Lewat beasiswa, anak-anak muda dari keluarga tidak mampu mengejar mimpinya meraih pendidikan tinggi. Inilah sebagian kisah mereka.
DOKUMENTASI PRIBADI–Rachmad Adi Riyanto menjalani program doktor di Gifu University di Jepang. Ia adalah salah seorang anak muda dari keluarga tidak mampu yang berhasil meraih mimpi untuk kuliah.
Menjejakkan kaki di kampus dan menyandang status sebagai mahasiswa menjadi dambaan banyak anak muda. Namun, mimpi itu tak selalu mudah diraih, terutama oleh anak-anak muda dari keluarga tak mampu. Akan tetapi, sebagian dari mereka berhasil mengejar mimpi untuk kuliah, bahkan hingga ke jenjang tertinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rachmad Adi Riyanto (29), mahasiswa program doktoral di Gifu University, Jepang, sebelumnya tak menyangka bisa mencapai level pendidikan setinggi ini. Laki-laki yang telah piatu sejak usia 2 tahun itu bahkan pernah mengubur mimpinya untuk kuliah. Saat lulus SMP, ia ingin melanjutkan pendidikan ke jalur SMA sebagai pijakan untuk masuk ke perguruan tinggi favorit. Apa daya, ayahnya justru meminta dia agar melanjutkan pendidikan di SMKN 1 Temanggung agar bisa langsung bekerja setelah lulus.
Ayahnya yang bekerja sebagai buruh bangunan dan tukang ojek tak yakin bisa membiayai pendidikan Adi lebih dari level SMA. Adi hanya bisa pasrah. Ia pun menjalani pendidikannya di SMK pertanian itu sesuai arahan ayahnya.
Di tengah jalan, pendidikannya di SMK itu pun tak mulus. Ia hampir saja berhenti karena ayahnya tak sanggup membayar SPP. Beruntung ia mendapat bantuan. ”Kepala sekolahku baik. Dialah yang mempertahankan aku ada di sekolah,” ujar Adi, Minggu (5/7/2020), saat dihubungi di Jepang.
Adi memang anak yang cerdas dan sarat prestasi. Sejak SD, ia mencatat segudang prestasi hingga tingkat nasional. Ketika ia menjadi siswa di SMKN 1 Temanggung, ia bahkan berhasil mendongkrak prestasi SMK itu. Salah satunya lewat ajang olimpiade sains terapan nasional. Sebelum lulus SMK, ia telah ditawari pekerjaan di sebuah perusahaan yang jadi dambaan lulusan SMK pertanian.
”Saat sudah menikmati dunia kerja, ada panggilan masuk UNS tanpa tes. Selama sekolah, aku punya 13 penghargaan hingga menjadi siswa teladan tingkat kabupaten,” ujar Adi.
Adi tak menyia-nyiakan kesempatan yang belum tentu akan datang lagi, apalagi pihak Universitas Sebelas Maret (UNS) di Solo menyampaikan bahwa ia bisa mendapat beasiswa Bidikmisi. Singkat cerita, Adi akhirnya bisa mewujudkan mimpinya untuk kuliah. Pada semester satu, indeks prestasinya sempurna, 4.0.
Setelah lulus S-1, ia melanjutkan kuliah S-2 lewat jalur beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari pemerintah. Ia diterima di Leed University, Inggris, bidang ilmu pangan dan nutrisi. Tak berhenti sampai di situ, ia kembali berburu beasiswa S-3 dan mendapatkannya dari Pemerintah Jepang untuk program doktoral di Gifu University. Ia memulai kuliah sejak September 2018 dan berkahir 2021. Adi berencana bakal bertahan di Jepang seusai lulus karena ada tawaran untuk mengembangkan Indonesia-Japan Business Center, yang salah satunya bisa mengangkat produk halal Indonesia.
Perjuangan untuk kuliah juga dilakoni Fitria Tisa Oktalira (28). Seperti Adi, perempuan dari Desa Manemeng, Kecamatan Brang Ene, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, itu tak membayangkan bisa kuliah. Anak muda di kampungnya biasanya berusaha menjadi TKI setelah lulus SMA. Ibu Fito, begitu Fitri biasa disapa, juga pernah menjadi TKI.
DOKUMENTASI PRIBADI—Fitria Tisa Oktalira berhasil meraih gelar doktor dari Australian National University di Australia. Dia adalah salah seorang anak muda dari keluarga tidak mampu yang berhasil meraih doktor berkat dana beasiswa.
”Saya suka curhat sama guru BK, mau kuliah. Soalnya saya kan punya prestasi bagus, juara satu di sekolah. Tapi, ya enggak tahu bagaimana bisa kuliah karena tidak punya uang,” ujar Fito. Dari gurunya, Fito mendapat informasi soal beasiswa Bidikmisi.
Mimpi itu mulai terlihat nyata ketika ia mendapat undangan kuliah tanpa tes di Universitas Mataram (Unram). Demi mengejar mimpinya, ia pun berangkat ke Unram di Kota Mataram, Pulau Lombok. Itu adalah perjalanan pertamanya keluar Pulau Sumbawa.
Singkat cerita, ia kuliah di Jurusan Biologi di Unram, dengan dana beasiswa Bidikmisi. Setelah kuliah di Unram, ia membangun mimpi baru, yakni melanjutkan kuliah di luar negeri. ”Aku sadar karena keterbatasanku, mungkin harus berusaha tiga kali lebih keras dari anak-anak lain yang mampu, tapi aku tidak menyerah,” ucap Fito.
