Kondisi lalu lintas sehari-hari di kota-kota di Indonesia terlihat semrawut, jauh dari tertib. Lalu lintas di jalanan sepertinya tidak ”berpola”, tidak menunjukkan adanya keteraturan.
Para pemakai jalan—pejalan kaki, pesepeda, pengendara roda dua (motor) dan empat (mobil), serta angkutan umum—berjalan semaunya sendiri, tidak memperhatikan aturan berlalu lintas. Menyeberang di sembarang tempat, trotoar dipakai roda dua, berhenti tiba-tiba dan bukan pada tempatnya, berbelok dan berbalik arah sembarangan.
Tak pelak lagi, kemacetanlah yang terjadi! Ironisnya, kemacetan itu lebih banyak didorong perbuatan pemakai jalan yang menonjolkan kepentingan pribadi, bukan melulu karena alasan jalannya kecil atau sempit atau karena terlalu banyak kendaraan di jalan. Itulah keadaan lalu lintas yang polanya acak-acakan, yang menyebabkan rawan terjadi kecelakaan.
Elite yang tak beradab
Lebih ironis lagi, selain terjadi di depan pasar tradisional yang penjajanya menggelar dagangan hingga ke badan jalan atau di depan supermarket dan mal, kesemrawutan lalu lintas ini juga terjadi di depan gedung-gedung sekolah, termasuk di sekolah dan kampus favorit. Mungkin bisa dikatakan, di depan gedung-gedung sekolah yang megah dan mentereng tersebut identik dengan ketidaktertiban lalu lintas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, institusi sekolah itu di samping tempat mengasah otak (intellectual exercise) untuk menambah dan memperluas wawasan agar para peserta didik dapat menganalisis berbagai gejala alam dan manusia, juga mengajarkan kedisiplinan. Tetapi ternyata di lingkungan sekolah itu justru kentara ketidakteraturan lalu lintas. Terkesan para sivitas akademika, siswa, karyawan, mahasiswa, pengajar, guru, dan dosen berperilaku seenaknya, bertindak egosentris dalam memakai jalan. Mereka yang dikategorikan kaum terpelajar, anak-anak bangsa terpilih yang akan memimpin bangsa, ternyata sama saja dengan golongan lain dalam menciptakan
kesemrawutan lalu lintas.
Kenapa, kok, kaum terpelajar yang merupakan kelas elite tidak memperlihatkan sikap yang tertib dan teratur, berdisiplin? Bukankah kaum elite itu, dalam perspektif historis-sosiologis, menunjuk pada insan-insan yang selalu berupaya keras berpegang pada aturan, norma, keadaban, dan etika yang berlaku, yang mereka sendiri membuatnya?
Tidakkah golongan elite ini dalam bersikap selalu dipenuhi dengan tindak-tanduk kesopansantunan dan ketenangan? Bukahkah kaum elite ini disebut sebagai kelompok strategis yang selalu berkreasi dan mengembangkan peradaban lewat pemikiran-pemikiran metodis dan reflektif serta melakukan tindakan-tindakan yang berdisiplin?
Mengapa kaum terpelajar kita dalam perbuatannya, kok, jauh dari cerminan sebagai kelas elite yang membangun kebudayaan yang beradab?
Kedisiplinan di ruang publik, termasuk di jalan, merupakan salah satu penanda masyarakat beradab (civil society). Namun, pada masyarakat kita hal itu belum banyak terwujud karena kaum terpelajarnya pun—golongan yang seharusnya berada di baris terdepan dalam mengadakan masyarakat—menjadi bagian dari pembuat kesemrawutan. Karena itu, Robert W Hefner, pengkaji kebudayaan kontemporer Indonesia, menyebut, hidup keseharian warga negara-bangsa Indonesia relatif jauh dari keadaban.
Tak beda dengan awam
Pendidikan tidak melulu mengajarkan ilmu pengetahuan serta keahlian dan keterampilan (pendidikan kognitif dan motorik), tapi juga mengajari peserta didik mengembangkan perilaku yang didasari aturan-aturan kedisiplinan (pendidikan afektif).
WF Wertheim, yang meneliti tentang perubahan sosial di Indonesia mulai tahun 1950-an, menemukan bahwa telah terjadi perubahan posisi sosial, dengan munculnya elite-elite baru, kaum terpelajar, orang-orang berpendidikan, yang mendesak kaum bangsawan. Di antara mereka itu ada yang jadi pejabat tinggi, politisi, saudagar atau pengusaha, konsultan teknik dan jasa, yang menempati posisi-posisi strategis dalam pengambilan keputusan penting bagi publik.
Namun, kemunculan elite-elite baru itu tidak berbanding lurus dengan perubahan sikap. Perilaku elite baru itu relatif sama dengan golongan kebanyakan. Yang membedakannya hanya kaum elite itu mempunyai dan menguasai sarana ekonomi yang mampu memakai barang-barang konsumsi bermutu, lebih mewah, dan beragam. Tetapi pada tingkatan sikap, mereka tak berbeda jauh dengan kaum awam lain: kurang berkonsentrasi dalam menjalani profesi, jauh dari kedisiplinan, malah yang menonjol adalah sikap arogansi, mempertunjukkan gaya hidup glamour, dan tindak-tanduk snobis.
Dengan demikian, walau pendidikan sekolah telah memunculkan kaum elite baru, bahkan hingga kini pendidikan sekolah ini tetap merupakan sarana bagi warga negara yang ingin naik kelas sosial-ekonomi, perubahan yang dibawanya lebih pada tataran fisik-material-ekonomi, belum mengubah perilaku.
Pendidikan sekolah ini tampaknya belum dapat mengubah tataran psiko-kultural peserta didik, tetapi baru mampu sebatas mendorong peserta didik untuk dapat mengasah otak. Sementara kemampuan untuk mengubah menjadi manusia yang berdisiplin masih terbatas. Dengan kata lain, pendidikan sekolah ini baru bisa mengubah tataran kognitif, belum tataran afektifnya.
Tampaknya pendidikan sekolah di Indonesia hingga sekarang ini lebih menekankan pendidikan kognitif, yakni bagaimana agar peserta didik menjadi pintar secara intelektual.
Padahal, hasil penelitian psikologis dan sosiologis menunjukkan, penekanan yang relatif berlebih pada pendidikan afektif sampai tingkat sekolah menengah akan merangsang pada percepatan kemampuan kognitif peserta didik. Jadi, dalam perspektif ini, orang yang disiplin cenderung pintar. Sebab kedisiplinan mendahului kepintaran!
(Budi Rajab, Pengajar Jurusan Antropologi, FISIP Unpad)
Sumber: Kompas, 26 Oktober 2013