Kebakaran lahan gambut terus terulang setiap tahun. Hal tersebut telah mengubah lanskap daratan rendah Indonesia yang merupakan lokasi biodiversity hotspots. Pemerintah harus bekerja keras agar ekosistem lahan gambut pulih kembali.
Peneliti Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor, Yuli Sunarnoto, mengatakan, daratan rendah Indonesia yang ditutupi hutan rawa gambut mengalami perubahan lanskap secara drastis karena konversi ke perkebunan, kanalisasi, dan kebakaran yang terus berulang setiap tahun.
Dari data presentasi Yuli, sejak 1990 hutan rawa gambut di Sumatera dan Kalimantan telah dikonversi terutama untuk kegiatan pertanian dan kehutanan. Seluas 6,3 megahektar (Mha) telah dikonversi menjadi lahan perkebunan skala rakyat dan industri, dan seluas 2,9 Mha terdegradasi serta tidak terurus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemaparan Yuli menjadi latar belakang dalam diskusi ”Critical Climate Risk-Konservasi untuk Pemulihan Ekosistem dan Tata Kelola Air”, di Kementerian Lingkungan dan Kehutanan, Rabu (12/9/2018) di Jakarta.
Dalam upaya pemulihan ekosistem dan tata kelola air lahan gambut, Zoological Society of London (ZSL) Indonesia melakukan pendekatan lanskap.
AGUIDO ADRI UNTUK KOMPAS–Diskusi konservasi untuk pemulihan ekosistem dan tata kelola air di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (12/2/2019) di Jakarta.
Pendekatan tersebut merupakan cara mengelola beragam penggunaan lahan secara menyeluruh serta mempertimbangkan alam dan manusia yang bergantung pada lingkungan.
ZSL Indonesia di Sumatera Selatan saat ini menggunakan pendekatan lanskap, yaitu Kemitraan Pengelolaan Lanskap Sembilan-Dangku (KELOLA Sendang).
Kresno Dwi Santoso dari ZSL Indonesia mengatakan, pengelolaan gambut fokus pada koleksi data dan pemetaan biofisik dari lahan gambut, donasi pemanfaatan gambut, serta identifikasi dan desain pengelolaan ideologi pada lanskap.
”Pemetaan biofisik akan dikembangkan dari koreksi data dan pemetaan yang telah dilakukan pada fase insepsi,” ujar Kresno.
Ia menambahkan, hal itu bertujuan untuk mendorong perencanaan dan implementasi tata kelola air secara kolaboratif dengan menjaga tinggi muka air dan aliran air.
Yuli menjelaskan, permasalahan drainase gambut melalui sistem kanal yang intensif telah menyebabkan kekeringan pada gambut yang mengarah pada subsidensi atau penurunan permukaan lahan gambut, dekomposisi, dan peningkatan pada emisi karbon.
Pada musim kemarau, pengeringan gambut melalui drainase meningkatkan kekeringan hidrologi, yaitu kondisi air dalam tanah di bawah normal dan meningkatkan risiko kebakaran.
Efektivitas sekat kanal
Yuli memaparkan, sekat kanal merupakan teknik yang sering digunakan untuk restorasi gambut tropis Indonesia. Ini merupakan tahapan awal untuk meningkatkan pembasahan pada lahan gambut.
”Tujuan dari pembangunan sekat kanal ialah untuk mengembalikan kondisi alami hidrologi gambut dengan cara meninggikan muka air tanah sehingga risiko kebakaran dapat dikurangi,” ujarnya.
Meskipun sekat kanal bermanfaat untuk meningkatkan muka air tanah, ada beberapa kelemahan, seperti peningkatan subsidensi gambut sekitar kanal, leakage yang tinggi, dan overtopping pada puncak musim hujan yang menyebabkan kehancuran dam.
Yuli mengatakan, kerusakan dam dapat mengurangi ketersediaan air pada musim kemarau.
Ia mengusulkan, secara partisipatif para pemangku kepentingan membangun tool untuk membantu pengelolaan air. Tool dibangun sebagai model neraca air yang memadukan hidrologi permukaan dan air tanah hidrologi untuk memperkirakan turun naiknya muka air tanah di lahan gambut. Hal ini dapat berpengaruh pada sekat kanal.
Selain itu, tool dapat mengurangi resapan dari lahan gambut dan memprediksi pengaruh perubahan iklim terhadap kekeringan lahan.
Badan Restorasi Gambut
Pemerintah Indonesia mendirikan Badan Restorasi Gambut (BRG) pada Januari 2016 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2016, dengan mandat untuk mengoordinasi dan memfasilitasi restorasi lahan gambut 2 juta ha pada periode 5 tahun (2016-2021).
Pada tataran implementasi, BRG menerapkan tiga tipe intervensi, yaitu rewetting, revegetation, dan revitalization of livelihoods (3R).
PP tersebut juga mengharuskan setiap konsesi memiliki sistem MRV (monitoring, reporting, and verification) untuk menyusun dan mengevaluasi variabel lingkungan yang penting pada lahan gambut.
Program 3R direspons baik oleh masyarakat dan industri dengan membangun sekat kanal pada lahan gambut yang mereka usahakan.
Efektivitas PP tersebut mulai terlihat dengan penurunan area terbakar pada tahun 2017. Akan tetapi, luasan 2 juta ha gambut terdegradasi yang tidak dikelola masih tetap menghadapi ancaman kekeringan dan kebakaran terutama pada periode El Nino. (AGUIDO ADRI)–ADHI KUSUMAPUTRA
Sumber: Kompas, 12 September 2018