus, pengadilan menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat korban. Ke depan, Indonesia bisa mulai melangkah maju dengan memberi keberpihakan pada ekologis.
”Putusan-putusan hakim masih bersifat antroposentrik, yaitu menempatkan kepentingan manusia yang jadi korban. Kita bisa selangkah lebih maju, mencoba mengajukan gugatan ekologis,” kata Deni Bram, pakar hukum lingkungan dari Universitas Tarumanagara Jakarta, Senin (25/8), di Jakarta.
Ia mencontohkan kasus kematian ikan massal di Aceh dan Maninjau belum lama ini. Di Aceh, kematian massal ikan laut jenis kadra di Kali Lampaseh, Banda Aceh, diduga akibat tercemar limbah rumah tangga. Di Danau Maninjau, Sumatera Barat, kematian ikan disebabkan terlampauinya daya dukung ekosistem akibat kepadatan aktivitas budidaya keramba jaring apung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peristiwa itu merugikan secara ekonomi ataupun sosial. Namun, dampak lingkungannya relatif tak dirasakan. Padahal, ekosistem mengalami gangguan.
”Siapa membela nasib ekosistem rusak ini?” ujarnya. Organisasi lingkungan ataupun masyarakat bisa mengambil terobosan mengajukan gugatan class action mewakili ekosistem atau penghuni ekosistem terdampak.
Penerapannya, kata Deni, dimungkinkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup karena ekosistemnya telah diakui sebagai subyek hukum. Karena itu, ekosistem punya legal standing valid dan personalitas hukum.
Konstruksi hukumnya mirip gugatan masyarakat atas pemerintah yang dilayangkan Gerakan Samarinda Menggugat (GSM). Masyarakat setempat menggugat pemerintah daerah dan pusat karena terkesan membiarkan berbagai kerusakan lingkungan akibat pertambangan batubara.
Pengadilan Negeri Samarinda mengabulkan gugatan GSM, sedangkan Wali Kota Samarinda (yang tergugat) menyatakan banding. ”Kalau di GSM pakai perbuatan melawan hukum kerugian manusia, kalau dalam konteks gugatan ekologi, kerugian ekosistem yang jadi titik tekan,” ujarnya.
Putusan lain yang relatif mempertimbangkan keadilan ekologis adalah Putusan Mahkamah Agung atas kasus pertambangan bijih besi di Pulau Bangka, Sulawesi Utara. MA membela warga Pulau Bangka yang diwakili 10 orang dengan membatalkan izin usaha pertambangan eksplorasi PT MMP dari Bupati Minahasa Utara.
Secara terpisah, Muhnur Satyahaprabu, Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sepakat bahwa gugatan ekologis memungkinkan dilakukan di Indonesia. Menurut Muhnur, mekanisme gugatan ekologis juga menggunakan class action.
”Kami sedang menjajaki kasus pembangunan Waduk Kotopanjang, Riau, dan pencemaran air di Aceh. Penggugatnya nanti adalah anak-anak kecil yang terancam tak bisa menikmati kualitas lingkungan yang baik,” tuturnya. (ICH)
Sumber: Kompas, 26 Agustus 2014