Mimpi itu kembali terwujud. Ia berhasil mendapatkan beasiswa LPDP dan kuliah S-2 di Australian National University (ANU), Canberra, Australia. ”Saya nekat saja untuk kuliah di luar negeri, yang penting mau belajar serius,” ujar Fito yang mendalami penelitian soal jamur.
Penelitian bersama dosennya soal konservasi anggrek yang hampir punah lewat kultur jamur dianggap penting. Berkat penelitian itu, pada tahun kedua di ANU, Fito ditawari masa perpanjangan riset hingga 2020 dengan imbalan langsung meraih gelar doktor. Fito bisa menyelesaikan riset sekaligus meraih gelar doktor. Ia akan diwisuda pada Desember 2020.
Fito mendapat tawaran untuk berkarier di kampus di ANU. Namun, lantaran pandemi Covid-19, tawaran itu menggantung. Ia pun memutuskan pulang kampung. ”Di kampung orang pada heboh, berasa banget euforianya. Enggak ada yang menyangka aku yang berasal dari keluarga tidak mampu, orangtua bercerai, bisa pulang kampung sebagai doktor,” kata Fito.
Jual pekarangan
Kegigihan untuk bisa kuliah juga ditunjukkan oleh Dwi Sendi Priyono (28) yang meraih doktornya dari beasiswa pemerintah bertajuk ”Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU)”. Padahal, awalnya untuk kuliah S-1 saja terasa berat karena tidak ada biaya. Ayahnya hanya bekerja sebagai pedagang beling dari pemulung dan penjual jajanan untuk anak-anak sekolah.
”Anak-anak sepantaran saya banyak juga putus sekolah. Biasanya lulus SMA juga langsung kerja. Saya juga sempat mikir untuk kerja,” ujar Sendi yang berasal dari Kencong, Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Sendi yang saat SMA mencetak prestasi di ajang Olimpiade Biologi hingga jadi finalis tinggkat nasional mendapat tawaran kuliah tanpa tes di Program Studi Biologi, Universitas Negeri Malang, Jawa Timur. Ayahnya begitu gembira dan mendukung Sendi untuk kuliah. Ia rela menjual pekarangan rumahnya untuk modal awal kuliah Sendi di Malang.
DOKUMENTASI PRIBADI—Dwi Sendi Priyono meraih gelar doktor dari Institut Pertanian Bogor.
Berbekal uang dari hasil penjualan pekarangan, Sendi berangkat dari Jember dengan sepeda motor ke Malang selama 5 jam. Uang itu ia pakai untuk membayar indekos dan biaya kuliah. Belakangan, ia mendapat beasiswa Bidkmisi.
”Tapi, uang beasiswa dikirim per tiga bulan. Supaya bisa hemat, saya sehari-hari makan mi instan. Kos sekamar berdua teman. Saya juga rajin ikut lomba desain dan menerima jasa edit foto supaya dapat uang,” kenang Sendi.
Sempat terpuruk di awal kuliah, Sendi mampu bangkit dan unjuk prestasi. Bahkan, ia berhasil melanjutkan kuliah ke tingkat S-2 dan S-3 di bidang genetika dan DNA. Biaya kuliah diperoleh dari PMDSU yang merupakan program percepatan dari S-2 menjadi doktor hanya dalam empat tahun. Ia kini membangun mimpi menjadi dosen atau peneliti dan berharap bisa bekerja di Wildlife Conservation Society Indonesia di Bogor sebagai spesialis konservasi genetik.
Jembatan
Beasiswa dari pemerintah terbukti menjadi jembatan bagi banyak anak muda dari keluarga tak mampu untuk mewujudkan mimpi memiliki pendidikan tinggi. Beasiswa semacam ini sekaligus membuka jalan bagi banyak anak-anak muda untuk mengubah nasibnya dan nasib keluarganya.
”Orang yang berangkat dari keluarga sederhana biasanya punya motivasi yang tinggi. Saya yakin hidup itu berjalan, ada senang dan sedih, ada susah dan bahagia, yang penting kita terus bersyukur dan berjuang,” ujar Sendi yang kini Bahagia karena hidupnya berubah.
Fito merasakan hal yang sama. Beasiswa tidak hanya membuka jalan ke tangga kesuksesan buat dirinya, tetapi juga dua adiknya. Ia menceritakan, uang beasiswa yang ia terima sebagian ia sisihkan untuk membantu kuliah dua adiknya. Kini, keluarganya menjadi insiprasi bagi banyak anak muda di kampungnya yang dulu lebih banyak bermimpi jadi TKI. ”Saya sering termenung, kok bisa ya mencapai semua ini?” ucap Fito.
Sampai sekarang Adi kadang tidak percaya ia bisa kuliah hingga level doktoral. ”Yang saya tahu, kalau kita mengusahakan sesuatu dengan baik, apa yang tidak mungkin menjadi mungkin,” katanya.
Adi belakangan menginsiasi Forum Doktor dan Mahasiswa Doktoral alumni Bidikmisi (Fordadiksi). Harapannya, forum ini bisa mendorong gerakan sosial untuk mewujudkan beasiswa bagi anak-anak Indonesia.
Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU
Editor BUDI SUWARNA
Sumber: Kompas, 7 Juli 2020