Sejumlah anak muda bergerak untuk kemajuan pendidikan negeri ini. Apa saja yang mereka lakukan?
ARSIP PRIBADI—Salmon Wahani Budisatrio (25) dalam sebuah rapat. Ia mengelola Sekolah Rumah Pelangi Indonesia Cyberschool dengan memanfaatkan pendidikan jarak jauh. Ia banyak berbagi dengan guru dan sekolah di berbagai daerah di Indonesia soal PJJ.
Berkat mimpi besar, ketekunan belajar, dan dana beasiswa, sejumlah anak muda dari keluarga tidak mampu berhasil menggapai pendidikan tinggi. Setelah lulus, mereka berusaha “membalas budi” dengan membantu anak muda lainnya yang ingin kuliah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pendidikan tinggi di Indonesia masih jadi barang mahal yang sulit untuk digapai anak-anak muda dari keluarga tak mampu secara ekonomi. Robinson Sinurat (30) sangat paham kondisi itu. Ia dulu nyaris tidak bisa kuliah lantaran orangtuanya yang seorang petani di Tanjung Beringin, Sidikalang, Sumatera Utara, tidak memiliki biaya.
Robinson tidak menyerah pada keadaan. Ia gigih belajar dan akhirnya diterima di Universitas Sriwijaya (Unsri), Palembang tahun 2009.
Untuk membiayai pendidikan, orangtua Robinson terpaksa meminjam uang kepada sahabatnya. Dengan uang pinjaman itulah, Robinson bisa mendaftar ulang di Unsri dan memegang sedikit uang untuk biaya hidup di rantau. Kadang ia memilih menahan lapar demi menghemat pengeluaran harian.
Perjalanan beratnya untuk mencecap pendidikan tinggi dibayar tuntas dengan kesuksesan. Setelah lulus dari Unsri, ia berhasil meraih beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari pemerintah untuk kuliah di Columbia University, Amerika Serikat. Pencapaian yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan.
Robinson merasa, ia bisa melangkah sejauh itu lantaran ia memiliki mimpi besar. Ia membayangkan jika mimpi besar itu juga dimiliki oleh anak-anak lain, termasuk anak-anak muda dari keluarga tidak mampu.
Ketika menjalani kuliah S2 di AS, Robinson menggagas komunitas Mimpi Besar pada 2018. Kegiatan awalnya adalah membiayai kegiatan sukarelawan mahasiswa di sebuah SMA di pelosok Sumatera Utara. Sukarelawan itu menggelar survei yang hasilnya membuat Robinson prihatin. Betapa tidak, hanya 3-7 persen siswa di sekolah itu yang berani bermimpi untuk kuliah. Sisanya tidak berani bermimpi sama sekali. Selain itu, mayoritas siswa tidak tahu informasi soal perkuliahan dan aneka beasiswa yang disediakan pemerintah maupun swasta.
DOKUMENTASI PRIBADI—Robinson Sinurat menggagas gerakan sosial mimpibesar.id untuk membantu mahasiswa dari keluarga tak mampu agar bisa kuliah.
Robinson makin terobsesi untuk mendorong anak-anak muda agar punya mimpi besar. Maka, pada 2020 komunitas Mimpi Besar ia jadikan yayasan. Lewat yayasan itu, ia memotivasi anak-anak muda yang kurang beruntung secara ekonomi, untuk bermimpi meraih pendidikan tinggi.
“Saya ini contoh nyata, anak kampung dari petani miskin yang hampir tidak bisa kuliah, tapi tidak mau menyerah meraih mimpi karena keterbatasan. Di luar sana, banyak orang baik yang bersedia membantu,” kata Robinson, salah satu dari 20 anak muda penerima beasiswa pemuda ASEAN yang meraih fellowship di Nebraska University, AS.
Tidak hanya memotivasi, Robinson juga berusaha menggalang dana masyarakat lewat situs kitabisa.com agar bisa membantu uang kuliah 100 orang mahasiswa dari keluarga tidak mampu. Sebagian dana lainnya dipakai untuk memberikan pelatihan keterampilan tambahan (softskills).
Perahu masa depan
Safhira Alfarisi (21) punya misi serupa. Anak muda yang bisa kuliah di Institut Pertanian Bogor dengan dana beasiswa dari kampus itu, mendirikan Yayasan Beasiswa 10.000. Yayasan ini menggalang sukarelawan dari kalangan anak muda di berbagai daerah untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Mereka antara lain memberikan bimbingan belajar gratis dan sekolah bakat gratis bagi siswa SD, SMP, dan SMA.
“Aku tekankan yayasan ini sebagai perahu yang menaungi anak-anak muda yang mau berkontribusi bagi pendidikan anak bangsa. Aku ingin yayasan ini bisa menyebar anak muda ke penjuru negeri untuk membantu pendidikan,” ujar Safhi.
Di tempat lain, Rachmad Adi Riyanto mencoba berkontribusi untuk pendidikan dengan menggagas kanal Kenal Jurusan. Gagasan itu muncul lantaran ia melihat banyak calon mahasiswa yang bingung memilih jurusan yang sesuai dengan minatnya. Mereka pun mengambil sembarang jurusan yang ternyata tidak sesuai dengan minatnya.
“Akhirnya banyak mahasiswa merasa kuliah di jurusan yang tidak sesuai minat mereka,” ujar anak muda dari keluarga tidak mampu yang bisa kuliah S1 hingga S3 berkat beasiswa dari pemerintah itu, Senin (21/09/2020).
Adi mengajak Sarah Najmilah (27) dan M Fadli Azis, sesama penerima beasiswa LPDP, untuk menjalankan Kenal Jurusan. Mereka ternyata tertarik dan memiliki visi yang sama. Mereka pun merancang Kenal Jurusan sebagai kanal yang menyediakan informasi lengkap tentang jurusan-jurusan yang ada di tiap kampus. Belakangan, Kenal Jurusan dikembangkan menjadi medium untuk konsultasi pendidikan.
DOKUMENTASI PRIBADI—Rachmad Adi Riyanto (30), yang saat ini kuliah program doktor di Jepang, mengajak temannya sesama penerima beasiswa pemerintah, untuk berkontribusi kembali pada dunia pendidikan. Mereka membuat kanal informasi di media sosial Kenal Jurusan untuk membantu anak-anak muda Indonesia mendapat informasi soal pilihan jurusan di perguruan tinggi dan beasiswa.
Kanal Kenal Jurusan bisa diakses secara gratis. Sekolah-sekolah yang ingin mendapatkan informasi lebih lengkap bisa mengundang pengelola Kenal Jurusan untuk bicara di webinar yang mereka gelar. Selain itu, pengelola Kenal Jurusan sendiri rajin membuat webinar dan mengundang banyak alumni penerima beasiswa Bidikmisi yang suskes kuliah hingga tingkat doktoral di dalam dan luar negeri. Mereka biasanya akan bercerita tentang aneka jurusan di kampusnya dan memberi motovasi pada peserta webinar.
Sebagai catatan, beasiswa Bidikmisi adalah beasiswa yang ditujukan untuk siswa-siswa berprestasi dari keluarga tidak mampu secara ekonomi.
Melayani
Tidak hanya mahasiswa dengan belakang keluarga tidak mampu yang memiliki kepedulian. Salmon Wahani Budisatrio (25) yang berasal dari keluarga cukup mampu pun melakukan yang sama. Lulusan S1 program gelar ganda Teknologi Informatika dan Matematika Universitas Bina Nusantara Jakarta itu, sejak tiga tahun lalu mengelola lembaga pendidikan nonformal dan formal milik keluarga.
Lewat sekolah itu, Salmon melayani ratusan anak dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan sampai luar negeri. Dengan cara itu, ia ingin berkontribusi pada kemajuan pendidikan Indonesia, khususnya dalam pengembangan pendidikan jarak jauh (PJJ) atau daring.
Salmon yang sejak SD-SMA menjalani pendidikan sekolah rumah atau homeschooling Pelangi Indonesia Cyberschool di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, ia tidak asing lagi dengan sistem PJJ. “Kami yang menjalani sekolah rumah sudah mengenal belajar online, meskipun belum full. Saya mengimplementasikan ide untuk mengembangkan platform PJJ di sekolah kami. Ternyata saat pandemi Covid-19, PJJ dibutuhkan semua sekolah,” ujar Salmon yang aktif di Perkumpulan Cyberschool dan Sekolah Online Indonesia (PACSI).
Sayangnya, lanjut Salmon, banyak guru dan sekolah yang belum siap menjalankan PJJ. Karena itu, Salmon berbagi pengalaman soal PJJ dengan guru di Jakarta hingga ke pulau lain. Pada 2019, misalnya, ia berbagi pengalaman pada ratusan guru di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur.
Di usianya yang masih muda, Salmon percaya diri mengembang tugas sebagai Kepala Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Pelangi Indonesia Cyberschool dan Kepala SMK Fensensius Jakarta. Dia bersama keluarganya juga mendirikan lembaga nonprofit Yayasan Satriabudi Dharma Setia yang bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan.
“Akses pendidikan berkualitas harus jadi milik semua anak di semua sekolah. Saya yakin dengan bantuan teknologi, pembelajaran berkualitas bisa lebih mudah diberikan secara merata. Saya merasa senang bisa berbagi dengan guru dan sekolah dari berbagai daerah,” ujar Salmon.
Begitulah, dengan cara mereka sendiri-sendiri, anak-anak muda itu berusaha memajukan dunia pendidikan di Indonesia.
Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU
Editor: BUDI SUWARNA
Sumber: Kompas, 23 September 2020