Riset Jadi Dasar Kebijakan

- Editor

Sabtu, 8 November 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Masalah Penyakit Tak Menular Mendominasi
Perumusan kebijakan bidang kesehatan berbasis riset dinilai penting agar tepat guna dalam mengatasi masalah kesehatan. Untuk itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan didorong agar terus memperbanyak riset untuk menyediakan data yang akurat dan nyata sesuai kebutuhan.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes Tjandra Yoga Aditama, dalam temu media, Jumat (7/11), di Jakarta, mengatakan, lembaganya terus mengembangkan riset. Tujuannya agar pembuatan kebijakan kesehatan berbasis bukti.

Tjandra Yoga mengklaim produk riset Balitbangkes jadi referensi pejabat Kemenkes. ”Contohnya, Direktorat Jenderal BUK (Bina Upaya Kesehatan) selalu mengacu pada Risfaskes (Riset Fasilitas Kesehatan) saat ditanya berapa kebutuhan fasilitas kesehatan,” ujarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia Daeng Mohamad Faqih menyatakan, sejauh ini pihaknya belum banyak mendengar rilis hasil-hasil riset Balitbangkes Kemenkes dipakai kementerian terkait untuk membuat kebijakan. Padahal, Kemenkes butuh data hasil riset mandiri untuk mendapat solusi berbagai masalah kesehatan di Indonesia.

Asumsi ataupun laporan yang belum diperiksa kebenarannya harus dihindari dalam menentukan tindakan. Contohnya, radang paru-paru (pneumonia) penyebab kematian tertinggi kedua anak balita di Indonesia. ”Namun, saat ditanya data kematian anak balita per tahun akibat pneumonia di Indonesia, Kemenkes tak punya data,” ujarnya.

Saat ini Kemenkes memiliki data kematian anak balita karena pneumonia berdasarkan asumsi pada 2012 sekitar 197.000 kasus. Menurut laporan daerah ke Kemenkes, 309.000 anak balita terserang penyakit itu (Kompas, 5/11). Jadi, jika ditambah kasus belum dilaporkan, jumlah anak balita penderita pneumonia bisa lebih besar.

”Tanpa data akurat, perencanaan mengatasi masalah kematian itu bakal kurang terarah. Evaluasi program juga tak berjalan baik karena tak ada dasar data,” kata Mohamad Faqih.

Guru Besar Kebijakan dan Administrasi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Laksono Trisnantoro menilai posisi Balitbangkes Kemenkes sebagai lembaga riset di dalam pemerintah dilematis dalam memproduksi penelitian karena bukan birokrat dan bukan peneliti independen.

Padahal, perlu independensi untuk membuat riset kebijakan. Contohnya, Balitbangkes dinilai kurang kritis dalam penelitian implementasi Jaminan Kesehatan Nasional.

Ke depan Balitbangkes diharapkan tak menjalankan riset sendiri jika terkait kebijakan kesehatan, tetapi merekrut lembaga riset lain. Lembaga itu bisa dari universitas ataupun lembaga riset swasta. Jadi, hasil penelitian lebih independen, tanpa intervensi pemerintah.

Menjawab kebutuhan
Tjandra menyatakan, bulan lalu pihaknya selesai mengumpulkan data uji coba dua jenis riset, yakni Analisis Cemaran Kimia Makanan (ACKM) dalam studi diet total serta riset khusus vektor dan reservoir penyakit (Rikus Vektora). Uji coba ACKM dilakukan di Yogyakarta, sedangkan Rikus Vektora di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Kedua riset itu didasari kebutuhan data. ”Studi diet total dan ACKM untuk mengetahui pola makan orang Indonesia dan keamanan makanan. Adapun Rikus Vektora untuk mendata jenis nyamuk, tikus, dan kelelawar sebagai vektor terbanyak penyebar penyakit,” ucapnya.

Terkait hal itu, Mohamad Faqih mengapresiasi studi diet total dan Rikus Vektora yang dikerjakan Kemenkes. Studi Diet Total bisa menjawab kebutuhan data terkait upaya menurunkan penyakit tak menular. Penyakit itu, antara lain diabetes, hipertensi, dan jantung koroner, akibat gaya hidup, termasuk jenis makanan.

Selain itu, terjadi transisi epidemiologi di Indonesia. Masalah kesehatan saat ini didominasi penyakit bukan infeksi (penyakit tak menular), sedangkan sebelumnya terbanyak adalah penyakit akibat infeksi. ”Jadi, pemerintah bisa lebih baik dalam menyiapkan antisipasi peningkatan penyakit tak menular,” katanya.

Di sisi lain, penyakit infeksi yang mengakibatkan wabah masih ada. Karena itu, penelitian vektor tetap penting. (JOG)

Sumber: Kompas, 8 November 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB