Optimalkan Potensi Diaspora untuk Riset dan Inovasi

- Editor

Sabtu, 11 April 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Potensi para peneliti asal Indonesia yang berada di banyak negara perlu dioptimalkan untuk mendukung penanggulangan Covid-19. Pemerintah Indonesia mesti menjembatani peneliti dan industri untuk hilirisasi hasil riset.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyaring cairan antiseptik (hand sanitizer) setelah dicampur dan direaksikan di Laboratorium Pusat Penelitian Kimia LIPI, Puspitek, Tangerang Selatan, Banten, Senin (6/4/2020). Cairan antiseptik buatan LIPI ini didonasikan kepada instansi dan organisasi yang berada pada garda terdepan penanganan pandemi Covid-19 di Tanah Air.

Riset dan inovasi turut menentukan kemajuan suatu bangsa. Karena itu, budaya riset nasional perlu dikembangkan agar bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan nasional. Untuk itu, potensi para peneliti perlu dioptimalkan, termasuk oleh para peneliti Indoneisa yang ada di luar negeri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, para peneliti diaspora yang tersebar di banyak negara diharapkan berkontribusi memberi solusi bagi masalah nasional. Itu bisa dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19, penyakit yang disebabkan virus korona (corona) baru yang terjadi saat ini.

”Kita ingin tentunya para diaspora di tengah kesibukannya masing-masing bisa memberi kontribusi terkait masalah yang kita hadapi saat ini, yakni Covid-19. Untuk mendukung hal itu kita luncurkan program skema kolaborasi riset-inovasi diaspora,” tuturnya dalam diskusi tanpa tatap muka, Kamis (9/4/2020), di Jakarta.

Berdasarkan data Sekretariat Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, total ilmuwan diaspora di seluruh dunia ada 477 orang. Dari jumlah itu, para ilmuwan tersebar di Asia Tenggara (120 orang), Asia Timur (92 orang), Eropa (43 orang), Inggris (34 orang), Amerika dan Kanada (105 orang), Timur Tengah-Afrika (14 orang), dan Australia (70 orang).

Menurut Bambang, potensi diaspora Indonesia yang tersebar di banyak negara ini cenderung terabaikan. Karena itu, pemerintah saat ini berupaya meningkatkan perhatian terhadap potensi yang dimiliki tersebut agar dapat memberikan sumbang sih bagi kemajuan bangsa.

Sebagai langkah awal, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional resmi meluncurkan program kolaborasi riset-inovasi diaspora. Dalam program itu, pemerintah melalui pendanaan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) akan menyediakan anggaran riset maksimal Rp 2 miliar per tahun dengan durasi maksimal tiga tahun bagi para peneliti diaspora.

KOMPAS/KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI–Hasil riset jangka menengah dari Konsorsium Riset dan Inovasi Penanganan Covid-19.

Topik prioritas
Secara teknis, para peneliti atau perekayasa dapat mengusulkan proposal penelitiannya paling lambat pada 30 Mei 2020. Adapun topik prioritas yang ditentukan untuk mendukung penanganan Covid-19, antara lain, terkait ilmu kesehatan, ilmu ekonomi, ilmu tanaman, ilmu sosial/ humaniora, ilmu teknik, dan ilmu hewani.

”Tentunya prioritas pemilihan pada penelitian yang sifatnya jangka panjang. Jadi, tidak mungkin ada tumpang tindih hasil penelitian dengan yang sekarang juga dikembangkan di dalam negeri. Menurut rencana, program ini akan dibuka setiap tahun dengan topik yang berbeda,” kata Bambang.

Direktur Utama LPDP Rionald Silaban menambahkan, program ini diharapkan mendorong terciptanya kolaborasi riset antara periset nasional dan periset diaspora. Hal ini penting untuk meningkatkan riset nasional sekaligus membuka ruang kontribusi bagi diaspora yang ingin membangun kemandirian teknologi dan daya saing iptek nasional.

Meski begitu, salah seorang diaspora yang berada di Inggris, Sarinova Simanjuntak, menuturkan, pemerintah diharapkan menjadi jembatan penghubung antara peneliti dan industri. Hilirisasi riset biasanya sulit dicapai karena terkendala kerja sama dengan industri. ”Pemerintah perlu hadir untuk mempertemukan hasil riset dengan kebutuhan industri,” ucapnya.

Oleh DEONISIA ARLINTA

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 10 April 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB