Bermula dari keprihatinan akan tumpukan sampah di bawah jembatan dekat kampusnya, Institut Teknologi Telkom, kini Universitas Telkom, di Bandung, Putra Fajar Alam (28) ingin berkontribusi membantu Indonesia sukses mencapai Indonesia Bebas Sampah 2025. Melalui kemampuannya di dunia sistem informasi, pria ini menciptakan berbagai aplikasi yang memudahkan bank sampah dan nasabahnya, pemerintah, dan perusahaan dalam mengelola sampah.
Penampilannya rapi namun santai. Di balik jas abu-abu kehitaman, saat ditemui Senin (3/12/2018), Putra mengenakan kaos bertuliskan SMASH. Huruf A menggunakan simbol daur ulang yang memberi gambaran maksud kata SMASH tersebut.
Ia saat itu ditemui di sela-sela menjadi pembicara di hadapan 800-an peserta Rapat Koordinasi Nasional Bank Sampah, Senin (3/12/2018) di Jakarta. Putra ketika itu diminta memperkenalkan kembali SMASH atau Sistem Online Manajemen Bank Sampah yang diperkenalkannya sejak tahun 2015.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Putra Fajar Alam, Pendiri SMASH (Sistem Online Manajemen Sampah). Difoto pada 3 Desember 2018 di Hotel Grand Mercure, Kemayoran, Jakarta.
Terjun di dunia persampahan ini bukanlah kebetulan baginya. Saat menempuh studi master di ITB, ia diminta tolong ayahnya untuk membantu bank sampah ayahnya di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Ayahnya yang digandeng Dinas Lingkungan Hidup setempat belajar pengembangan bank sampah di Pangkalan Bun dari Bambang Suwerda, penemu Bank Sampah asal Bantul Yogyakarta. Dari pertemuan itu, ia tertarik menggeluti dunia bank sampah yang sebenarnya sederhana yaitu sampah dipilah lalu disetor untuk menjadi tabungan.
Seperti namanya, bank sampah layaknya bank yang mentransaksikan keuangan. Bedanya, transaksi setoran nasabah berupa sampah yang telah dipilah dan disetor ke bank sampah. Sampah yang biasanya diklasifikasikan plastik, kertas, karton, kardus, logam, dan kaca ini lalu ditimbang untuk dinilai nominalnya.
Soal pemilahan ini, ia saat menjadi panitia konsumsi di kampusnya, pernah mengumpulkan botol-botol air mineral untuk dijual ke pengepul. “Dari estimasi kami dapat Rp 300.000 – Rp 400.000, cuma dapat Rp 70.000 padahal banyak banget yang kami kumpulkan dari 2.000 mahasiswa,” kenang dia sambil sedikit tersenyum.
Sampah yang disetor ke tukang rosok maupun pengumpul, biasanya dibeli putus. Nah, melalui bank sampah, masyarakat terdaftar menjadi nasabah yang memperoleh tabungan dari hasil penjualan sampahnya. Tabungan ini bervariasi tiap bank sampah sesuai karakteristiknya. Beberapa bank sampah menerapkan tabungan Idul Fitri, tabungan sekolah, tabungan liburan, hingga membayar biaya kesehatan.
“Ini menarik banget, sampah kok jadi tabungan,” kata dia. Hal ini menginspirasinya untuk menciptakan sistem yang memudahkan transaksi di bank sampah ini dengan digitasi. Ia pun kemudian melakukan survei dan data terkait bank sampah serta potensinya.
Berumur panjang
Persebaran nasabah dan bank sampah di seluruh Indonesia menjadi daya tarik tersendiri untuk melihat permasalahan dan solusinya. Ia tak ingin usaha rintisan yang dibangun nanti hanya seumur jagung.
“Kalau melihat masalah dan solusi serta tidak ada jangka panjang visinya maka bisa cepat bubar untuk start up,” kata dia.
Ia melihat komitmen Indonesia untuk bebas sampah pada tahun 2025 menjadi visi yang menjanjikan bagi usahanya. Dari ketertarikan ini, ia memikirkan digitasi dan monetisasi transaksi keuangan dari setiap penjualan ke bank sampah. Hingga singkatnya, ia membangun aplikasi banksampah.id berbasis web dan Android bagi bank sampah.
Sistem ini kini diikuti 1.318 bank sampah di 32 provinsi dari 5.244 bank sampah yang tersebar di seluruh Indonesia. Melalui aplikasi yang diunduh gratis dan tanpa berlangganan ini, bank sampah bisa mendata secara digital. Selain itu, fitur ini terintegrasi secara nasional sehingga bisa terlihat pengurangan sampah dari warga yang biasanya berakhir di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) maupun yang berceceran di lingkungan.
