Potensi data sektor kesehatan di Indonesia belum termanfaatkan secara optimal. Padahal, data itu bisa digunakan untuk hal positif, seperti bahan riset dan antisipasi penyakit. Integrasi data dan dukungan regulasi pun dibutuhkan agar data kesehatan bisa bermanfaat untuk masyarakat.
Anis Fuad, peneliti di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Universitas Gadjah Mada, di Jakarta, Senin (11/2/2019), mengatakan, masih banyak data kesehatan yang belum termanfaatkan. Padahal, jika dikelola dan diolah dengan baik, data itu bisa bermanfaat untuk orang banyak.
Anis memberikan contoh penggunaan data rekam medik elektronik yang diprediksi semakin marak seiring meluasnya digitalisasi. Data rekam medik itu, setelah diolah menjadi data kategori rendah (anonim), bisa digunakan untuk bahan riset ataupun antisipasi penyakit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
SUCIPTO UNTUK KOMPAS–Perawat memeriksa pasien anak yang dirawat inap akibat DBD di RSUD Pasar Minggu, Jakarta, Rabu (6/2/2019).
Dari data itu, peneliti, pemerintah, dan pihak rumah sakit, misalnya, bisa memprediksi kaitan kebiasaan seseorang dengan penyakit yang diderita, tren penyakit lingkungan atau kalangan tertentu, dan sebagainya. Prediksi itu bisa menjadi pertimbangan bagi pemangku kepentingan dalam mengambil kebijakan.
”Kalau (data kesehatan) dimanfaatkan dengan baik, potensinya luar biasa. Bisa bermanfaat lebih luas dibandingkan hanya tersimpan di rumah sakit,” kata Anis di sela-sela seminar bertema ”Klasifikasi Data di Era Komputasi Awan”. Dalam seminar itu dipaparkan hasil riset Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada klasifikasi data di sektor kesehatan.
Anis pun menceritakan pemanfaatan data kesehatan di Taiwan, negara berpenduduk sekitar 23 juta jiwa, yang telah menerapkan kebijakan cakupan kesehatan universal (universal health coverage/UHC) sejak 1995. Dari Basis Data Penelitian Asuransi Kesehatan Nasional (National Health Insurance Research Database/NHIRD) dengan sampel satu juta orang, tiap tahun Taiwan menghasilkan hampir 500 publikasi ilmiah di jurnal internasional.
”Jenis datanya hampir sama dengan data di BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan, seperti data individu dan data layanan. Kita punya banyak fakultas kedokteran. Kalau data itu digunakan, daya saing global kita juga akan meningkat pesat,” tuturnya.
Namun, ia menekankan, tidak semua data kesehatan bisa dimanfaatkan secara terbuka. Data yang bisa dipakai adalah data kategori rendah, misalnya data kesehatan individu yang sudah dianonimkan sehingga tidak bisa ditelusuri identitasnya.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS–Anis Fuad
Komputasi awan
Tony Seno Hartono, pengamat dan praktisi teknologi informasi, mengatakan, penggunaan sistem komputasi awan untuk menyimpan data akan memudahkan untuk pengolahan data kesehatan. Di dalam sistem ini, instansi-instansi yang terhubung bisa saling berbagi data. Selain itu, pada komputasi awan juga terdapat fitur analisis data besar dan artificial intelligence.
”Dengan komputasi awan, bisa saja nanti dikembangkan layanan kesehatan melalui daring. Dengan demikian, pasien tidak perlu langsung ke rumah sakit untuk berkonsultasi,” kata Tony.
Ia menambahkan, penyimpanan data dengan sistem komputasi awan lebih efisien dibandingkan dengan penyimpanan di pusat data sendiri. Dengan komputasi awan, pengguna tidak perlu mengeluarkan modal untuk membeli peralatan dan perawatan. Pada komputasi awan, pengguna hanya membayar sesuai dengan kapasitas penyimpanan dan layanan yang dipakai kepada penyedia layanan.
Meskipun demikian, penggunaan sistem komputasi awan belum optimal. Ini dipicu belum selesainya revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa pusat data harus berada di dalam negeri. Sementara pada komputasi awan, kebanyakan pusat data berada di luar negeri.
Kendala itu juga menyulitkan untuk memanfaatkan data kesehatan. Dalam PP itu belum ada aturan dan definisi yang jelas mengenai perbedaan antara data publik, rahasia negara, dan data pribadi serta mekanisme perlindungan ataupun publikasi.
Dalam seminar itu, peneliti dari CfSD, Anggika Rahmadiani Kurnia, merekomendasikan pengklasifikasian data terkait sektor kesehatan. Klasifikasi itu diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dalam PP yang sedang direvisi. Data kesehatan pun diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu data strategis, data tinggi, dan data rendah.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS–Seminar ”Klasifikasi Data di Era Komputasi Awan” digelar di Jakarta, Senin (11/2/2019). Seminar tersebut memaparkan hasil riset oleh Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada.
Data strategis adalah informasi bersifat sangat sensitif. Contohnya, pertama, informasi kesehatan publik yang terkait keamanan nasional, kejadian kriminal, atau investigasi teroris. Kedua, informasi pemerintah terkait kesehatan publik yang jika dibuka oleh yang tidak berhak bisa menyebabkan kegagalan pembayaran yang membahayakan jiwa. Ketiga, informasi otentikasi dan identitas personal yang digunakan untuk mengatur akses terhadap fasilitas infrastruktur kritis kesehatan yang dilindungi pemerintah.
Sementara itu, data tinggi adalah informasi yang jika terpublikasi menyebabkan kesulitan administratif terbatas dalam departemen dan mengganggu reputasi negara. Data tinggi bisa diakses oleh penegak hukum melalui perintah pengadilan jika ada kasus kriminal atau ancaman terhadap keamanan nasional.
Contoh data tinggi, pertama, informasi yang dimiliki oleh rumah sakit atau penyedia layanan kesehatan lain, perusahaan farmasi, perusahaan asuransi, atau pemberi perawatan. Kedua, catatan medis yang dilindungi privasi, antara lain informasi genetik yang dapat diidentifikasi secara pribadi, informasi kesehatan mental yang dapat diidentifikasi secara pribadi, dan informasi status mengenai penyakit menular seksual.
Adapun bentuk data rendah, pertama, aset pemerintah, seperti situs web publik, surat elektronik, komunikasi umum, data IOT pemerintah, materi pelatihan, dan informasi promosi. Kedua, data terbuka (open data) pengguna layanan kesehatan, seperti penganoniman data, kesehatan individu yang diagregasi, data medis atau generik, manajemen kesehatan populasi.
Ketiga, informasi keamanan pengguna kesehatan, seperti informasi tentang monitoring kesehatan, rencana kesehatan, informasi fasilitasi promosi kesehatan, serta pencegahan penyakit dan luka. Keempat, semua jenis data lain (terkait pada bisnis BPJS Kesehatan yang rutin) yang tidak terklasifikasikan oleh BPJS Kesehatan dan bisa dikonsumsi eksternal, seperti dokumen regulasi hukum, laporan pengawasan, laporan hasil penelitian dan pengembangan, laporan audit, serta data alat dan fasilitas kesehatan. (YOLA SASTRA)–EMILIUS CAESAR ALEXEY
Editor EMILIUS CAESAR ALEXEY
Sumber: Kompas, 12 Februari 2019