CATATAN IPTEK
Orang yang buta huruf pada Abad ke-21 bukanlah meeka yang tidak bisa baca tulis, tetapi mereka yang tidak bisa belajar, menyampaikan pikirannya, dan kembali belajar. (Alvin Tofler)
Sekalipun angka buta aksara di Indonesia tinggal 2,06 persen (Badan Pusat Statistik, 2019), namun kita juga tergolong bangsa paling tuna literasi, terutama literasi sains.
Peringatan dari Toflers dalam bukunya Powershift (1991) masih relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Sekalipun angka buta aksara di Indonesia tinggal 2,06 persen (Badan Pusat Statistik, 2019), namun kita juga tergolong bangsa paling tuna literasi, terutama literasi sains.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagaimana didefinisikan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa (Unesco), literasi merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, berkomunikasi, dan menghitung menggunakan bahan cetak dan tertulis yang terkait dengan konteks.
KOMPAS/RUNIK SRI ASTUTI–Diskusi tentang upaya menggiatkan literasi di Kampung Literasi Tapak Kali Bendo, Sidoarjo, Rabu (7/8/2019)KOMPAS/RUNIK SRI ASTUTI
Sedangkan literasi sains bisa dimaknai sebagai kemampuan untuk memahami ilmu pengetahuan, mengidentifikasi pertanyaan, hingga memproduksi pengetahuan baru berbasis bukti-bukti ilmiah.
Indikasi dari buruknya literasi kita ini terlihat dari survei Programme for International Student Assessment (PISA) selama 15 tahun yang selalu menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat literasi sains terbawah. Pada tahun 2016, skor PISA Indonesia peringkat 62 dari 70 negara untuk matematika, membaca, dan sains.
Survei Progress International Reading Literacy Study (PIRLS) 2011 juga menempatkan kemampuan memahami dan keterampilan menggunakan bahan-bahan bacaan, khususnya teks dokumen, pada anak-anak Indonesia usia 9-14 tahun berada di peringkat 45 dari 48 negara.
Rendahnya literasi sains ini juga terjadi hingga di level perguruan tinggi (PT). Menurut Webometrics (2016) perguruan tinggi di Indonesia baru bisa menempati ranking ke-761 (UGM), 849 (UI), dan 939 (ITB). Sedangkan berdasarkan data QS Top Universities Asia, 100 PT terbaik di Asia 2016 di dominasi PT asal Singapura, Hongkong, China, Jepang, India, dan Korea Selatan. PT di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-67 diwakili UI dan peringkat ke-86 ditempati ITB. Jangan kaget jika penelitian Pritchett (2016) menunjukkan keahlian tenaga kerja lulusan pendidikan tinggi di Indonesia setara tenaga kerja lulusan SMA ke bawah di Denmark.
Rendahnya posisi perguruan tinggi di Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari produksi publikasi ilmiah. Walaupun belakangan, menurut data Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Juli 2019), publikasi ilmiah dari Indonesia di jurnal internasional pertama kali menjadi yang tertinggi di ASEAN.
Meningkatnya publikasi ilmiah menjadi indikasi baik, sekalipun literasi sains juga menuntut diseminasi ilmu pengetahuan ke publik, yang salah satunya bisa dilihat dari jenis buku yang beredar di pasaran. Dari 68.290 judul buku yang diterbitkan di Indonesia pada 2018, sebagian besar berupa karya fiksi. Data penjualan jaringan toko buku Gramedia pada 2018 menunjukkan, sebanyak 18,6 persen buku yang terjual berupa novel, disusul buku anak-anak 12,7 persen, buku pelajaran 12,6 persen, dan buku agama 12,4 persen.
Buku-buku sains populer sains populer karya penulis Indonesia nyaris tak ada. Kalaupun beredar di pasaran, sebagian besar merupakan karya terjemahan. Memproduksi buku sains populer tak mudah. Selain menuntut riset panjang, idealnya buku-buku sains populer ditulis oleh para pakar yang faham tentang sains, yang dibahasakan untuk publik. Sudah sulit prosesnya, buku-buku ini cenderung tidak laku. Tidak mengherankan jika beberapa penulis berlatar belakang sains memilih menulis fiksi.
Padahal, publik Indonesia butuh literasi sains. Ini ditandai dengan luasnya peredaran pseudosains di negeri ini, seperti fenomena anti-faksin dan maraknya komunitas “bumi datar”. Posisi Indonesia sebagai peringkat pertama yang menyangkal bahwa perubahan iklim disebabkan ulah manusia dalam survei YouGov-Cambridge Globalism Project 2019 di 23 negara menyebut juga menjadi indikasi buruknya literasi sains di masyarakat.
Meski demikian, menurut data Kepustakaan Populer Gramedia, belakangan minat anak-anak muda untuk membaca buku-buku sains populer terjemahan mulai meningkat. Itu misalnya terlihat dari buku terjemahan karya Yuval Noah Harari, Homo Sapiens yang telah cetak ulang tujuh kali sejak diterbitkan pada 2017. Mereka pun mulai menerbitkan ulang buku-buku sains populer yang telah lama diterjemahkan namun dulu sepi peminat, seperti buku Richard Leakey tentang Asal-Usul Manusia dan Ernsr Mayr tentang Evolusi.
Fenomena ini seharusnya dibaca sebagai peluang untuk membangun literasi sains kita. Oleh karena itu, inisiasi yang dilakukan oleh Komite Buku Nasional, yang memberikan dukungan dan residensi bagi penulis, seharusnya lebih banyak lagi diberikan bagi penulis sains populer, tidak hanya bagi penulis fiksi atau penulis perjalanan.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 11 September 2019