Produksi pertanian untuk pangan menjadi faktor utama degradasi lingkungan dan menyusutnya keragaman hayati. Dengan memilih ragam pangan lokal yang diproduksi secara berkelanjutan, kita bisa turut mengurangi tekanan terhadap lingkungan.
Ajakan untuk kembali ke ragam pangan lokal ini disampaikan sejumlah pembicara dalam diskusi tentang di Nusa Gastronomi, Jakarta, Rabu (22/5) malam. Diskusi tersebut merupakan bagian dari peluncuran kampanye “Pangan Bijak Nusantara” yang diinisiasi konsorsium lima lembaga, bertepatan dengan peringatan Hari Keragaman Hayati Internasional.
–Koalisi sejumlah LSM mengajak untuk kembali ke ragam pangan lokal dalam diskusi tentang di Nusa Gastronomi, Jakarta, Rabu (22/5) malam. Diskusi ini merupakan bagian dari peluncuran kampanye “Pangan Bijak Nusantara” yang diinisiasi konsorsium lima lembaga, bertepatan dengan peringatan Hari Keragaman Hayati Internasional. Kompas/Ahmad Arif
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kelima lembaga tersebut adalah Hivos, WWF-Indonesia, NTFP-EP (Non-Timber Forests Products-Exchange Programme Indonesia), ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro), dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). Acara itu juga diikuti sejumlah chef atau ahli masak.
Aditya Bayunanda, Direktur Kebijakan dan Advokasi WWF-Indonesia mengatakan, “pangan bijak”merupakan solusi untuk mengurangi tekanan produksi dan konsumsi sektor pangan terhadap lingkungan, sekaligus memitigasi pencemaran air, tanah dan udara.
Kategori pangan bijak yang dimaksud dalam kampanye ini jika memiliki sejumlah prinsip, di antaranya bersifat lokal atau setempat, adil bagi konsumen dan produsen, sehat dalam artian organik, dan lestari. Aspek lestari jika produksinya dengan memperhitungkan lingkungan dan keanekaragaman sumber pangan.
Direktur Regional Hivos Asia Tenggara Bianchi Upadhyaya menambahkan, pangan bijak, bukan hanya untuk kelestarian lingkungan. Namun, hal ini juga untuk memastikan keberlanjutan kehidupan masyarakat yang sejahtera dan sehat. “Konsorsium juga mengadvokasi kebijakan dan mendorong praktik produksi pangan lokal yang menghargai aspek-aspek kesehatan, keadilan ekonomi dan kelestarian lingkungan,” ujarnya.
Beberapa contoh produk yang ditampilkan dalam acara itu di antaranya beras adan krayan dari dataran tinggi Krayan, Kalimantan Utara, garam grosok dari Rembang, Jawa Tengah, minyak kelapa murni dari Nias, Sumatera Utara, gula semut aren asal Kolaka, Sulawesi Tenggara, madu hutan dari Danau Sentarum, Kalimantan Barat, dan kopi toraja dari Sulawesi Selatan, serta sagu dari Sungai Tohor, Riau. Semua produk ini dihasilkan petani lokal dan dianggap telah memenuhi berabagai kriteria pangan bijak yang bisa dipilih konsumen.
KOMPAS–Penjual kopi bubuk di Pasar Bittuang, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Jumat (19/1/2018). Kopi bubuk dijual mulai Rp. 10.000 (kiri), Rp 20.000 (tengah) dan Rp. 25.000 (kanan)Kompas/Agus Susanto (AGS)
Cristina Eigenter dari WWF Indonesia mengingatkan, laporan terbaru panel ahli Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES)-Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2019 menyebutkan, kegiatan pertanian dan peternakan memiliki dampak terbesar pada ekosistem yang menyebabkan satu juta spesies flora dan fauna menuju kepunahan.
Sejumlah kendala
Chef Nusa Gastronomi, Ragil Imam Wibowo mengatakan, pangan bijak seharusnya juga menerapkan kriteria enak sehingga bisa diterima masyarakat secara luas. Untuk bisa menghasilkan makanan yang enak, dibutuhkan bahan bermutu dan kemauan berinovasi terhadap kekayaan kuliner daerah.
Menurut Ragil, Indonesia memiliki banyak bahan pangan lokal bermutu dan banyak di antaranya dikenal di luar negeri. Salah satunya beras adan krayan yang amat populer di Brunei. Namun, bahan-bahan berkualitas itu susah didapatkan di pasaran. “Saya sering ke daerah-daerah untuk menemui petaninya langsung dan kemudian minta dikirim bahannya. Seringkali ongkos kirim lebih mahal,” ujarnya.
KOMPAS/DANU KUSWORO (DNU)–Petani menyiapkan bibit padi jenis Adan. Kecamatan Krayan terkenal hingga Malaysia dan Brunei Darussalam karena varietas beras jenis Adan yang dihasilkan melalui pertanian organik.Kompas/Danu Kusworo (DNU)
Nur Avianto dari Direktorat Pangan dan Pertanian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan, diversifikasi pangan lokal memang masih menghadapi banyak kendala. Meski ada sejumlah perundangan yang mendukung pengembangan pangan lokal, salah satunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengamanatkan pengembangan pangan lokal, praktiknya menemui banyak kendala.
“Implementasi program juga kerap belum mendukung kebijakan ini, misalnya yang kerap dikritik adalah cetak sawah baru yang menggusur pangan lokal, seperti terjadi di Flores beberapa waktu lalu,” ungkapnya.
Untuk itu, ke depan sinkronisasi kebijakan tentang diversifikasi pangan lokal akan diperbaiki. “Kita mempunyai banyak sumber pangan lokal, namun industri juga belum siap. Cetak sawah baru masih akan dilakukan, tetapi tidak sebesar dulu yang awalnya ditarget 1 juta dalam 5 tahun. Sekarang hanya sekitar 12.000 per tahun dan tidak boleh lagi mengganggu pangan lokal,” katanya.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 24 Mei 2019