Tak berpuas hanya menyediakan aplikasi bagi pengelola bank sampah, ia pun memikirkan kemudahan warga atau nasabah yang ingin menjual sampah hasil pemilahan. Hingga kemudian, pada 2016, seiring munculnya Gojek, ia menciptakan aplikasi mySMASH bagi warga.
“Dengan kesuksesan Gojek kami ingin bikin Gojek-nya sampah lah. Kami beri nama aplikasi MySMASH,” kata dia.
Keuntungan menggunakan aplikasi ini, pengunduh bisa mengetahui bank sampah-bank sampah di sekitar lokasi. Syukur-syukur, bila bank sampah tersebut memiliki fasilitas penjemputan sehingga nasabah bisa memanfaatkan layanan tersebut. Uang hasil penjualan tersebut masuk ke dalam format digital melalui Smash-pay.
Sekadar info, Smash-Pay ini bentuk white label dari T-money, produk financial technology dari Telkom yang terjamin karena teregistrasi di Otorita Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. Keuntungannya, nasabah bisa memanfaatkan uang digital ini untuk pembayaran listrik hingga iuran kesehatan dalam BPJS.
Lalu dari mana SMASH mendapatkan pemasukan bila aplikasi tak berbayar dan tak berlangganan? Putra mengatakan SMASH menerima 1,8 persen dari setiap transaksi digital. Saat ini, rata-rata transaksi kotor yang tercatat sebesar Rp 12 juta per bulan. Ia mengatakan masih banyak pekerjaan rumah karena potensi transaksi diperkirakannya bisa mencapai Rp 3,1 miliar per bulan.
Sambil menanti bank sampah dan nasabah yang tergabung dalam SMASH, ia melebarkan sayap inovasinya dengan membuat drop box pintar untuk menampung sampah tertentu. Saat ini, ia bekerja sama dengan Danone-Aqua membangun 80 drop box yang lima diantaranya telah dipasang di ritel modern di seputar Jakarta.
Melalui drop box, warga bisa memasukkan botol plastik ke dalamnya dengan dibantu aplikasi MySMASH tersebut. Setiap botol Aqua, apa pun ukuran botolnya, dihargai Rp 60. Uang digital ini akan masuk dalam saldo T-cash, yang dikelola Telkomsel. Maklum saja, penelitian internet of things (IOT) perangkat keras ini didanai Telkomsel.
Terobosan lain pun dibangunnya dengan membangun e-SMASH yang baru diluncurkan beberapa waktu lalu di Bandung. Aplikasi ini membantu pemerintah daerah untuk memantau kinerja bank sampah serta mengkalkulasi pengurangan dan pengelolaan sampah.
Bagi Kota Bandung, layanan e-SMASH ini diberikannya gratis untuk membantu pemda mendata sampah. Aplikasi yang diwajibkan untuk dipakai bank-bank sampah yang dibangun pada tingkat kecamatan. Dari aplikasi ini, pemda bisa memantau keaktifan bank sampah dengan mudah.
Putra Fajar Alam
Lahir: Banjarmasin, 3 Februari 1990
Ayah: Mayor Inf Supriyanto (54)
Ibu: Rahmah (50)
Pendidikan :
– S1 Institut Teknologi Telkom (2008 -2012)
– S2 Institut Teknologi Bandung (2013-2016)
Pekerjaan : Pengajar di Universitas Telkom Bandung
Karya :
1. Smart Drop Box (2018)
2. Aplikasi MySmash (2016)
3. Aplikasi www.Smash.id (2015)
Hak Kekayaan Intelektual:
1. Aplikasi Sistem Informasi Prognosis Ketersediaan Pangan (SISEPA) (2017)
2. Merek Dagang “Smash” (2017)
3. Aplikasi Web GIS Sungai Cikapundung (2017)
4. Aplikasi Web Pemilu Digital Maroon Smart Election (2017)
Penghargaan:
1. Finalis Nasional Make IT Asia 2018 Impact Hub Jakarta
2. Finalis Nasional Indonesia Berinovasi 2018 Telkom Cloud
3. Finalis Nasional Wirausaha Muda Mandiri 2017 PT Bank Mandiri
4. Juara Nasional Innovation & Collaboration Development 2016 The Asia Foundation
ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 10 Desember 2018