Sejumlah studi menunjukkan, penggunaan masker bisa mencegah risiko penularan Covid-19. Jadi, sekarang saatnya kita memakai masker saat di luar rumah. Jika negara tak bisa memenuhi kebutuhan itu, warga bisa membuatnya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO–Penjual menata masker dari kain katun yang dijual di pinggir Jalan Perjuangan, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (2/4/2020). Satu masker dijual Rp 15.000. Sejak pandemi Covid-19, dalam seminggu terakhir ini penjual dalam sehari meraup omzet hingga Rp 1 juta.
Jika sebelumnya dikampanyekan masker hanya untuk yang sakit, nasihat itu kini harus direvisi. Masker terbukti efektif dipakai di wilayah pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru. Namun, karena ketersediaan masker di pasar saat ini amat terbatas dan seharusnya diprioritaskan untuk medis, warga bisa membuat masker sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejauh ini hanya menyarankan menjaga jarak minimal 1 meter akan mengurangi risiko menderita Covid-19. Asumsinya, virus SARS-CoV2 pemicu Covid-19 itu hanya bisa menular melalui cairan pernapasan saat batuk atau bersin. Karena itu, mereka menganjurkan masker hanya diprioritaskan untuk yang sakit dan yang merawat pasien.
Hal ini juga berkali-kali disampaikan Kementerian Kesehatan Indonesia. Namun, setelah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dinyatakan positif Covid-19, beberapa pejabat, termasuk Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, tampil dengan memakai masker saat berada di ruang publik.
Banyak penelitian memberikan fakta terbaru. Sebagai contoh, kajian peneliti di Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Cambridge, Ameriksa Serikat, Lydia Bourouiba, menggunakan kamera berkecepatan tinggi dan sensor lain untuk menilai secara tepat apa yang terjadi setelah batuk atau bersin.
Mereka menemukan, pernapasan menghasilkan awan kecil gas yang bergerak cepat dan dapat berisi tetesan cairan berbagai ukuran dan yang terkecil darinya dapat dibawa di awan dalam jarak jauh. Kajian yang dipublikasikan di Journal of the American Medical Association pada 26 Maret 2020 ini menyebutkan, dalam kondisi laboratorium, batuk dapat menyemprotkan cairan hingga 6 meter dan bersin dapat mencapai 8 meter.
Berdasarkan temuan ini, Bourouiba mengatakan, dalam situasi tertentu, terutama di dalam ruangan tertutup, pemakaian makser akan mengurangi risiko karena cairan yang membawa virus bisa melayang di udara dalam rentang lebih jauh dari perkiraan sebelumnya.
”Masker tipis tidak akan melindungi dari menghirup partikel terkecil di udara karena mereka tidak memberikan penyaringan. Namun, mereka berpotensi mengalihkan awan (tetesan) yang dipancarkan dengan momentum tinggi ke samping alih-alih masuk ke mulut kita,” kata Bourouiba.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Pembeli mengenakan masker saat berbelanja sayur di pedagang sayur keliling di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (24/3/2020). Pembatasan sosial yang memaksa orang untuk berdiam di rumah saat pandemi Covid-19 melanda Tanah Air menjadi berkah bagi pedagang sayur keliling. Omzet dagangan mereka naik sekitar 50 persen dibanding sebelum wabah melanda.
Pemakaian masker yang luas, menurut studi Suess T dari Robert Koch Institute, Jerman, yang dipublikasikan di jurnal BMC Infectious Diseases (2012), terbukti amat efektif untuk mengurangi infeksi virus influenza selain anjuran rajin mencuci tangan dan menjaga jarak fisik.
Pejabat kesehatan di China, Hong Kong, Singapura, dan Jepang telah menyarankan agar orang mengenakan masker dalam situasi tertentu, misalnya jika berada di tempat ramai atau padat dan ruang tertutup seperti pesawat terbang.
Panel Ahli WHO David Heyman, kepada BBC pada 2 April 2020, mengatakan, riset baru dari MIT dan lembaga lain akan jadi pertimbangan penting dan ”mungkin memakai masker sama efektif atau lebih efektif daripada menjaga jarak aman”. Namun, masker harus dipakai dengan benar dan tertutup. Saat melepasnya juga harus hati-hati agar tangan tidak terkontaminasi.
Masker rumahan
Elaine Shuo Feng, ahli epidemiologi dan ahli statistik di University of Oxford, yang timnya menerbitkan kajian di jurnal The Lancet pada 20 Maret 2020 sebagai perbandingan dari berbagai rekomendasi masker dari otoritas kesehatan, menyimpulkan, penggunaan masker efektif meredam penyebaran Covid-19 di sejumlah negara Asia, termasuk China, Singapura, dan Jepang.
”Faktor kunci yang mendorong otoritas kesehatan untuk mencegah pemakaian masker adalah persediaan yang terbatas,” ungkapnya.
Ketika korona mewabah hampir di seluruh dunia, kebutuhan masker melonjak tinggi. Hal itu bisa menyebabkan pihak yang lebih membutuhkan, dalam hal ini tenaga medis dan petugas laboratorium yang bekerja dengan sampel virus, akan kesulitan mendapatkannya.
Menurut epidemiolog Indonesia yang juga kandidat doktor dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, masyarakat di Indonesia, khususnya di daerah yang jadi pusat wabah Covid-19, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang Selatan, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), sudah harus selalu memakai masker saat keluar dari rumah.
Ada contoh kasus nyata di Ceko yang memberlakukan penggunaan masker sejak 18 Maret 2020, dan terlihat ada penurunan signifikan angka kasus infeksi Covid-19 harian, dari 20 persen menjadi 6 persen. ”Tidak harus masker medis, apalagi N95. Itu prioritas bagi tenaga medis. Kalau tidak ada masker medis, bisa memakai masker buatan rumahan dari kain,” ujarnya.
”Meski tidak melindungi diri 100 persen, hal itu bisa mengurangi risiko penularan seperti ditunjukkan sejumlah studi,” ujarnya.
Idealnya, pemerintah mengatur ketersediaan masker kesehatan dan tidak diserahkan ke pasar karena pasti ada penimbun. Di negara lain, ada pembagian masker.
Jadi, sekarang saatnya kita memakai masker. Jika negara tak mampu melakukannya, masyarakat bisa membuatnya sendiri, seperti dimulai di sejumlah komunitas.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 3 April 2020