Para penggemar makanan gorengan dan siap saji, donat, kue, serta biskuit perlu hati-hati. Umumnya makanan lezat itu mengandung lemak trans yang bisa meningkatkan risiko gangguan jantung dan diabetes.
Lemak trans atau trans fatty acids adalah minyak nabati yang terhidrogenasi sebagian, yakni minyak cair yang diubah menjadi lemak semipadat. Dari perspektif industri makanan, lemak trans sangat menarik karena tahan lama, stabil terhadap penggorengan dengan suhu tinggi, serta mampu meningkatkan rasa dan tekstur makanan olahan.
Cikal bakal proses hidrogenasi berawal dari temuan katalis reaksi hidrogenasi oleh ahli kimia Perancis, Paul Sabatier, pada 1890-an. Tahun 1901, Wilhelm Norman dari Jerman berhasil menghidrogenasi lemak cair menjadi semipadat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO (RO)–Gorengan ala Kaki Lima, Tempe Goreng Tepung (kiri) dan Gehu (kanan).
Lemak trans dipatenkan pada 1903 dan disambut gembira oleh perusahaan makanan. Saat itu, lemak alami yang digunakan mudah tengik sehingga makanan olahan tidak tahan lama. Lemak trans bisa meningkatkan daya tahan. Lemak trans pertama, lemak nabati Crisco, diproduksi tahun 1911 oleh Procter & Gamble.
Tahun 1980-an, produsen makanan dan restoran berhenti memakai lemak hewani dan mengganti dengan lemak trans yang dinilai lebih sehat. Namun, pada 1990-an, demikian laman American Heart Association, sejumlah riset mendapati, lemak trans bisa meningkatkan kadar kolesterol buruk (LDL) dan menurunkan kadar kolesterol baik (HDL). Jadi, konsumsi lemak trans meningkatkan risiko sakit jantung, stroke, dan diabetes.
Karena itu, 1 Januari 2006, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) mengeluarkan aturan, di kemasan makanan dan suplemen harus dicantumkan jumlah kandungan lemak trans. November 2013, FDA menyatakan, lemak trans tak lagi dinilai aman bagi manusia. Mulai Juni lalu, FDA melarang produsen menambah lemak trans pada makanan.
Hal itu merespons peluncuran REPLACE, panduan eliminasi lemak trans, oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 14 Mei 2018. Eliminasi lemak trans dari pasokan makanan global menjadi target prioritas dalam rencana strategi WHO 2019-2023.
Menurut Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, menghentikan penggunaan lemak trans menjadi kunci untuk menjaga kesehatan warga dunia. WHO memperkirakan, tiap tahun lebih dari 500.000 orang meninggal karena penyakit jantung dan stroke akibat konsumsi lemak trans.
Sejumlah negara, seperti Inggris, Denmark, Swiss, dan Kanada, serta beberapa wilayah di Amerika Serikat sejak beberapa tahun lalu mengurangi atau melarang penggunaan lemak trans. Adapun WHO menekankan, tindakan perlu dilakukan di negara berkembang, di mana pengawasan terhadap penggunaan lemak trans masih lemah. Hal itu demi tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB untuk mengurangi kematian dini akibat penyakit tidak menular hingga sepertiga pada 2030.
REPLACE merupakan singkatan dari tujuh langkah yang dilakukan dalam eliminasi lemak trans, yakni meninjau makanan mengandung lemak trans dan perubahan kebijakan yang diperlukan, mempromosikan lemak dan minyak yang lebih sehat sebagai pengganti lemak trans, membuat aturan yang melarang produksi lemak trans, memantau kandungan lemak trans dalam pasokan makanan, menimbulkan kesadaran bahaya lemak trans, serta menegakkan kepatuhan pada kebijakan dan peraturan.–ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
Sumber: Kompas, 19 Desember 2018