Venice Biennale; Saatnya Mempromosikan Arsitektur Indonesia

- Editor

Jumat, 7 Februari 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Keikutsertaan Indonesia dalam Bienale Arsitektur di Venesia, Italia, 7 Juni-23 November 2014, akan dimanfaatkan untuk mempromosikan keberadaan arsitektur Indonesia dengan kekayaan warisan budayanya.

Kekayaan itu telah melahirkan banyak orang kreatif, termasuk arsitek dengan karya yang dikenal di dalam negeri dan mancanegara. Kurangnya promosi membuat sumbangan arsitek dan arsitektur Indonesia pada peradaban dunia kurang tampak. Bahkan, ada kecenderungan menganggap arsitektur Indonesia primitif.

Dalam perbincangan antara Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Pangestu, para kurator Indonesia, sejumlah pengusaha, dan media muncul pertanyaan tentang apa yang disebut arsitektur Indonesia. Hal ini berhubungan dengan bagaimana para kurator menampilkan arsitektur Indonesia di ajang bergengsi yang dikuratori arsitek asal Belanda, Rem Koolhaas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Koolhaas—di Jakarta pada 1952-1955—memberi tema utama Fundamentals. Absorbing Modernity 1914-2014. Para kurator Indonesia, antara lain David Hutama, Achmad Tardiyana, Setia Sopandi, dan diketuai Avianti Armand, menerjemahkan tema itu menjadi ketukangan, disajikan melalui pemakaian material kayu, batu bata, beton, metal, dan bambu.

Avianti mengatakan, ketukangan menjadi kekuatan arsitektur Indonesia untuk mengatasi keterbatasan teknologi. Namun, bukan berarti arsitektur Indonesia tidak menyerap modernitas dan menjadi modern.

Ketukangan (craftmanship) justru kembali menjadi perhatian dunia ketika berhubungan dengan, misalnya, cara merespons pengaruh dari luar. Di Indonesia respons itu mewujud melalui penggunaan materi yang paling cocok dengan alam tropis dan budaya komunal serta pengerjaan tangan yang kental. (NMP)

Sumber: Kompas, 7 Februari 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB